Makalah Poligami - BAB III



BAB III


SYARAT POLIGAMI


3.1 Syarat Diperbolehkannya Poligami


Syarat yang dituntut Islam dari seotrang muslim yang
akan melakukan poligami adalah keyakinan dirinya bahwa ia bisa berlaku adil di
antara dua istri atau istri-istrinya dalam hal makanan, minuman, tempat
tinggal, pakaian , dan nafkah. Barang siapa kurang yakin akan kemampuannya
memenuhi hak-hak tersebut dengan seadil-adilny, haramlah baginya menikah dengan
lebih dari satu perempuan. Allah SWT berfirman :


 “ Lalu jika
kalian khawatir tidak bisa adil, cukuplah satu saja.” (An- Nisa : 3)


Beliau SWT juga bersabda,


“ Barang siapa mempunyai dua istri, sementara ia lebih
condong kepada salah satu diantara keduanya, maka pada hari kiamat nanti akan
datang dengan menyeret salah satu belahan tubuhnya yang terjatuh atau miring.”


Miring yang diperingatkan dalam hadist ini adalah
ketidakadilan dalam hak-haknya, bukan sekedar kecenderungan hati, karena yang
disebut terakhir  ini termasuk hal yang susah dipenuhi, bahkan dimaklumi
dan dimaafkan Allah Swt.


Menurut beberapa ulama, setelah meninjau ayat-ayat
tentang poligami, mereka telah menetapkan bahwa menurut asalnya, Islam
sebenamya ialah monogami. Terdapat ayat yang mengandungi ugutan serta
peringatan agar tidak disalah gunakan poligami itu di tempat-tempat yang tidak
wajar. Ini semua bertujuan supaya tidak terjadinya kezaliman. Tetapi, poligami
diperbolehkan dengan syarat ia dilakukan pada masa-masa terdesak untuk
mengatasi perkara yang tidak dapat diatasi dengan jalan lain. Atau dengan kata
lain bahwa poligami itu diperbolehkan oleh Islam dan tidak dilarang kecuali
jikalau dikhuatirkan bahwa kebaikannya akan dikalahkan oleh keburukannya.


Jadi, sebagaimana talaq, begitu jugalah halnya dengan
poligami yang diperbolehkan kerana hendak mencari jalan keluar dari kesulitan.
Islam memperbolehkan umatnya berpoligami berdasarkan nas-nas syariat serta
realiti keadaan masyarakat. Ini bererti ia tidak boleh dilakukan dengan
sewenang-wenangnya demi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Islam, demi
untuk menjaga ketinggian budi pekerti dan nilai kaum Muslimin.


Oleh yang demikian, apabila seorang lelaki akan
berpoligami, hendaklah dia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut;


  1. 1. Membatasi jumlah isteri yang akan dikahwininya.



Syarat ini telah disebutkan oleh Allah (SWT) dengan
firman-Nya;


  


“Maka berkahwinlah dengan sesiapa yang kamu ber-kenan
dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau empat.”
(Al-Qur’an, Surah an-Nisak ayat 3)





Ayat di atas menerangkan dengan jelas bahwa Allah telah
menetapkan seseorang itu berkahwin tidak boleh lebih dari empat orang isteri.
Jadi, Islam membatasi kalau tidak beristeri satu, boleh dua, tiga atau empat
saja.





Pembatasan ini juga bertujuan membatasi kaum lelaki
yang suka dengan perempuan agar tidak berbuat sesuka hatinya. Di samping itu,
dengan pembatasan empat orang isteri, diharapkan jangan sampai ada lelaki yang
tidak menemukan isteri atau ada pula wanita yang tidak menemukan suami.
Mungkin, kalau Islam membolehkan dua orang isteri saja, maka akan banyak wanita
yang tidak menikah. Kalau pula dibolehkan lebih dari empat, mungkin terjadi
banyak lelaki tidak memperolehi isteri.





  1. 2. Diharamkan bagi suami mengumpulkan wanita-wanita yang masih ada
    tali persaudaraan menjadi isterinya.



Misalnya, berkahwin dengan kakak dan adik, ibu dan
anaknya, anak saudara dengan emak saudara baik sebelah ayah maupun ibu.





Tujuan pengharaman ini ialah untuk menjaga silaturrahim
antara anggota-anggota keluarga. Rasulullah (s.a.w.) bersabda, maksudnya;





“Sesungguhnya kalau kamu berbuat yang demikian itu,
akibatnya kamu akan memutuskan silaturrahim di antara sesama kamu.”
(Hadis riwayat Bukhari & Muslim)





Kemudian dalam hadis berikut, Rasulullah (s.a.w.) juga
memperkuatkan larangan ini, maksudnya;





Bahwa Urnmu Habibah (isteri Rasulullah) mengusulkan
agar baginda menikahi adiknya. Maka beliau menjawab; “Sesungguhnya dia tidak
halal untukku.”
(Hadis riwayat Bukhari dan Nasa’i)





Seorang sahabat bernama Fairuz Ad-Dailamy setelah
memeluk agama Islam, beliau memberitahu kepada Rasulullah bahwa beliau
mempunyai isteri yang kakak beradik. Maka Rasulullah menyuruhnya memilih salah
seorang di antara mereka dan menceraikan yang satunya lagi. Jadi telah
disepakati tentang haramnya mengumpulkan kakak beradik ini di dalam Islam.











3. Disyaratkan pula berlaku adil,


sebagaimana yang difirmankan Allah (SWT); 


“Kemudian jika kamu bimbang tidak dapat berlaku adil
(di antara isteri-isteri kamu), maka (kahwinlah dengan) seorang saja, atau
(pakailah) hamba-hamba perempuan yang kaumiliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat (untuk mencegah) supaya kamu tidak melakukan kezaliman.” (Al-Qur’an,
Surah an-Nisa ayat 3)


Dengan tegas diterangkan serta dituntut agar para suami
bersikap adil jika akan berpoligami. Andaikan takut tidak dapat berlaku adil
kalau sampai empat orang isteri, cukuplah tiga orang saja. Tetapi kalau itupun
masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua saja. Dan kalau dua itu pun masih
khuatir tidak boleh berlaku adil, maka hendaklah menikah dengan seorang saja.





Para mufassirin berpendapat bahwa berlaku adil itu
wajib. Adil di sini bukanlah bererti hanya adil terhadap para isteri saja,
tetapi mengandungi erti berlaku adil secara mutlak. Oleh karena itu seorang
suami hendaklah berlaku adil sebagai berikut:





  • Berlaku adil terhadap dirinya sendiri.



Seorang suami yang selalu sakit-sakitan dan mengalami
kesukaran untuk bekerja mencari rezeki, sudah tentu tidak akan dapat memelihara
beberapa orang isteri. Apabila dia tetap berpoligami, ini bererti dia telah
menganiayai dirinya sendiri. Sikap yang demikian adalah tidak adil.


  • Adil di antara para isteri.



Setiap isteri berhak mendapatkan hak masing-masing dari
suaminya, berupa kemesraan hubungan jiwa, nafkah berupa makanan, pakaian,
tempat tinggal dan lain-lain perkara yang diwajibkan Allah kepada setiap suami.


Adil di antara isteri-isteri ini hukumnya wajib,
berdasarkan firman Allah dalam Surah an-Nisak ayat 3 dan juga sunnah Rasul.
Rasulullah (s.a.w.) bersabda, maksudnya;





“Barangsiapa yang mempunyai dua isteri, lalu dia
cenderung kepada salah seorang di antaranya dan tidak berlaku adil antara
mereka berdua, maka kelak di hari kiamat dia akan datang dengan keadaan
pinggangnya miring hampir jatuh sebelah.”
(Hadis riwayat
Ahmad bin Hanbal)





  • Adil memberikan nafkah.



Dalam soal adil memberikan nafkah ini, hendaklah si
suami tidak mengurangi nafkah dari salah seorang isterinya dengan alasan bahwa
si isteri itu kaya atau ada sumber kewangannya, kecuali kalau si isteri itu
rela. Suami memang boleh menganjurkan isterinya untuk membantu dalam soal
nafkah tetapi tanpa paksaan. Memberi nafkah yang lebih kepada seorang isteri
dari yang lain-lainnya diperbolehkan dengan sebab-sebab tertentu. Misalnya, si
isteri tersebut sakit dan memerlukan biaya rawatan sebagai tambahan.





Prinsip adil ini tidak ada perbezaannya antara gadis
dan janda, isteri lama atau isteri baru, isteri yang masih muda atau yang sudah
tua, yang cantik atau yang tidak cantik, yang berpendidikan tinggi atau yang
buta huruf, kaya atau miskin, yang sakit atau yang sihat, yang mandul atau yang
dapat melahirkan. Kesemuanya mempunyai hak yang sama sebagai isteri.





  • Adil dalam menyediakan tempat tinggal.






Selanjutnya, para ulama telah sepakat mengatakan bahwa
suami bertanggungjawab menyediakan tempat tinggal yang tersendiri untuk
tiap-tiap isteri berserta anak-anaknya sesuai dengan kemampuan suami. Ini
dilakukan semata-mata untuk menjaga kesejahteraan isteri-isteri, jangan sampai
timbul rasa cemburu atau pertengkaran yang tidak diingini.





  • Adil dalam giliran,






Demikian juga, isteri berhak mendapat giliran suaminya
menginap di rumahnya sama lamanya dengan waktu menginap di rumah isteri-isteri
yang lain. Sekurang-kurangnya si suami mesti menginap di rumah seorang isteri
satu malam suntuk tidak boleh kurang. Begitu juga pada isteri-isteri yang lain.
Walaupun ada di antara mereka yang dalam keadaan haidh, nifas atau sakit, suami
wajib adil dalam soal ini. Sebab, tujuan perkahwinan dalam Islam bukanlah
semata-mata untuk mengadakan ‘hubungan seks’ dengan isteri pada malam giliran
itu, tetapi bermaksud untuk menyempumakan kemesraan, kasih sayang dan kerukunan
antara suami isteri itu sendiri. Hal ini diterangkan Allah dengan firman-Nya;








“Dan di antara tanda-tanda yang membuktikan
kekuasaan-Nya, dan rahmat-Nya, bahwa la menciptakan untuk kamu (wahai kaum
lelaki), isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan
hidup mesra dengannya, dan dijadikan-Nya di antara kamu (suami isteri) perasaan
kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi
keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang yang
berfikir.”
(Al-Qur’an, Surah ar-Ruum ayat 21)





Andaikan suami tidak bersikap adil kepada
isteri-isterinya, dia berdosa dan akan menerima seksaan dari Allah (SWT) pada
hari kiamat dengan tanda-tanda berjalan dalam keadaan pinggangnya miring. Hal
ini akan disaksikan oleh seluruh umat manusia sejak Nabi Adam sampai ke anak
cucunya.





Firman Allah (SWT) dalam Surah az-Zalzalah ayat 7
hingga 8;








“Maka sesiapa berbuat kebajikan seberat zarrah, nescaya
akan dilihatnya (dalam surat amalnya)! Dan sesiapa berbuat kejahatan seberat
zarrah, nescaya akan dilihatnya (dalam surat amalnya).”





  1. 4. Anak-anak juga mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan,
    pemeliharaan serta kasih sayang yang adil dari seorang ayah.



Oleh itu, disyaratkan agar setiap suami yang
berpoligami tidak membeza-bezakan antara anak si anu dengan anak si anu.
Berlaku adil dalam soal nafkah anak-anak mestilah diperhatikan bahwa nafkah
anak yang masih kecil berbeza dengan anak yang sudah besar. Anak-anak perempuan
berbeza pula dengan anak-anak lelaki. Tidak kira dari ibu yang mana, kesemuanya
mereka berhak memiliki kasih sayang serta perhatian yang seksama dari bapa
mereka. Jangan sampai mereka diterlantarkan kerana kecenderungan si bapa pada
salah seorang isteri serta anak-anaknya saja.





Keadilan juga sangat dituntut oleh Islam agar dengan
demikian si suami terpelihara dari sikap curang yang dapat merosakkan
rumahtangganya. Seterusnya, diharapkan pula dapat memelihara dari terjadinya
cerai-berai di antara anak-anak serta menghindarkan rasa dendam di antara
sesama isteri.





Sesungguhnya kalau diperhatikan tuntutan syarak dalam
hal menegakkan keadilan antara para isteri, nyatalah bahwa sukar sekali
didapati orang yang sanggup menegakkan keadilan itu dengan sewajarnya.





Bersikap adil dalam hal-hal menzahirkan cinta dan kasih
sayang terhadapisteri-isteri, adalah satu tanggungjawab yang sangat berat.
Walau bagaimanapun, ia termasuk perkara yang berada dalam kemampuan manusia.
Lain halnya dengan berlaku adil dalam soal kasih sayang, kecenderungan hati dan
perkara-perkara yang manusia tidak berkesanggupan melakukannya, mengikut tabiat
semulajadi manusia.





Hal ini sesuai dengan apa yang telah difirmankan Allah
dalam Surah an-Nisak ayat 129 yang berbunyi;


 “Dan kamu tidak
sekali-kali akan sanggup berlaku adil di antara isteri-isteri kamu sekalipun
kamu bersungguh-sungguh (hendak melakukannya); oleh itu janganlah kamu
cenderung dengan melampau-lampau (berat sebelah kepada isteri yang kamu
sayangi) sehingga kamu biarkan isteri yang lain seperti benda yang tergantung
(di awang-awang).”


Selanjutnya Siti ‘Aisyah (r.a.) menerangkan, maksudnya;





Bahwa Rasulullah (s.a.w.) selalu berlaku adil dalam
mengadakan pembahagian antara isteri-isterinya. Dan beliau berkata dalam
doanya: “Ya Allah, inilah kemampuanku membahagi apa yang ada dalam milikku. Ya
Allah, janganlah aku dimarahi dalam membahagi apa yang menjadi milikku dan apa
yang bukan milikku”


Menurut Prof. Dr. Syeikh Mahmoud Syaltout; “Keadilan
yang dijadikan syarat diperbolehkan poligami berdasarkan ayat 3 Surah an-Nisak.
Kemudian pada ayat 129 Surah an-Nisa pula menyatakan bahwa keadilan itu tidak
mungkin dapat dipenuhi atau dilakukan. Sebenamya yang dimaksudkan oleh kedua
ayat di atas ialah keadilan yang dikehendaki itu bukanlah keadilan yang menyempitkan
dada kamu sehingga kamu merasakan keberatan yang sangat terhadap poligami yang
dihalalkan oleh Allah. Hanya saja yang dikehendaki ialah jangan sampai kamu
cenderung sepenuh-penuhnya kepada salah seorang saja di antara para isteri kamu
itu, lalu kamu tinggalkan yang lain seperti tergantung-gantung.”





Kemudian Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shidieqy pula
menerangkan; “Orang yang boleh beristeri dua ialah yang percaya benar akan
dirinya dapat berlaku adil, yang sedikit pun tidak akan ada keraguannya. Jika
dia ragu, cukuplah seorang saja.”





“Adil yang dimaksudkan di sini ialah ‘kecondongan
hati’. Dan ini tentu amat sulit untuk dilakukan, sehingga poligami adalah suatu
hal yang sukar untuk dicapai. Jelasnya, poligami itu diperbolehkan secara
darurat bagi orang yang benar-benar percaya dapat berlaku adil.”





Selanjutnya beliau menegaskan, jangan sampai si suami
membiarkan salah seorang isterinya terkatung-katung, digantung tak bertali.
Hendaklah disingkirkan sikap condong kepada salah seorang isteri yang menyebabkan
seorang lagi kecewa. Adapun condong yang dimaafkan hanyalah condong yang tidak
dapat dilepaskan oleh setiap individu darinya, iaitu condong hati kepada salah
seorangnya yang tidak membawa kepada mengurangkan hak yang seorang lagi.





Afif Ab. Fattah Tabbarah dalam bukunya Ruhuddinil
Islami mengatakan; “Makna adil di dalam ayat tersebut ialah persamaan; yang
dikehendaki ialah persamaan dalam hal pergaulan yang bersifat lahir seperti
memberi nafkah, tempat tinggal, tempat tidur, dan layanan yang baik, juga dalam
hal menunaikan tanggungjawab sebagai suami isteri.”





  1. 5. Tidak menimbulkan huru-hara di kalangan isteri mahupun anak-anak.



Jadi, suami mesti yakin bahwa perkahwinannya yang baru
ini tidak akan menjejaskan serta merosakkan kehidupan isteri serta anak-anaknya.
Kerana, diperbolehkan poligami dalam Islam adalah untuk menjaga kepentingan
semua pihak. Jika kepentingan ini tidak dapat dijaga dengan baik, maka
seseorang yang berpoligami pada saat itu adalah berdosa.





  1. 6. Berkuasa menanggung nafkah.



Yang dimaksudkan dengan nafkah di sini ialah nafkah
zahir, sebagaimana Rasulullah (s.a.w.) bersabda yang bermaksud;





“Wahai sekalian pemuda, sesiapa di antara kamu yang
berkuasa mengeluarkan nafkah, maka hendaklah kamu berkahwin. Dan sesiapa yang
tidak berkuasa, hendaklah berpuasa.”


Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah (s.a.w.)
menyuruh setiap kaum lelaki supaya berkahwin tetapi dengan syarat sanggup
mengeluarkan nafkah kepada isterinya. Andaikan mereka tidak berkemampuan, maka
tidak digalakkan berkahwin walaupun dia seorang yang sihat zahir serta
batinnya. Oleh itu, untuk menahan nafsu seksnya, dianjurkan agar berpuasa.
Jadi, kalau seorang isteri saja sudah kepayahan untuk memberi nafkah, sudah
tentulah Islam melarang orang yang demikian itu berpoligami. Memberi nafkah
kepada isteri adalah wajib sebaik saja berlakunya suatu perkahwinan, ketika
suami telah memiliki isteri secara mutlak. Begitu juga si isteri wajib mematuhi
serta memberikan perkhidmatan yang diperlukan dalam pergaulan sehari-hari.





Kesimpulan dari maksud kemampuan secara zahir ialah;





  • Mampu memberi nafkah asas seperti pakaian dan makan minum.

  • Mampu menyediakan tempat tinggal yang wajar.

  • Mampu menyediakan kemudahan asas yang wajar seperti pendidikan dan
    sebagainya.

  • Sihat tubuh badannya dan tidak berpenyakit yang boleh menyebabkan ia
    gagal memenuhi tuntutan nafkah zahir yang lain.

  • Mempunyai kemampuan dan keinginan seksual.






3.2 Hikmah  Diperbolehkannya Poligami


Islam adalah kata akhir Allah yang dengannya ia menutup
risalah-risalah sebelumnya. Karena itulah, ia juga membawa syariat yang
universal dan abadi, untuk seluruh penjuru dunia untuk semua zaman dan untuk
semua umat manusia.





Ia tidak membuat syariat untuk orang kota dengan
melalaikan orang desa, tidak untuk masayarakat daerah beriklim dingin dengan
merupakan masyarakat beriklim tropis dan tidak pula suatu abad dengan melupakan
abad dan generasi lain.





Ia telah mengukurkebutuhan individu, kebutuhan
masyarakat, sekaligus kadar kepentingan semua pihak. Ada diantara mereka yang
memiliki semangat besar untuk memiliki keturunan, akan tetapi diberi rezeki
dengan istri yang tidak beranak karena mandul, berpenyakit, atau sebab lainnya.





Ada satu diantara tiga pilihan bagi perempuan yang
jumlahnya berlebih dibanding dengan jumlah laki-laki:





  1. Menghabiskan seluruh masa hidupnya dengan menelan kenyataan pahit
    tidak mendapatkan jodoh.

  2. Melepaskan kendali, menjadi pemuas nafsu bagi laki-laki hidung
    belang yang diharamkan.

  3. Atau menikah dengan seorang laki-laki beristri yang mampu memberi
    nafkah dan berlaku baik.



Tidak diragukan lagi, cara terakhir adalah alternatif
yang adil, dan merupakan solusi terbaik terhadap permasalahan yang akan
dihadapinya. Dan itulah keputusan hukum islam,


 “ Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin “


Itulah poligami, yang tdak diterima orang-orang barat
yang Nasrani itu. Mereka mencibir dan memperolok-olok kaum muslimin dengan
syariat yang membolehkan poligami ini. Namun pada waktu yang bersamaan, mereka
mengizinkan kaum lelakinya berhubungan dengan perempuan-perempuan nakal dan
teman-eman hidup tanpa batas atau pun perhitungan, tidak berdasarkan pada
undang-udang atau pun norma yang patut bagi perempuan dan keturunan yang
dilahirkan, sebagai buah dari “poligami” atheis dan amoral.



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Poligami - BAB III"

Posting Komentar