Makalah - Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

Sumber Hukum Acara Peradilan Agama - Dalam mempelajari hukum acara perdata ada beberapa hal yang perlu diketahui diantaranya yaitu sumber hukum acara, pembahassan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa Saja Sumber Hukum Acara Peradilan Agama?
2. Apa Hubungan Hukum Acara Peradilan Agama Dengan Hukum Acara Perdata ?

SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

A.    UU No. 14/1970 Yang Diganti Dengan UU No. 4/2004

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan. Dan semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.

B.     UU No. 1 tahun 1974

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini adalah sebagai berikut:

    Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan material.
    Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.
    Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
    Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
    Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang- undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.
    Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.

C.    UU No. 14/1985 Yang Telah Diganti Dengan UU No. 5/2004

Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimanadimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, danseorang sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah hakim agung dan hakim agung paling banyak 60 orang. Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda.Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang non-yudisial.Wakil ketua bidang yudisial membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, ketua muda militer, dan ketua muda tata usahanegara.Pada setiap pembidangan, Mahkamah Agung dapat melakukan pengkhususan bidang hukum tertentu yang diketuaioleh ketua muda.Wakil ketua bidang non-yudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketuamuda pengawasan. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung selama 5 (lima) tahun.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, di samping Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu, ditentukan pula Mahkamah Agung mempunyai wewenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Undang-Undang ini memuat perubahan terhadap berbagai substansi Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Perubahan tersebut, di sampingguna disesuaikan dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga didasarkan atas Undang-Undangmengenai kekuasaan kehakiman baru yang menggantikan Undang-UndangNomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakimansebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.

Berbagai substansi perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain tentangpenegasan kedudukan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, serta beberapa substansi yang menyangkut hukum acara, khususnya dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dalam memeriksa dan memutus pada tingkat kasasi serta dalam melakukan hak uji terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Pembatasan ini di samping dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitasputusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengannilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat.

Dengan bertambahnya ruang lingkup tugas dan tanggung jawab Mahkamah Agungantara lain di bidang pengaturan dan pengurusan masalah organisasi, administrasi,dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, maka organisasiMahkamah Agung perlu dilakukan pula penyesuaian.
D. UU No. 7/1989 Yang Telah Diganti Dengan UU No. 3/2006

Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari'ah. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan", dinyatakan dihapus.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskanadanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan dengan undang-undang. Oleh karena itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama perlu diatur pula dalam Undang-Undang ini.

Penggantian dan perubahan Undang-Undang tersebut secara tegas telah mengatur pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari semua lingkungan peradilan ke Mahkamah Agung. Dengan demikian, organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya masih berada di bawah Departemen Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama perlu disesuaikan. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengalihan ke Mahkamah Agung telah dilakukan. Untuk memenuhi ketentuan dimaksud perlu pula diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut, termasuk pelanggaran atas Undang-Undang tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syar'iyah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan ganun.

Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

E. PP No. 9 Tahun 1975
Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah pencatatan perkawinan,tatacara pelaksanaan perkawinan, tatacara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang dan sebagainya.

Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan langkah-langkah persiapan dan serangkaian petunjuk petunjuk pelaksanaan dari berbagai Departemen atau Instansi yang bersangkutan, khususnya dari Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam Negeri, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan lancar, maka perlu ditetapkan jangka waktu enam bulan sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah persiapan tersebut.

F. HIR, Rbg, dan RV

HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)

Reglemen tentang melakukan tugas kepolisian, mengadili perkaraperdata dan penuntutan hukuman bagi bangsa Indonesia danbangsa Timur Asing di Jawa dan Madura.

Dalam Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIB) ini hanya dimuat hal-hal yang berkaitan dengan perkara perdata, hal-hal yang menyangkut perkara pidana diatur dengan Kitab Undang-undang HukumAcara Pidana dan peraturan pelaksanaannya.

Dalam reglemen ini memuat:

1. Hal melakukan tugas kepolisian, yang meliputi kepala desa dan semua bawahan polisi yang Lain

2. Hal mengadili perkara perdatayang termasuk wewenang pengadilan negeri.

RBG (Rechtsreglement Buitengewesten)

Reglemen Untuk Daerah Seberang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura. Dalam reglemen ini memuat:

    Cara mengadili perkara perdata yang dalam tingkat pertama menjadi wewenang pengadilan Negeri yang  meliputi:

    Pemeriksaan di Sidang pengadilan
    Musyawarah dan Keputusan pengadilan
    Banding.
    Pelaksanaan keputusan hukum
    Beberapa acara khusus
    Izin berperkara tanpa biaya

    2. Bukti dalam perkara perdata

RV (Reglement of de Rechtsvordering)

RV adalah hukum perdata eropa yang dibawa oleh belanda ke Indonesia. Tapi ternyata tidak cocok dengan Indonesia, oleh karena itu kemudian diadakan penyesuaian-penyesuaian dan dibentuklah HIR. Kemudian setelah beberapa lama, terjadi ketidak sesuaian dengan daerah luar Jawa dan Madura, maka dibentuklah RBg.
                                                    
HUBUNGAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA DENGAN HUKUM ACARA PERDATA

A.    Pengertian Hukum Acara Perdata

Sebelum membicarakan pengertian Hukum Acara Peradilan Agama, perlu diketahui bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999  serta dengan melihat UU No. 5 th.2004.

Tugas utama Peradilan Agama ialah menerima, memeriksa, mengadili dan memutus serta menyelesaikan perkara perdata tertentu antara orang-orang yang beragama Islam. (Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo pasal 49 & 50 UU No. 4 Th. 2006).

Untuk mengetahui hukum acara Peradilan Agama, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian hukum acara perdata karena Peradilan Agama hanya berwenang memeriksa perkara-perkara perdata dan menurut ketentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.

Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiel dengan perantaraan Hakim. Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiel. Lebih konkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya memajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalanya peraturan hukum perdata.

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Hukum acara perdata yang mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan dari pada putusanya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperolah perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” atau tindakan menghakimi sendiri.

Dari dua pengertian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa hukum acara Peradilan Agama ialah pertaturan hukum yang mengatur tentang bagaimana mentaati dan melaksanakan hukum perdata materiel dengan perantaraan Pengadilan Agama termasuk bagaimana cara bertindak mengajukan tuntutan hak atau permohonan dan bagaimana cara Hakim bertindak agar hukum perdata materiel yang menjadi kewenangan Peradilan Agama berjalan sebagaimana mestinya.

B. Hubungan Peradilan Agama Dengan Hukum Perdata

Seperti telah diuraikan di atas bahwa berdasarkan ketentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersebut, oleh karena itu ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam hukum acara perdata berlaku juga dalam hukum acara Peradilan Agama. Jadi hubungan hukum acara Peradilan Agama dengan hukum acara perdata adalah sumber hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagian besar adalah sama.
                                                                 
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Peradilan Agama telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar Sejarah Peradilan, Peradilan Agama telah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang dibukukan oleh Departemen Agama yang berjudul “Seabad Peradilan Agama di Indonesia”, tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai Hari Jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya ordonantie stbl.1882-152, tentang Peradilan Agama di Pulau Jawa – Madura.

Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati dan dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki undang-undang tersendiri tentang susunan, kekuasaan dan acara, melainkan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak merupakan kesatuan, dan tidak pula seragam.

Namun kini Peradilan Agama telah mempunyai UU tersendiri, yaitu UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut merupakan rangkaian dari undang-undang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan Peradilan di negara RI. Selain itu, UU tersebut melengkapi UU Mahkamag Agung No. 14 Tahun 1985, UU Peadilan Umum No. 2 Tahun 1986 dan UU Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun 1986. Dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kedudukan dan kekuasaan Pengadilan Agama setara dengan Lembaga Pengadilan lainnya.

Daftar Pustaka:
 Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia.
Prof. Drs. H. Abdul Manan, S.H., SIP.M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di       Lingkungan Peradilan Agama.
A. Mukti Arto, H. Drs., SH. Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, 2001.
Mahkamah Agung RI., Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II Edisi Revisi, 1997.
Retnowulan Sutantio, SH dan Iskandar Oeripkartawinata, SH. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1989.
Yahya Harahap, M., SH. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, 1990.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah - Sumber Hukum Acara Peradilan Agama"

Posting Komentar