Makalah Pengangkatan Anak dalam Sistem Hukum Indonesia - BAB II



BAB
II


PEMBAHASAN





A.Pengaturan
Mengenai Lembaga Pengangkatan Anak Dalam Sistem Hukum Indonesia


1.
Hukum Adat



            Sistem hukum Indonesia bersumber
pada hukum adat. Dalam hukum adat dikenal adanya pengangkatan anak,Sebagaimana
hukum adat pada umumnya di Nusantara jarang terdokumentasi secara tertulis,
tetapi hidup dalam ingatan kolektif masyarakatnya. Sebagai contoh salah satu
bagian dari hukum keluarga mengenai pengangkatan anak. Mengangkat anak disebut
“mupu anak” (Banten Utara & Cirebon), “mulung” atau “ngukut anak” (suku
Sunda umumnya) dan “mungut anak” (Jakarta). Orang tua angkat umumnya
bertanggung jawab terhadap anak yang diangkatnya sedangkan orang tua kandung
lepas tanggung jawabnya setelah pengangkatan itu. Cara pengangkatan pun sangat
sederhana biasanya hanya keluarga yang menyerahkan dan yang mengangkat, tetapi
tetangga akan segera mengetahuinya. Adapula yang dihadiri para kerabat dari
kedua belah pihak. Pengangkatan yang menggunakan surat ditemukan hanya di dua
tempat yaitu di Meester Cornelis (Jatinegara) yang disahkan asisten wedana dan
Lengkong-Bandung yang disaksikan Kepala Desa.


Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan
hukum adalah terang dan tunai. Terang ialah suatu prinsip legalitas, yang
berarti perbuatan hukum itu dilakukan di hadapan dan diumumkan didepan orang
banyak, dengan resmi secara formal, dan telah dianggap semua orang
mengetahuinya. Sedangkan kata tunai, berarti perbuatan itu akan selesai
seketika pada saat itu juga, tidak mungkin ditarik kembali.



 Dilihat dari aspek hukum, pengangkatan anak
menurut adat tersebut, memiliki segi persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal
dalam hukum barat, yaitu masuknya anak angkat kedalam keluarga orangtua yang
mengangkatnya, dan terputusnya hubungan keluarga dengan keluarga atau orangtua
kandung anak angkat. Perbedaannya didalam hukum dat diisyaratkannya suatu
imbalan sebagai pengganti kepada orangtua kandung anak angkat -- biasanya
berupa benda-benda yang dikeramatkan atau dipandang memiliki kekuatan megis.



            Dilihat dari segi motivasi
pengangkatan anak, dalam hukum adat lebih ditekankan pada kekhawatiran (calon
orangtua angkat) akan kepunahan, maka calon orangtua angkat (keluarga yang
tidak mempunyai anak) mengambil anak dari lingkungan kekuasaan kekerabatannya
yang dilakukan secara kekerabatan, maka anak yang diangkat itu kemudian
menduduki seluruh kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang mengangkatnya dan
ia terlepas dari golongan sanak saudaranya semula.





-Islam
telah lama mengenal istilah tabbani, yang di era modern ini disebut adopsi atau
pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung, yakni
ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.





2.
Hukum Islam


Tabanni secara harfiah diartikan sebagai
seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak
kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah
pendidikan dan keperluan lainnya. Secara hukum anak itu bukanlah anaknya.


Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang
pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri yang luas rezekinya, namun belum
dikaruniai anak. Maka itu, sangat baik jika mengambil anak orang lain yang
kurang mampu, agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau
untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya.


Hanya saja, ketika mengangkat (adopsi)
anak, jangan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan
ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat Islam. Banyak dalil
yang mendasarinya.


Jadi, Adopsi yang dilakukan berdasarkan
Hukum Islam, tidak menjadikan anak yang diangkat mempunyai hubungan dengan
orangtua angkat seperti hubungan yang terdapat dalam hubungan darah.


3.
Hukum Perdata Barat



 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
tidak ditemukan suatu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat.
BW hanya mengatur tentang pengkuan anak diluar kawin, yaitu seperti yang diatur
dalam Buku I Bab 12 bagian ketiga BW, tepatnya pada Pasal 280 sampai 289 yang
substansinya mengatur tentang pengakuan terhadap anak-anak diluar kawin.



 Lembaga pengakuan anak diluar kawin, tidak
sama dengan lembaga pengangkatan anak. Dilihat dari segi orang yang
berkepentingan, pengakuan anak diluar kawin hanya dapat dilakukan oleh orang
laki-laki saja khususnya ayah biologis dari anak yang akan diakui. Sedangkan
dalam lembaga pengangkatan anak tidak terbatas pada ayah biologisnya, tetapi
orang perempuan atau lelaki lain yang sama sekali tidak ada hubungan biologis
dengan anak itu dapat melakukan permohonan pengangkatan anak sepanjang memenuhi
persyaratan hukum.



 Mengingat kebutuhan masyarakat tentang
pengangkatan anak menunjukkan angka yang meningkat, naka Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad yang isinya mengatur secara khusus
tentang lembaga pengangkatan anak tersebut guna melengkapi Hukum Perdata Barat
(BW).


B.
Syarat pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007


Pengangkatan
anak dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan adat kebiasaan artinya pengangkatan anak
dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan
kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat. Pengangkatan anak berdasarkan peratura
perundang-undangan mencakup pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan
anak melalui lembaga pengasuhan anak. Pengangkatan anak berdasarkan peraturan
perundang-undangan dilakukan melalui penetapan pengadilan.



 Berdasarkan Pasal 12 PP No. 54 Tahun 2007,
syarat-syarat pengangkatan anak meliputi:


1
Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:


a.
belum berusia 18 (delapan belas) tahun;


b.
merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;


c.
berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan


d.
memerlukan perlindungan khusus.


2
Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:


a.
anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;


b.
anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas)
tahun,sepanjang ada alasan mendesak; dan


c.
anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapanbelas)
tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.


3 Calon orang tua angkat
harus memenuhi syarat-syarat:


a.
sehat jasmani dan rohani;


b.
berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh
lima) tahun;


c.
beragama sama dengan agama calon anak angkat;


d.
berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;


e.
berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;


f.
tidak merupakan pasangan sejenis;


g.
tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;


h.
dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;


i.
memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;


j.
membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan
terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;





k.
adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;


l.
telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin
pengasuhan diberikan; dan


m.
memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.






BACK BAB I PENDAHULUAN 



NEXT BAB III PENUTUP 





 





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Pengangkatan Anak dalam Sistem Hukum Indonesia - BAB II "

Posting Komentar