Makalah Hukum Agraria - BAB II



BAB    II

Hak
Warga Negara Asing Terhadap Penguasaan Tanah di Indonesia

A.   Subjek Hak Milik Atas Tanah
Pada asasnya hak milik hanya dapat dipunyai
oleh orang-orang (het natuurlijke persoon), baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain. Badan hukum tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik,
kecuali badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dan telah dipenuhi
syarat-syaratnya. Demikian pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA.

Menurut hukum agraria yang lama
setiap orang boleh mempunyai dengan hak eigendom, baik ia warga negara maupun
warga asing, baik bukan Indonesia asli maupun bukan Indonesia asli. Bahkan
badan hukum pun berhak mempunyai hak eigendom, baik badan hukum Indonesia
maupun badan hukum asing.

Sesuai dengan pasal 9 ayat (1)
UUPA, menurut pasal 21 ayat (1) UUPA hanya warga negara Indonesia saja dapat
mempunyai hak milik, sebagaimana telah dijelaskan, bahwa larangan tidak
diadakan perbedaan antara orang-orang Indonesia asli dan keturunan asing.
Meskipun, menurut pasal 9 ayat (2) UUPA, tidak diadakan perbedaan antara sesama
warga negara dalam hal pemilikan tanah diadakan perbedaan antara mereka yang
berkewarganegaraan tunggal dan rangkap.

Berkewarganeragaan rangkap artinya,
bahwa disamping kewarganegaraan Indonesia dipunyai pula kewarganegaraan lain.
Pasal 24 ayat (4) UUPA menentukan, bahwa selama seseorang disamping
kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing, ia tidak dapat
mempunyai tanah dengan hak tanah. Ini berarti, bahwa ia selama itu dalam
hubungannya dengan soal pemilikan tanah dipersamakan dengan orang asing.

Di dalam penjelasan pasal tersebut
dikatakan, bahwa sudah selayaknya orang-orang yang membiarkan diri disamping
kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan lain dalam hal pemilikan
tanah dibedakan dari warga negara Indonesia lainnya. Dengan demikian, maka yang
boleh mempunyai tanah dengan hak milik itu hanyalah warga negara Indonesia
tunggal saja. Sekarang kedudukan anak tetap mengikuti kewarganegaraan orang
tuanya, juga setelah ia menjadi dewasa.

Kalau orang tuanya telah melepaskan
kewarganegaraan Indonesia, anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia. Untuk
menjadi warga negara Indonesia, harus ditempuh cara pewarganegaraan, atau
naturalisasi. Kita telah mengetahui, bahwa selain syarat kewarganegaraan
Indonesia tunggal, khusu untuk pemilikan tanah pertanian masih diperlukan
syarat-syarat lain. Syarat-syarat itu berkaitan dengan ketentuan mengenai maksimum
luas tanah pertanian yang boleh dimiliki dan dikuasai seseorang (Pasal 1 jo. 6
UU Nomor 56 (Perpu Tahun 1960) mengenai pemilikan bersama tanah pertanian yang
luasnya kurang dari dua hektar (Pasal 9 ayat 2 dan 33 UUPA).

UU Nomor 56 (Perpu) 1960, dan
mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee atau guntai (Pasal
3 PP Nomor 224 Tahun 1961 jo. PP Nomor 41 Tahun 1964). Kalau syarat yang
disebutkan pada pasal 21 ayat 1 jo. Ayat 4 UUPA disebut syarat umum bagi
perorangan untuk mempunyai tanah dengan hak milik, artinya syarat tersebut
wajib dipenuhi oleh setiap pemilik. Karena itu, apa yang ditentukan oleh
peraturan-peraturan Landreform merupakan syarat-syarat khusus, artinya khusus
untuk pemilikan tanah pertanian. Bagi tanah pertanian, tidak disyaratkan bahwa
pemiliknya harus seorang petani.

B.    Hak Milik Atas Tanah Warga Negara Asing

Meskipun pada asasnya hanya
orang-orang warga negara Indonesia tunggal saja yang dapat memiliki tanah,
dalam hal-hal tertentu selama dalam waktu yang terbatas UUPA masih memungkinkan
orang-orang asing dan warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap
untuk mempunyai tanah dengan hak milik. Diberikannya kemungkinan itu adalah
atas dasar pertimbangan peri kemanusiaan.

Pasal 21 ayat 3 UUPA menentukan,
bahwa orang asing yang sesudah tanggal 24 september 1960 memperoleh hak milik
karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, wajib
melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak
tersebut. Ketentuan itu berlaku juga terhadap seorang warga negara Indonesia
yang mempunyai hak milik dan setelah tanggal 24 september 1960 kehilangan
kewarganegaraannya.

Jangka waktu satu tahun tersebut
dihitung sejak hilangnya kewarganegaraan Indonesia itu. Bagaimanakah
ketentuannya jika yang menerima hak milik secara demikian seorang Indonesia
yang berkewarganegaraan rangkap atau jika seorang pemilik semula
berkewarganegaraan Indonesia tunggal, menurut hemat penulis (Eddy Ruchiyat,
S.H.), pasal 21 ayat 3 UUPA berlaku juga terhadap mereka berdasarkan ketentuan
pasal 21 ayat 4 UUPA.

Cara-cara yang disebutkan dalam
ayat 3 diatas adalah cara memperoleh hak tanpa melakukan sesuatu tindakan
positif yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak yang bersangkutan.
Demikian penjelasan pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut. Cara-cara lain tidak
diperbolehkan karena dilarang oleh pasal 26 ayat 2 UUPA, juga beli, tukar
menukar, hibah, dan pemberian dengan wasiat (legat).

Memperoleh hak milik dengan kedua
cara tersebut diatas masih dimungkinkan bagi orang-orang asing dan warga negara
Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap, tetapi dalam waktu satu tahun
pemilikan itu harus diakhiri. Bagaimana cara mengakhirinya? Dikatakan dalam
ayat tersebut, bahwa di dalam waktu satu tahun hak miliknya itu harus dilepaskan.
Kalau hak miliknya itu tidak dilepaskan, hak tersebut menjadi hapus dan
tanahnya menjadi tanah negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Maksudnya, setelah itu bekas pemilik diberi kesempatan untuk meminta kembali
tanah yang bersangkutan dengan hak dapat dipunyainya, yaitu bagi orang asing
hak pakai dan bagi orang Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap, HGU, HGB,
atau hak pakai.


















Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Hukum Agraria - BAB II"

Posting Komentar