Tahap Pemeriksaan Pengadilan
Tahap Pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan dapat dilakukan dengan menggunakan tiga acara pemeriksaan yaitu acara pemeriksaan biasa, singkat dan cepat. Pembagian dalam tiga acara ini sebenarnya merupakan perwujudan untuk menjabarkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
Di samping itu, didasarkan pula atas berat ringannya kejahatan atau
pelanggaran yang dilakukan. Dibawah ini akan dilukiskan pemeriksaan
tersebut namun lebih fokus pada proses pemeriksaan dengan acara pemeriksaan biasa.
Apabila terhadap suatu perkara pidana telah dilakukan penuntutan, maka perkara tersebut diajukan ke pengadilan. Tindak pidana tersebut untuk selanjutnya diperiksa, diadili dan diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri ysng berjumlah tiga orang.
Tahap pemeriksaan disidang pengadilan diawali dengan menetapkan majelis
hakim, selanjutnyya ditetapkan hari sidang. Pemberitahuan hari sidang
disampaikan oleh penuntut umum kepada terdakwa di alamat tempat
tinggalnya atau disampaikan di tempat kediaman terakhir apabila tempat
tinggalnya tidak diketahui. Dalam hal terdakwa telah dipanggil tetapi
tidak hadir pada sidang tanpa alasan yang sah, maka [pemeriksaan
tersebut dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar
terdakwa dipanggil sekali lagi.
Dalam hal terdakwa lebih dari seorang dan tidak semua hadir pada hari
sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.
Hakim ketua sidang dapat memerintahkan agar terdakwa dihadirkan secara
paksa, dalam hal telah dua kali dipanggil secara sah akan tetapi tidak
hadir.
Setelah tiba hari persidangan, hakim menyatakan sidang dibuka dan
terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara tertentu dimana sidang harus
dinyatakan tertutup untuk umum. Setelah itu dilakukan pemeriksaan
identitas terdakwa, kemudian diteruskan dengan pembacaan surat dakwaan
oleh Jaksa Penuntut Umum.
Terdakwa atau penasehat hukum dapat mengajukan keberatan bahwa
pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat
diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, kemudian setelah diberi
kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim
mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil
keputusan. Dalam hal keberatan diterima maka perkara tidak diperiksa
lebih lanjut. Namun apabila keberatan tidak dapat diterima atau hakim
berpendapat hal tersebut dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka
sidang dilanjutkan.
Proses pemeriksaan
diteruskan dengan pembuktian. Bagian
ini yang paling penting dari tiap tahap atau proses perkara pidana,
khususnya bagi terdakwa karena dari hasil pemeriksaan inilah tergantung
apakah terdakwa akan dinyatakan terbukti atau tidak, bersalah atau tidak
sehingga akan mewarnai putusan hakim.
Pada proses pembuktiam ini
harus didasarkan pada ajaran-ajaran atau teori sehingga pembuktian itu
dapat mengikat dan mempunyai kekuatan hukum pembuktian. Dalam literatur
dikenal berbagai macam teori pembuktian yakni:
1. Conviction Intime
Conviction Intime
dapat diartikan sebagai pembuktian berdasarkan atas keyakinan hakim
belaka. Teori pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim
untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal
selain alat bukti berupa keyakinan seorang hakim, artinya jika ada
pertimbangan putusan hakim telah menganggapo terbutki suatu perbuatan
sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani, maka terdakwa yang
diajukan kepadanya dapat dijatuhkan putusan. Teori ini adalah yang
menentukan dan mengabaikan hal-hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai
atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut.
Konsekwensi dari sistem pembuktian yang dimiliki tidak membuka
kesempatan atau paling tidak menyulitkan bagi terdakwa untuk mengajukan
pembelaan dengan menyodorkan buktu-bukti lain sebagai pendukung
pembelaannya itu. Tidak mengakui dan menerimanya bukti-bukti lain dapat
berakibat putusan hakim menjadi tidak populer dan bahkan menjadi aneh di
mata masyarakat.
2. Conviction Rasionnee
Sistem Pembuktian Coviction Rasionnee adalah sistem pembuktian yang masih tetap menggunakan keyakinan hakim, numun keyakinan hakim menggunakan alasan-alasan (reasoning) yang rasional. Berbeda denga sistem Conviction Intime,
maka dalam sistem ini hakim tidak lagi memiliki kebebasan untuk
menentukan keyakinannya, karena keyakinan harus diikuti dengan
alasan-alasan yang mendasari keyakinannya. Dan alsan-alasan itupun harus
“reasionable” yakni berdasar alasan yang dapat diterima oleh akal
pikiran.
Sistem Coviction Rasionnee masih menggunakan dan
mengutamakan keyakinan hakim di dalam menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa, sistem ini tidak menyebutkan adanya alat-alat bukti yang dapat
digunakan dalam menentukan kesalahan terdakwa selain dari pada
keyakinan hakim semata-mata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
sistem ini hampir sama dengan sistem pembuktian Conviction Intime, yakni semata-mata menggunakan keyakinan hakim, bedanya adalah terletak pada ada tidaknya alasan yang rasional yang mendasari keyakinan hakim. Jikan dalam sistem Conviction Intime keyakina hakim bebas tidak dibatasi oleh alasan-alasan apapun, sementara dalam pembuktian Conviction Rasionnee kebebasan itu tidak ada melainkan terkait oleh alasan-alasan yang dapoat diterima oleh akal sehat.
3. Positief Wettelijk Bewijstheorie
Teori ini adalah teori pembuktian berdasarkan alat bukti
menurut undang-undang secara positif. Pembuktian menurut teori ini
dilakukan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah
ditentukan dalam undang-undang. Untuk menentukan ada tidaknya kesalahan
seseorang, hakim harus mendasarkan kepada alat-alat bukti yang tersebut
di dalam undang-undang, jika telah terpenuhinya alat-alat tersebut, maka
hakim sudah cukup alasan untuk menjatuhkan putusannya tanpa harus
timbul keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang
ada.
Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif adalah sistem
pembuktian yang bertolak belakangdengan teori pembuktian manurut
keyakinan atau
Conviction Intime. Keyakinan hakim dalam
ini tidak diberi kesempatan dalam menentukan ada tidaknya kesalahan
terdakwa, keyakinan hakim harus dihindari dan tidak dapat dijadikan
sebagai pertimbangan dalam menentukan kesalahan seseorang. Untuk
membuktikan kesalahan terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat
bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan
pembuktian menurut undang-undang sudah cukup menentukan kesalahan
terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.
Ajaran pembuktian yang didasari undang-undang berusaha menghindarkan
dari dari segala pertimbangan hakim yang bersifat subjektif, hakim dalam
ajaran ini hanya sebagai corong undang-undang, sebagai robot pelaksana
undang-undang yang dianggap tidak memiliki hati nurani, jika hati nurani
itu ada harus disingkirkan tidak berhak untuk hadir dan dibatalkan
dalam pengambilan putusan.
4. Nagatief Wettelijk Bewijstheorie
Nagatief Wettelijk Bewijstheorie
atau pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif adalah
pembuktian yang selain meggunakan alat bukti yang dicantumkan dalam
undang-undang, juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan
keyakinan hakim namun keyakinan hakim terbatas pada alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang. Dengan menggunakan alat bukti yang
tercantum adlam undang-undang dan keyakinan hakim makan teori pembuktian
ini sering juga disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag).
Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatif adalah sistem yang menggabungkan antara sistem pembuktian
menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut
keyakinan atau Conviction Intime. Dari hasil penggabungan
kedua sistem yang saling bertolak belakang tersebut, terwujudlah suatu
sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
Dengan memperhatikan keseliruhan pembahasan terhadap teori-teori terebut
diatas, maka manakah diantara keempat teori tersebut yang dianut dalam
Peradilan Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu
membaca Pasal 183 KUHAP yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kucuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwaterdakwalah yang bersalah melakukannya”
Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa dalam pembuktian diperlukannya
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Kedua
syarat tersebut, memungkinkan hakim menjatuhkan pidana kepada seorang
terdakwa, sebaliknya jika kedua hal itu tidak dipenuhi berarti hakim
tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.
Dari penjelasan tersebut, nyatalah bahwa sistem pembuktian yang dianut
oleh Indonesia sekarrang adalah sispem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif (Nagatief Wettelijk Bewijstheorie), karena
kedua syarat yang harus dipenuhi dalam sistem pembuktian ini, telah
tercermin dalam Pasal 183 dan dilengkapi dengan Pasal 184 KUHAP yang
menyebutkan alat-alat bukti yang sah. Lebih jelasnya lagi bahwa kuhap
menganut sistem pembuktian negatief wettelijk adalah terlihat didalam
undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang
paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan,
kebenaran dan kepastian hukum.
Berdasarkan pernyataan tersebut, nyatalah bahwa pembuktian harus
didasarkan pada alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang disertai
dengan keyakinan hakim atas alat bukti yang diajukan dalam persidangan,
yang terdiri dari:
1. Keterangan Saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk; dan
5. Keterangan Terdakwa
Disamping itu
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga menganut minimum pembuktian (minimum bewijs),
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 tersebut. Minimum pembuktian
berarti dalam pembuktian suatu perkara pidana hakim harus memutuskan
berdasarkan sejumlah alat bukti. KUHAP memberikan batasan minimal penggunaan alat bukti, yang minimalnya dua alat bukti disertai dengan keyakinan hakim.
Setelah pemeriksaan telah dilaksanakan, tuntutan pidana, pembelaan,
replik dan duplik telah dijatuhkan dalam persidangan, maka tiba saatnya
majelis hakim memberikan putusan. Putusan majelis hakim diambil dalam
suatu musyawarah majelis hakim yang merupakan pemufakatan yang berhasil
dicapai. Apabila kebulatan tidak dapat diperoleh maka didasarkan dengan
suara terbanyak, apabila mekanisme itu masih belum tercapai suara bulat,
maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang menguntungkan
terdakwa.
Sumber:
1. Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta, UII Perss, 2011
2. Undang-Undang No. 18 Tahun 1981 Tentang Kutab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3. Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
0 Response to "Tahap Pemeriksaan Pengadilan"
Posting Komentar