Pengertian dan Ruang lingkup Saksi


Dalam
khasanah pengetahuan hukum Indonesia, terdapat berbagai definisi atau
pengertian dari saksi, baik itu dalam KUHAP, peraturan
perundang-undangan lainnya, maupun pendapat para pakar hukum.









KUHAP sebagai ketentuan pokok yang mengatur hukum acara pidana yang bersifat umum (lex generalis) berlaku bagi semua tindak pidana kecuali yang mengaturnya secara menyimpang/khusus (lex specialis) dalam undang-undang khusus, telah memberikan definisi atau pengertian "saksi" dalam Pasal 1 butir 26, yaitu:


"Orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
."





Definisi
saksi di atas cukup luas atau umum, sehingga yang termasuk dalam
pengertian saksi bisa orang yang menjadi korban, pelapor, pengadu,
maupun orang lain yang dapat memberikan keterangan tentang suatu perkara
pidana baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di muka sidang
pengadilan.


Kebanyakan
undang-undang pidana khusus yang dibuat sesudah berlakunya KUHAP tidak
memberikan definisi atau pengertian saksi secara khusus, artinya, saksi
yang dimaksud dalam undang-undang tersebut mengacu pada pengertian saksi
yang diatur dalam KUHAP. Memang ada beberapa perundang-undangan yang
memberikan definisi saksi, walaupun tidak ada perbedaan secara mendasar
dengan yang diatur dalam KUHAP.


Pengertian
saksi yang lebih luas  dapat diketemukan dalam Peraturan Pemerintah
No.  2  tahun 2002 tentang  Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan
Saksi Pelanggaran HAM yang Berat sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 26
tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang memberikan definisi saksi
sebagai:


"orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang ia dengar
sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri, yang memerlukan perlindungan
fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun"
(Pasal 1 butir 3).


Perbedaan
dengan definisi yang diberikan KUHAP adalah diperluasnya pengertian
meliputi juga orang yang memberikan keterangan untuk kepentingan penyelidikan,
di samping penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan.
Karena PP ini mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban,
maka pengertian saksi di sini juga dipersempit hanya saksi yang
memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror,
dan kekerasan dari pihak manapun.
Peraturan
Pemerintah No. 57 Tahun  2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus
bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai peraturan
pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25
Tahun 2003, dalam Pasal 1 butir 3 memberikan pengertian saksi sebagai:



"orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana pencucian uang
yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami sendiri."


Definisi
ini sama dengan KUHAP, hanya ada pengkhususan untuk pemberian
keterangan  pada perkara pidana pencucian uang. Berbeda dengan KUHAP
yang tidak memberikan pengertian khusus tentang "pelapor"
(sehingga masuk dalam pengertian saksi), UU Pencucian Uang dan PP-nya
di atas ada membedakan secara tegas antara saksi dengan pelapor.  Pasal 1
butir 2 PP No. 57 tahun 2003 menyebutkan:


"Pelapor adalah setiap orang yang:


a.     
karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan
menyampaikan laporan kepada PPATK tentang transaksi keuangan
mencurigakan atau transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang; atau


b.     
secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan
terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang".



           
Dengan adanya pembedaan antara saksi dan pelapor ini, apakah berarti
dalam perkara pencucian uang pelapor itu bukan saksi? Pertanyaan dan
penegasan ini penting kerena berkaitan dengan hak-hak saksi yang dijamin
oleh KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Kalau pelapor
itu bukan saksi, maka mestinya ia tidak memperoleh hak-hak perlindungan
sebagai saksi. Ia hanya memperoleh perlindungan sebatas yang diberikan
undang-undang terhadap pelapor. 


Pelapor
pada hakekatnya adalah saksi, akan tetapi secara formal tidak
memberikan kesaksian di persidangan. Perlindungan hukum dalam
undang-undang ini lebih ditujukan terhadap pelapor sebagaiman di atas.
Ketentuan yang demikian adalah janggal, karena justru saksi yang
memberikan kesaksian di muka penyidik atau hakim tidak diatur secara
eksplisit perlindungannya.


Undang-undang
No. 13 tahun 2006 tentang  Perlindungan Saksi dan Korban sebagai produk
hukum terbaru yang secara khusus mengatur tentang perlindungan saksi
dan korban, memberikan pengertian saksi dan korban, akan tetapi tidak
memberikan pengertian tentang pelapor. Pengertian Saksi adalah (Pasal 1
butir 1):


"orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau
ia alami sendiri
)." 


Sedangkan Korban adalah  (Pasal 1 butir 2):



 "seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana".
Jadi,
definisi saksi yang dipakai oleh UU PSK mengikuti (cakupan) definisi
yang dibuat dalam  Peraturan Pemerintah No.  2  tahun 2002 tentang  Tata
Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Pelanggaran HAM yang Berat
maupun Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Saksi, Peyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam
Perkara Tindak Pidana Terorisme, meliputi juga yang memberikan
keterangan pada (mulai) tahap penyelidikan, sedangkan menurut KUHAP,
hanya dimulai pada tahap penyidikan.



Mengingat UU PSK ini merupakan undang-undang yang bersifat umum (The Umbrella Act.)
yang mengatur tentang saksi dan korban, maka harus dipahami bahwa
ketentuan dalam undang-undang ini berlaku untuk saksi dan korban semua
tindak pidana, walaupun dalam peraturan peralihan Pasal 44 dikatakan
bahwa pada saat Undang-undang ini diundangkan, peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap Saksi
dan/atau Korban dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-Undang ini.


B.  Macam-Macam Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana
Dalam konteks sistem peradilan pidana,  secara yuridis, saksi adalah "orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri"
.
Sedangkan secara sosiologis, pengertian saksi sering dipahami meliputi
juga "ahli", maka populer istilah "saksi ahli". Akan tetapi secara
yuridis, antara "saksi" dan "(saksi) ahli"
adalah berbeda, sehingga di dalam Pasal 184 KUHAP dibedakan antara
"keterangan saksi" dan "keterangan ahli" sebagai dua alat bukti yang
berbeda.



"Keterangan saksi", menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP, adalah:


"salah
satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi
mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu"
.





Sedangkan "Keterangan ahli" menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP adalah:


"keterangan
yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan".





Dari
rumusan di atas diketahui bahwa saksi bisa orang yang melihat,
mendengar, atau orang yang mengalami tindak tindak pidana. Jadi salah
satu saksi yang sangat potensial adalah korban tindak pidana itu.
Sedangkan orang yang mendengar dari orang yang mendengar tindak pidana
atau yang populer dengan adagium testimonium de auditu tidak dapat menjadi saksi dalam perkara  pidana.


Dalam praktek hukum acara pidana, saksi dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:


a.       Saksi korban;


b.      Saksi mahkota;


c.       Saksi verbalisan;


d.      Saksi a charge;


e.       Saksi a de charge.





C.  Kedudukan dan Peranan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana


Sebagaimana
diketahui, bahwa jumlah personil penyelidik dan penyidik sangatlah
terbatas, dibandingkan dengan besarnya jumlah penduduk Indonesia dan
luasnya wilayah negara republik Indonesia, sehingg tidak mungkin dapat
meng-cover setiap setiap tindak pidana yang terjadi di
masyarakat. Karena itu, bantuan anggota masyarakat (sebagai saksi) untuk
melaporkan dan atau mengadukan tentang terjadinya tindak pidana sangat
membantu penyelidik dan penyidik dalam penegakan hukum terhadap pelaku
tindak pidana itu. Jadi, saksi (pelapor dan/atau korban)  sudah memiliki
kontribusi penting sejak dimulainya proses penanganan perkara pidana
(penyelidikan), demikian juga dalam proses selanjutnya, yaitu
pemeriksaan di tingkat penyidikan maupun pembuktian di muka sidang
pengadilan. Banyak kasus yang "nasib"nya ditentukan oleh ada tidaknya
saksi, walaupun saksi bukan satu-satunya alat bukti.


Dalam
tahap penyelidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan,
kedudukan saksi sangatlah penting, bahkan dalam praktek sering menjadi
faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus,   karena
bisa memberikan "keterangan saksi" yang ditempatkan menjadi alat bukti
pertama dari lima alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184
KUHAP.  Bahkan seorang praktisi hukum, Muhammad Yusuf, secara ekstrim mengatakan, bahwa tanpa kehadiran dan peran dari saksi, dapat dipastikan suatu kasus akan menjadi durk number mengingat dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang menjadi referensi dari penegak hukum adalah testimony yang
hanya dapat diperoleh dari saksi atau ahli. Berbeda dengan sistem hukum
yang berlaku di Amerika yang lebih mengedepankan barang bukti.


Keterangan saksi yang memenuhi syarat dan bernilai sebagai alat bukti secara yustisial haruslah:


a.     
Memberikan keterangan yang sebenarnya sehubungan dengan tindak pidana
yang sedang diperiksa. Keterangan saksi haruslah murni berdasarkan
kesadarannya sendiri, dan didukung oleh latar belakang dan sumber
pengetahuannya.


b.      Keterangan saksi yang relevan untuk kepentingan yustisial.



                                                  i.      "Yang ia dengar sendiri";



                                                ii.      "Yang ia lihat sendiri"; atau



                                              iii.      "Yang ia alami sendiri".



                                              
iv.      Hasil pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri
dimaksud harus didukung suatu alasan "pengetahuannya" yang logis dan
masuk akal.



                                                v.      Jumlah saksi yang sesuai untuk kepentingan peradilan sekurang-kurangnya dua (Pasal 182 ayat (2) KUHAP: unus testis nullus testis, satu saksi bukan saksi).


Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan (Pasal 185 ayat (6) KUHAP):


1)   Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain;


2)   Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang sah lainnya;


3)   Alasan yang mungkin dipergunakan saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu;


4)
  Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.



       



 Peranan 
"ahli" atau "saksi ahli" dalam perkara pidana juga sangat penting,
sehingga "produk" dari ahli yang disebut dengan "keterangan ahli" juga
menjadi salah satu alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pengertian dan Ruang lingkup Saksi"

Posting Komentar