Makalah Hukum Adat Pada Masa Islam - BAB II



BAB
II






PEMBAHASAN



APengertian Hukum Adat




          Istilah adat berasal dari bahasa
Arab, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”.
Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir
semua bahasa daerah di Indonesia telah menganal dan menggunakan istilah
tersebut.






Adat atau kebiasaan dapat diartikan
sebagai berikut :






“Tingkah laku seseoarang yang
terus-menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat luar
dalam waktu yang lama”. Dengan demikian
unsur-unsur terciptanya adat adalah :






1. Adanya tingkah laku seseorang






2. Dilakukan terus-menerus






3. Adanya dimensi waktu.






4. .Diikuti oleh orang lain/ masyarakat.












          Pengertian adat-istiadat menyangkut
sikap dan kelakuan seseorang yang diikuti oleh orang lain dalam suatu proses
waktu yang cukup lama, ini menunjukkan begitu luasnya pengertian adat-iatiadat
tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau Bangsa dan Negara memiliki adat-istiadat
sendiri-sendiri, yang satu satu dengan yang lainnya pasti tidak sama.












         Adat-istiadat dapat mencerminkan jiwa
suatu masyarakat atau bangsa dan merupakan suatu kepribadian dari suatu
masyarakat atau bangsa. Tingkat peradaban, cara hidup yang modern sesorang
tidak dapat menghilangkan tingkah laku atau adat-istiadat yang hidup dan berakar
dalam masyarakat.












          Adat selalu menyesuaikan diri dengan
keadaan dan kemajuan zaman, sehingga adat itu tetap kekal, karena adat selalu
menyesuaikan diri dengan kemajuan masyarakat dan kehendak zaman. Adat-istiadat
yang hidup didalam masyarakat erat sekali kaitannya dengan tradisi-tradisi
rakyat dan ini merupakan sumber pokok dari pada hukum adat.












         Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo,
mengatakan bahwa adat adalah tingkah laku yang oleh masyarakat diadatkan. Adat
ini ada yang tebal dan ada yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis.
Aturan-aturan tingkah laku didalam masyarakat ini adalah aturan adat dan bukan
merupakan aturan hukum.












         Istilah “Hukum Adat” dikemukakan
pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang
berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh
Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht
van Nederland Indie”.












           Dengan
adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929
meulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundangundangan Belanda. Istilah
hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat hanya
mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat Recht yang diterjemahkan menjadi
Hukum Adat dapatkah dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan. Van Dijk tidak
menyetujui istilah hukum kebiasaan sebagai terjemahan dari adat recht untuk
menggantikan hukum adata dengan alasan :“ Tidaklah tepat menerjemahkan adat
recht menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan hukum adat, karena yang
dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang timbul
karena kebiasaan, artinya karena telah demikian lamanya orang biasa bertingkah
laku menurut suatu cara tertentu sehingga timbulah suatu peraturan kelakuan
yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat, sedangkan apabila orang
mencari sumber yang nyata dari mana peraturan itu berasal, maka hampir
senantiasa akan dikemukakan suatu alat perlengkapan masyarakat tertentu dalam
lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya. Hukum adat pada dasarnya
merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat-istiadat mencakup konsep
yang luas. Sehubungan dengan itu dalam penelaahan hukum adat harus dibedakan
antara adat-istiadat (non-hukum) dengan hukum adat, walaupun keduanya sulit
sekali untuk dibedakan karena keduanya erat sekali kaitannya.












B.  Sejarah Kerajaan Islam












   a.      Aceh Darussalam






           Pada pertengahan akhir abad ke-12,
berdirinya kesultanan Perlak, Samudera Pasai dan Aceh Darussalam, Kesultanan
Perlak (Peureulak) terletak disebelah timur Samudera Pasai, yang didirikan oleh
pedagang Arab yang kawin dengan puteri Marah Perlak dan melahirkan Sultan
Perlak yang pertama, yaitu Syaid Abdul Aziz dengan gelar Alaiddin Syah, setelah
berdiri selam 83 tahun, pada tahun 1243 kesultanan ini di gabung dengan
kesultanan Samudera Pasai yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-13.






          Seorang saudagar Vanesia (Italia)
Marcopolo pernah tinggal di Samudera Pasai selama 5 bulan, pada saat itu yang
menjadi sultan di Samudera Pasai adalah Sultan Maliku’s Saleh, kemudian setelah
wafat digantikan oleh puteranya Sultan Muhammad Maliku’s Zahir yang berkuasa
selama 30 tahun, pada masa ini Negara Islam Samudera Pasai banyak dikunjungi
oleh para pedagang/muballigh islam dari luar negeri, berita Ibnu Batutah yang
datang di Samudera Pasai tahun 1345 dan 1346 menggambarkan keadaan kesultanan
yang menyangkut hukum sebagai berikut :






·        
Pemerintah kerajaan kesultanan diatur
mirip kerajaan India






·        
Kerajaan memiliki mata uang sendiri
dengan bertulisan Arab nama Sultan Maliku’s Zahir






·        
Hukum Islam yang di berlakukan
berdasarkan ajaran Imam Syafe’i, disamping berlaku hukum adat juga.


















         Pada tahun 1521 kerajaan Samudera
Pasai diserang dan diduduki oleh Portugis, sehingga para pedagang/mubaligh
islam pergi ke daerah lain, kemudian Sultan Ali Mughayat Syah berhasil merebut
kembali dari tangan Portugis pada Tahun 1524, dan pada tahun 1530 Ali Mughayat
Syah wafat dan digantikan oleh puteranya Sultan Alau’ddin Riayat Syah Al Kahhar
yang dapat mengembangkan kerajaanya sampai keluar negeri, pada masa kekuasaan
Al Kahhar sering terjadi peperangan dengan Portugis yang berkedudukan di
Maluku, sampai wafatnya pada tahun 1571 kemudian digantikan oleh Sultan Ali
Ri’ayat
dan Sultan Said Al-Mukammal,
ketika itu Aceh sudah mempunyai laksamana laut wanita dan beberapa daerah
pimpinan oleh para Uluebalang wanita.






         Kemudian pada zaman
kekuasaan Sultan Iskandar Muda daerah kekuasaan hampir meliputi daerah seluruh
pulau di Sumatera sampai Bengkulu, tapi untuk kesekian kalinya berusaha perang
untuk menghalau Portugis dari bumi Malaka tidak berhasil, keadaan yang mengenai
pemerintahan dan hukum di masa Iskandar Muda ini antara lain sebagai berikut :






·        
Pelaksanaan
administrasi pemerintahan digunakan aksara dan bahasa Arab dan Arab-Melayu
dengan stempel Ksultanan






·        
Hukum
yang berlaku adalah Hukum Islam, Hukum Adat dan ketetapan-ketetapn Sultan






·        
Disusunnya sebuah kitab hukum adat yang bersendi hukum islam yang
disebut “Kitab Makuta Alam”






·        
Membuat
peraturan-peraturan untuk mengatur ekonomi dan kegiatan usaha






·        
Dibentuk
divisi tentara wanita yang disebut “Keulama Cahaya”






·        
Ilmu
pengetahuan dan agama Islam berkembang pesat






          Setelah Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636, ia
digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani yang hanya memerintah selama 5 tahun,
kemudian Iskandar Tsani digantikan putri Iskandar Muda yaitu Sultanah Taj’al
Alam yang memerintah selama 34 tahun, wafatnya Iskandar Tsani setelah jatuhnya
kekuasaan Portugis oleh Belanda pada tahun 1641 di Malaka,
Kesultanan
Aceh bukan lagi berhadapan dengan portugis, tetapi menghadapi siasat licik
penjajah Belanda (VOC). Selama kekuasaan Sultanah Taj’al Alam, hal-hal yang
mengenai bidang pemerintahan dan hukum antara lain sebagai berikut :






·        
Dalam perjalanan pemerintahan Sultan
wanita ini didampingi oleh para Ulama dan Cendekiawan, terutama Syekh Nuruddin
Ar-Raniri dan Syekh Abdul Rauf






·        
Anggota-anggota Majelis Permusyawaratn
Kesultanan diperbanyak yang terdiri dari para wakil dari Mukim Tiga Sagi Aceh
Besar dan 18 orang wakil wanita






·        
Hak-hak pria dan wanita sama






·        
Berlaku adat perkawinan Anggau (Meutukar
bantai)






·        
Kegiatan olahraga dikembangkan dan
tingkatkan mutunya






·        
Divisi Tentara wanita (Keulama Cahaya)
lebih diperkuat dan ditingkatkan keprajuritannya






         Pada tahun 1675 Sultanah Taj’al wafat,
persatuan Negara sangat rapuh karena banyak daerah-daerah telah dipengaruhi
VOC, kemudian digantikan oleh Sultan Alauddin Muhammad Johansyah, ia
memerintahkan kepada jalaluddin ben Syekh Muhammad Kamaluddin anak Khadi
Bagianda Khatib di negeri Trrusan pada tahun 1533 H, untuk menulis kitab hukum
yang diberi nama “Safinatul Hukkam fi Takhlisul Khassam” (Bahtera bagi semua
hakim dalam menyelesaikan orang-orang yang berpekara), kitab ini merupakan
suatu kitab hukum acara untuk para Hakim menyelesaikan perkara Pidana atau
Perdata di Aceh Darussalam, buku ini menguraiakan Mukaddimah yang mengemukakan
tentang Hukum Syarak dan hukum Adat serta Adat dan Resam.












  b.      Demak






         Di sekitar abad ke-15 daerah Demak yang
masih dibawah kekuasaan Majapahit yang beragama Hindu telah ditundukan oleh
Raden Patah putera raja Briwijaya Majapahit pada tahun 1478 dan mendirikan
Kerajaan Demak disebelah timur Semarang sekarang ini, dengan dukungan para wali
antara lain Sunan Giri dan Sunan Kali jaga. Pada mulanya Kerajaan Islam Demak
hanya memusatkan perhatian pada dakwah Islam yang dipusatkan di Mesjid Demak,
segala urusan pemerintahan dan hukum sudah berdasarkan hukum Islam tapi masih
dipengaruhi oleh sistem hukum pada masa Majapahit, yaitu dibedakannya peradlian
perdata dan peradilan Padu.






          Setelah wafatnya Raden Patah pada
tahun 1518 digantikan oleh puteranya Adipati Unus yang menjadi Bupati di
Jepara, pada tahun 1513 Adipati ini pernah bekerja sama dengan Aceh menyerang
Portugis di Malaka tetapi gagal, Adpati Unus (Pangeran Saberang Lor ) hanya
memimpin selam 3 tahun kemudian digantikan oleh pamanya Pangeran Trenggana yang
menajdi Sultana Demak selama 25 tahun, Fatahilah berhasil menundukan Banten dan
Sunda Kelapa tapi dalam penyerangan ke Pasuruan, Trenggana tewas pada tahun
1546. Kemudian terjadi perebutan kekuasaan antara Jaka Tingkir (Adiwijaya
/Panji Mas) menantu Trenggana dengan Aria Penangsang anak saudara Trenggana,
Jaka Tingkir berhasil mengalahkan Aria Penagsang kemudian ia memindahkan pusat
kedudukan kerajaan di Pajang dan semua warisan dari Majapahit dipindahkan dari
Demak ke Pajang






         Pada tahun1582 Kekuasaan Jaka Tingkir
dapat dijatuhkan oleh Senopati, dan kesultanan Pajang digantikan Kesultanan
Mataram II, selama 36 tahun berdirinya kerajaan Pajang penyebaran Islam jadi
tersendat-sendat  karena masyarakat
ssekitarnya masih banyak dipengaruhi ajaran Syiwa Budha yang kemudian
mengeluarkan paham Kejawen “Kawula Gusti”, ajarank ini lebih mengutamakan
“hakekat” daripada “Syare’at”, akibat hukum islam yang berlaku bercampur aduk
dengam system hukum Hindu, dan menjelma kedalam Hukum Adat.






























  c.       Mataram II






          Pada tahun 1595 Senopati yang semula
adalah Bupati Mataram dan Panglima dari Pajang memberontak dan dapat mengalahkan
Adiwijaya, Aria Panggiri dan Pangeran Bawono putera mahkota Pajang, kemudian
pula menumpas pemberontakan para Bupati Madiun, Ponorogo, Pasuruan, Kediri,
Surabaya dan selanjutnya Galuh (di selatan Cirebon), maka bertambah kuatlah
kedudukan menegakan kerajaan Mataram II dan menjadikan dirinya sebagai raja,
kemudian pada tahun 1601 Senopati wafat.






           Kemudian Mas Rangsang yang bergelar
Panembahan Agung Sinopati Ing Alogo Ngabdurahman yang disingkat Sultan Agung,
memerintah kerajaan selama 32 tahun (1613-1645), Sultan Agung mengirim utusan
ke Mekkah yang pada saat itu dikuasai oleh kekaisaran Osman (Ottoman) Turki
(1300-1922), dan utusan itu kembali dan membawa gelar bagi Sultan yaitu Sultan
Muhammad Maulana Matarami dan beberapa ahli agama yang menjadi penasehat di
Istana, kemudian Sultan Agung mengubah tahun Caka menjadi Tarikh Islam Jawa
sesuai dengan Tarikh Islam, begitu pula sistem Paeradilan Sitinggil menjadi
peradilan Surambi dimana pemeriksaan perkara tertuduh tidak lagi berlaku dimana
persakitan diikat kakinya dan tanganya kemudian harus tengkurab 50 meter
jaraknya dari Raja yang duduk disinggasananya bertempat di Istana, diperiksa
dan diadili dalam suatu majelis Peradilan di Serambi Mesjid Agung dilaksanakan
oleh Penghulu Agama atas nama Raja yang didampingi oleh beberapa orang Ulama
sebagai anggota Majelis Peradilan, peradilan ini dilaksanakan atasa dasar
musyawarah dan mufakat (collegie rechtspraak), jadi bukan keputusan Hakim ketua
sendiri seperti Khadi dalam peradilan Islam.






          Di daerah - daerah lain masih tetap
berlaku Peradilan “Padu” yaitu penyelesaian perselisihan antar perseorangan
oleh peradilan keluarga (peradilan desa) secara damai, dan jika tidak dapat
diselesaikan secara kekeluargaan maka diselesaiakan secara Padu dengan dibawah
pimpinan sseorang pejabat  yang disebut
Jaksa, lambat laun yang berlaku adalah penyelsaian perkara Padu dan system
peradlian setempat yang dipengaruhi Islam yang dibawakan Syarief
Hidayatullah  Sunan Gunung Jati dan
penyebar agama Islam di Jawa Barat, kemudian Sultan Agung digantikan oleh
Amangkurat I pada tahun 1646 dan ingin mengembalikan sistem peradilan Sitinggil
di Istana.






         Pada akhir kekuasaan Amangkurat I
seluruh daerah pesisir Jawa jatuh ke tangan Trunojoyo dari Madura yang memberontak,
maka kedudukan Amangkurat I digantikan oleh puteranya Adipati Anom sebagai
Amangkurat II, ia meminta bantuan VOC dalam menumpas berontakan Trunojoyo, dan
pada tahun 1677 Matarm kehilangan daerah Semarang yang diberikan kepada VOC
krena sudah ada perjanjian, kemudian pada tahun 1703 Amangkurat III
menggantikan Raja di Mataram yang berusaha melawan VOC dan kedudukannya tidak
diakui oleh VOC, pada tahun 1708 sempat ditawan oleh Belanda dan dibuang ke
Cylon sampai akhir hayatnya pada tahun 1733, sejak saat itu daerah Mataram
menjadi kecil dan seallu terjadi perang saudara karena perebuatan kekuasaan,
hingga runtuhlah kerajaan Mataram pada masa Sultan Paku Bowono II (1727-1749),
yang menyerahkanya kepada VOC dan akhirnya jadi kerajaan Surakarta dan Yogyakarta
dengan empat orang saja






  d.      Cirebon dan Banten






          Pada tahun 1527 Fatahillah bersama
Sunan Gunung Jati berahasil menundukan Sunda Kelapa (Jayakarta), setelah
menundukan Banten yang pada saat itu merupakan pelabuhan dari pajajaran,
kemudian Banten diserahkan kepada Sunan Gunung Jati, kepada puteranya Maulana
Hasanudin yang menjadi sultan Banten pertama (1522-1270), dan Sunan Gunung Jati
mendirikan kerajaan Cirebon dan menyebarkan islma di daerah Periangan dan
bagian Timur.






          Dari penelitian yang dilakukan oleh
VOC  dapat diketahui bahwa hukum yang
berlaku di daerah Periangan masih dipengaruhi oleh hukum dan peradilan menurut
system pada kekuasaan Sultan Agung Mataram 
diantaranya :






·        
Peradilan Agama, memeriksa dan mengadili
perkara - perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati, karena
sifat kejahatannya dapat membahayakan Negara.






·        
Peradilan Drigma, memeriksa dan
mengadili perkara - perkara mengenai pelanggaran adat yang diadili berdasarkan
hukum adat Jawa Kuno dengan memperhatikan Hukum Adat sertempat.






·        
Peradilan Cilaga, memeriksa dan
mengadili perkara - perkara yang menyangkut perselisihan ekonomial/perdagangan,
seperti jual beli, utang piutang, dll.






Dan apabila tidak
terdapat pembuktian yang meyakinkan dalam pemeriksaan, maka untuk menentukan
siapa yang bersalah, Jaksa atau Penghulu menyuruh si tertuduh untuk melakukan
seutau diantaranya :






·        
Disuruh menyelam ke dalam sungai dan
diberi tempurung atau labu air yang dilubangi sedikit.






·        
Disuruh mencelupkan tangannya kedalam
air panas yang sedang mendidih kedalam suatu bejana untuk mengambil uang logam
atau sesuatu didalamnya.






·        
Disuruh memegang batang besi yang
dipanaskan diperapian sampai pijar merah.






          Masyarakat Cirebon kebanyakan dari
Demak dan masih kuat berpegang teguh pada norma hukum agama dan hukum adat
Jawa-Kuno, pada masa kekuasaan cucu Pangeran Ratu (buyut Suanan Gunung Jati dan
Mertua dari Sultan Agung Mataram) Pangeran Girilaya, Cirebon jadi daeraha
jajahan oleh Mataram pada tahun 1650, pada tahun 1662 pangeran Girilaya wafat,
kerajaan Cirebon dibagi menjadi tiga bagian masing-masing dikuasai oleh
puteranya Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Panembahan Cirebon, kemudian
berdasarakan perjanjian dengan VOC, Cirebon menjadi protektorat dari VOC.






          Dalam menghadapi urusan keluar ketiga
sultan tadi dipimpin oleh Sultan Sepuh, dan untuk urusan kedalam pemerintahan
dilaksanakan oled Dewan Menteri yang juga merupakan Dewan Jaksa yang
melaksanakan peradilan yang bersidang di alun-alun (lapangan) dalam
menyelesaikan perkara berdasarkan Undang-undang Jawa yang sebagian daripadanya
disebut Papekam Cirebon yang bersumber dari kitab Kuno “Raja Niscaya”,
“Undang-undang Mataram”, “Jaya Lengkara”, “Kutara Manawa”, dan Adidulloh.
Diantara uraian Papekam Cirebon yang paling terkenal adalah lukisan tentang
sifat Hakim yang disebut Candra Tirta Cakra Sari.






          Pada akhir kekuasaan Maulana
Hasanudin, karena di Demak terjadi petikaian perebutan kekuasaan antara Jaka
Tingkir dan Aria Panangsang, maka Banten menyatakan bebas merdeka dari kekuasaan
Demak, lalu Maulana Hasanudin menyebarkan ajaran Islam di daerah Lampung dan
Bengkulu,kemudian Maulana Hasanudin wafat dan digantikan oleh puteranya Maulana
Yusuf (1570-1588), dan dengan bantuan Radin Inten I dari Lampung menundukan
Pajajaran, Maulana Yusuf kemudian wafat dan digantikan oleh Maulana Muhammad
(1588-1605) yang gugur dalam perang karena perebutan pengaruh di daerah Tulang
Bawang Lampung Utara, kemudian digantikan oleh Sultan Abulmufakhir Mahmud
Abdulkadir (1605-1640) yang berkuasa selam 35 tahun dan dalam kekuasaanya
pelabuhan Banten banyak dikunjungi kapal asing, tapi ketika itu Banten
kehilangan pelabuhan Jayakarta yang dapat di duduki VOC, setelah wafat Sultan
Abdulkadir kemudian digantikan oleh Sultan Abul-Ma’aly Ahmad (1640-1651), yang
berkuasa selama 11 tahun. Kemudian digantikan Sultan Ageng Abul-Fathi Abdul
Fattah alias Sultan Tirtayasa yang berkuasa selam 21 tahun, tetapi pada akhir
kekuasaanya terjadi perang deangan Belanda dan puteranya Sultan An-Nashir
Abdul-Qohar alias Sultan Haji (1672-1687) memihak Belanda, dan menyerahakan
Lampung kepada VOC, kesultanan Banten mulai merosot sampai akhirnya berstatus
Kabupaten setelah Sultan Muahammad Rafiudin (8131-1816) diturunkan dari
tahtanya.






          Berbeda dengan
kesultanan  Cirebon yang dipengaruhi oleh
Demak sampai Mataram, yang kuat menganut aliran Kejawen, maka Banten yang
semulanya beragama Hindu dan menjadi 
salah satu bandar Pajajaran, memang sebelum Banten berdiri Syahbandar
Banten, wakil Prabu siliwangi di situ dan masyarakatnya sudah masuk islam,
dengan berdirinya kerajaan Banten, masyarakatnya bertambah kuat untuk
mempelajari agama Islam, pelaksanaan pemerintahan dilaksanakan sesuai hukum
Islam yang didampingi para ulama terlepas dari pengaruh Kejawen, peradilan
dilaksanakan oleh Khadi dan bebas mengambil keputusan kecuali untuk menjatuhkan
hukuman mati harus ada persetujuan Sultan.






         Pemerintah di Banten paling banyak hanya menempatkan seorang
wakil (jenjem) ditempat-tempat tertentu untuk mengambil keputusan bumi (lada),
dan  jika daerah bersangkutan harus ada
beberapa orang mubaligh Islam, pemerinah 
banten sendiri tidak mencampuri adat pemerintahan masing-masing
kebuwayan/marga bersangkutan, dengan demikian di lampung sampai masa kekuasaan
Radin Inten berakhir (1858), untuk urusan agama berlaku hukum islam dan untuk
urusan umum berlaku kitab Kutara adat Lampung.
























  1. Kerajaan dan persekutuan adat lainnya







         Selain dari
kerajaan-kerajaan islam yang sudah diuraikan di atas masih ada
kerajaan-kerajaan kecil lainnya baik 
yang di Sumatera (Sultan Langkat, Deli, Siak Sri-Inderapura, Jambi,
Palembang), di Kalimantan (Sultan Pontianak, Kutai, Bulungan), di Sulawesi
(Sultan Goa, Bone, Wajo, Bolaang Mongandow, Talaud-Bual), di Nusa Tenggara
(Raja-raja di Timor, Bima, Sumbawa, Endeh), di Bali (Hindu) (Buleleng, Badung,
Gianyar), di Maluku (Sultan Ternate-Tidore), Kerajaan-kerajaan tersebut
mempunyai aturan-aturan undang-undang rajanya masing-masing.






          Begitu pula halnya dengan
berbagai persekutuan-persekutuan hukum adat diberbagai pedesaan diseluruh
Nusantara ini, mempunyai pula berbagai aturan-atran adanya yang tertulis
mempunyai pula berbagai aturan-aturan yang tertulis dan tidak tertulis seperti
kiab perundangan Kutaramanawa di Bali, kita hukum adat yang disebut “Patik
Dohot Uhum ni Halak Batak” (kitab hukum batak), Undang-undang simbur cahaya di
Palembang, Bengkulu dan Jambi, Undang-undang nan dua puluh di minangkabau,
Kutara Raja Niti di Lampung, 
Undang-Undang perniagaan dan pelayaran Wajo (Bugis), dan lain sebagiannya,
sebagian besar kitab perundangan asli tersebut kita ketahui setelah adanya
penemuan orang-orang barat zaman VOC dan peme
rintah Hindia Belanda.






  C.  
Teori
Receptio in Complexu






      Teori receptio in complexu ini
dikemukakan oleh Mr. W.C. van den Berg, Guru Besar di Delf dan Penasihat
bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam pada Pemerintah kolonial Belanda.



Inti dari teori ini adalah sebagai berikut: “Selama bukan sebaliknya dapat
dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk
agama harus juga mengikuti hukum agama itu dengan setia”.








     Tegasnya menurut teori ini,
kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum Adat
masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Kalau ada
hal-hal yang menyimpang dari hukum agama yang dipeluknya, maka hal ini dianggap
sebagai suatu “perkecualian/penyimpangan” dari hukum agama yang telah “in
complexu gerecipieerd” (diterima secara keseluruhan) itu.








      Dengan berlandas pada teori yang
dikemukakannya itu, maka van den Berg menggambarkan hukum Adat itu sebagai
hukum yang terdiri hukum agama dan penyimpangan-penyimpangannya. 


































 


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Hukum Adat Pada Masa Islam - BAB II"

Posting Komentar