Kebijakan Pemekaran Daerah





Agar
diperoleh pemahaman yang baik tentang Implementasi Kebijakan Pemekaran
Daerah, berikut ini dijelaskan terlebih dahulu bagaimana pengertian,
ciri dan fase dari sebuah Kebijakan Publik.

1. Pengertian, Ciri dan Fase Kebijakan Publik

a. Pengertian Kebijakan Publik

Berkaitan dengan definisi Kebijakan Publik, terdapat banyak batasan dan
definisi yang bisa didapatkan dari literaratur-literatur ilmu politik
maupun administrasi. Namun banyaknya pendapat tersebut tidaklah berarti
telah memberikan makna yang simpang siur atau pertentangan persepsi
tentang Kebijakan Publik. Perbedaan justeru terjadi hanya pada kedalaman
analisis di dalam merumuskan batasan-batasan Kebijakan Publik itu
sendiri. Kendati pada kenyataannya bahwa definisi atau batasan
sedemikian banyaknya, namun untuk keperluan analisis didalam tulisan ini
akan dikemukakan berapa saja dari pendapat-pendapat para ahli tersebut,
diantaranya adalah Robert Eyestone (Winarno,1989) yang berpendapat
bahwa secara luas Kebijakan Publik itu dapat didefinisikan sebagai
berikut : Public Policy is the relationship of a governments unit to its
Environment (Kebijakan Publik adalah hubungan suatu unit pemerintah
dengan lingkungannya). Konsep ini memiliki kelemahan karena mengandung
pengertian yang demikian luasnya dan sangat tidak kongkrit karena tidak
memuat secara spesifik bagaimana hubungan yang dimaksud. Batasan lain
tentang Kebijakan Publik ini diberikan secara simpel oleh Thomas R.Dye
(Winarno,1989) yang mendefinisikan Kebijakan Publik sebagai berikut :
Public Policy is whatever governments chose to do or not to do
(Kebijakan Publik adalah apa saja yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk
dilakukan atau tidak dilakukan). Sekalipun batasan ini dirasakan agak
tepat, akan tetapi batasan ini tidak cukup mengakui bahwa mungkin
terdapat adanya perbedaan yang signifikan antara apa yang diputuskan
oleh Pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh
Pemerintah.



Kemudian Charles O. Jones di dalam
bukunya An Introduction to the Study of Public Policy, mengemukakan
pendapat H. Hugh Heclo sebagai berikut: Policy is course of action
intended to accomplish some end (Kebijakan Publik adalah suatu arah
kegiatan yang tertuju kepada tercapainya beberapa tujuan). Kemudian ia
juga mengungkapkan bahwa :



A policy may usefully be considered as a
course of action or inaction rather than specific decisions or action,
and such a course has to be perceived and indentified by the analys in
question.

(Sebuah Kebijakan Publik akan lebih cocok dilihat sebagai suatu arah
tindakan atau tidak dilakukannya tindakan, daripada sebagai sekedar
suatu keputusan atau tindakan belaka).


Selain Thomas R.Dye dan H. Hugh Heclo
yang telah memberikan rumusan Kebijakan Publik yang hampir senada,
masih menurut Jones (1996), ada juga para ahli-ahli lain yang memiliki
pendapat yang senada yaitu Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt, pendapat
mereka adalah :

Policy is defined as a standing decision characterized by behavioral
consistency and repetitiveness on the part of both those who makes it
and those who abide by it.



(Kebijakan didefinisikan sebagai suatu
keputusan yang siap dilaksanakan dengan ciri adanya kemantapan prilaku
dan berulangnya tindakan, baik oleh mereka yang membuatnya maupun oleh
mereka yang harus mematuhinya).

Kemudian James E. Anderson (1975) dengan mengutip pendapat Carl J. Friedrich memberikan definisi Kebijakan sebagai berikut:

Public Policy is a proposed course of action af a person, group, or
government within a given environment providing obstacles and
opportunities wich the policy was proposed to utilized and overcome in a
effort to reach a goal or relized an objective or a purposed.

(Kebijakan Publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan pada
seseorang, golongan atau pemerintah dalam suatu lingkungan dengan
halangan-halangan dan kesempatan-kesempatannya, yang diharapkan dapat
memenuhi dn mengatasi halangan tersebut dalam rangka mencpai suatu
cita-cita atau mewujudkan kehendak serta suatu tujuan tertentu).


Dari definisi beserta keterangan yang
dikemukakan oleh Carl J.Fredrich itu, maka James E.Anderson menyimpulkan
suatu konsep Kebijakan Publik adalah sebagai berikut:

Public Policy is a purposive course of action, followed by an actor or a
set of actors in daling with a problem or metter of concern..

(Kebijakan Publik adalah suatu arah tindakan yang bertujuan, yang
dilaksanakn oleh pelaku atau pelaku kebijakan didalam mengatasi suatu
masalah atau urusan-urusan yang bersangkutan).


Agak berbeda dari definisi-definisi yang
dikemukakan Anderson terdahulu dimana penekanannya pada pembuat
kebijakan, maka Dimock and Dimock dalam bukunya yang berjudul Public
Administration mengarahkan perhatian atau fokus definisinya pada
pendapat dan keinginan rakyat. Ia memberikan definisi Kebijakan Publik
sebagai berikut:

Public Policy is the reconciliation and crystallization of the views and wants of many people and groups in the body social.

(Kebijakan Publik adalah perpaduan dan kristalisasi daripada
pendapat-pendapat dan keinginan-keinginan banyak orang dan
golongan-golongan dalam masyarakat).


Dari berbagai definisi-definisi yang
dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut diatas maka sementara dapat
disimpulkan bahwa Kebijakan Publik memiliki dimensi yang luas sehingga
menjadi sangat dinamis dan dapat diadakan pengembangan lebih lanjut.
Oleh karena itu, di dalam suatu penelitian tertentu Kebijakan Publik
dapat saja didudukkan sebagai variabel terikat (Dependent Variable) dan
sebagai variabel bebas (Independent Variable).

Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa makna dan hakekat Public Policy atau
Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang ditetapkan oleh Pejabat
Pemerintah atau pihak yang berwenang dengan tujuan untuk memenuhi
kepentingan rakyat (public Interest). Dimana kepentingan rakyat itu
merupakan keseluruhan yang utuh dari perpaduan dan kristalisasi
pendapat-pendapat, keinginan-keinginan dan tuntutan–tuntutan dari
rakyat.

b. Ciri-ciri Kebijakan Publik

Ciri-ciri khusus yang melekat pada Kebijakan Publik bersumber pada
kenyataan bahwa kebijakan tersebut dirumuskan yang oleh David Easton
(Wahab,2002) disebut sebagai orang-orang yang memiliki wewenang dalam
sistem politik, yaitu para tetua adat, ketua suku, eksekutif,
lagislator, para hakim, para administrator, para monarkhi dan lain
sebagainya. Mereka inilah yang menurut Easton, merupakan orang-orang
yang dalam kesehariannya terlibat dalam urusan-urusan politik dalam
sistem politik dan dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai pihak
yang paling bertanggung jawab berkaitan dengan keputusan atau Kebijakan
Publik tertentu.

Berkaitan dengan pendapat Easton di atas, Solichin A. Wahab di dalam
bukunya Analisis Kebijaksanaan (2002) mengemukakan beberapa ciri dari
Kebijakan Publik sebagai berikut :P
ertama, Kebijakan Publik adalah tindakan yang mengarah pada tujuan
daripada prilaku atau tindakan yang serba kebetulan, artinya bahwa
kebijakan publik adalah tindakan yang direncanakan. Kedua, Kebijakan
Publik pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling
berkait dan berpola, yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan
oleh Pejabat-Pejabat Pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan
yang berdiri sendiri. Misalnya saja kebijakan publik tidak hanya
mencakup keputusan untuk membuat Undang-Undang di dalam bidang-bidang
tertentu melainkan diikuti dengan keputusan-keputusan yang bersangkut
paut dengan implementasi dan atau pemaksaan pemberlakuannya. Ketiga,
Kebijakan Publik bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan
oleh Pemerintah di dalam bidang-bidang tertentu, misalnya di dalam
mengatur pola hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di dalam kerangka
Otonomi Daerah, industri dan perdagangan, mengendalikan inflasi, dan
lain sebagainya. Keempat, Kebijakan Publik mungkin berbentuk positif dan
mungkin pula berbentuk negatif. Dalam bentuknya yang positif, kebijakan
publik mungkin akan mencakup beberapa bentuk tindakan pemerintah yang
dimaksudkan untuk memberikan pengaruh tertentu. Sementara di dalam
bentuknya yang negatif, kebijakan publik meliputi keputusan-keputusan
Pejabat Pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan
apapun dalam masalah-masalah dimana campur tangan pemerintah justeru
sebenarnya sangat diperlukan.

Kongkritnya adalah bahwa dengan kebijakannya itu Pemerintah dapat saja
menempuh suatu kebijakan yang sangat liberal, atau cuci tangan sama
sekali, baik untuk sebagian atau seluruh sektor kehidupan masyarakat.

c. Fase-Fase Kebijakan Publik

Jika Kebijakan Publik dipandang sebagai suatu proses, maka pusat
perhatian pasti akan tertuju pada siklus kebijakan. Pada umumnya siklus
kebijakan terdiri dari beberapa fase, dan fase-fase tersebut adalah
Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan (Putra,2001).

Agak sedikit berbeda dengan pendapat diatas, William N.Dunn di dalam
bukunya Analisis Kebijakan Publik (terjemahan Muhadjir Darwin dkk;2000)
menyebutkan fase-fase kebijakan publik adalah sebagai berikut:

Proses analisis Kebijakan adalah serangkaian aktifitas intelektual yang
dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis.
Aktifitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan yang
divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung dan
diatur menurut waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi
kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.


Masih menurut Dunn, Tahapan atau
fase-fase di dalam analisis Kebijakan Publik mencerminkan aktifitas yang
terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu, setiap tahap selalu
berkaitan dengan tahap berikutnya. Tahap Terakhir kebijakan (Penilaian
Kebijakan) dikaitkan dengan Tahap Pertama (Penyusunan Agenda), atau di
tengah dalam aktifitas yang tidak linear.

Dari kedua pendapat ahli tentang fase-fase Kebijakan Publik tersebut
dapat dijelaskan bahwa kedua pendapat tersebut masing – masing
menempatkan implementasi sebagai salah satu fase yang penting di dalam
studi Kebijakan Publik.


2. Pengertian Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah

Betapapun pentingnya tahapan implementasi kebijakan, fakta telah
membuktikan bahwa baru pada dasa warsa terakhir ini saja (mulai tahun
1973) para ahli ilmu sosial mulai menyadari dan memberikan perhatian
secara serius tentang Implementasi Kebijakan dan menerimanya sebagai
bagian integral dari keseluruhan proses formulasi Kebijakan.

Untuk memperoleh batasan tentang implementasi kebijakan Pemekaran Daerah
perlu diketahui beberapa pengertian tentang implementasi Kebijakan
Publik secara umum.

Sehubungan dengan batasan Implementasi Kebijakan Publik ini, seorang
ilmuwan dari Harvard University, Merilee S.Grindle (1980) menyatakan
bahwa :

Implementasi Kebijakan Publik sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut
paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam
prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih
dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang
memperoleh apa dari suatu kebijakan.

Bahkan Udoji (Wahab,2002) dengan tegas juga memberikan pendapat tentang
betapa pentingnya Implementasi Kebijakan. Ia mengatakan bahwa
Implementasi Kebijakan Publik adalah :

The execution of policies is as important if not more important than
policy-making. Policies will remain dreams or blue print file jackets
unless they are implemented.

(Pelaksanaan Kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh
lebih penting daripada pembuatan kebijakan.Kebijakan-Kebijakan akan
sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip
kalau tidak dimplementasikan).


Sebagai bahan perbandingan, William N.Dunn (2000) memberikan definisi Implementasi Kebijakan Publik sebagai :

Implementasi Kebijakan berarti pelaksanaan dan pengendalian arah
tindakan kebijakan dalam jangka waktu tertentu sampai dicapainya hasil
kebijakan. Implementasi Kebijakan pada dasarnya merupakan aktivitas
praktis yang dibedakan dari formulasi kebijakan yang bersifat teoritis.


Jadi Dunn menempatkan Implementasi
sebagai konsep yang harus dibedakan namun dianggap sama pentingnya
dengan kegiatan formulasi kebijakan, jika formulasi kebijakan adalah
kegiatan dalam konteks teoritis maka implementasi kebijakan adalah
kegiatan dalam konteks praktis.

Kemudian Pressman dan Wildavsky dalam bukunya Implementation yang
diterbitkan pada tahun 1973 (Wahab,2002), yang digelar sebagai pencetus
konsep Implementasi Kebijakan Publik menyatakan bahwa sebuah kata kerja
mengimplementasikan itu sudah sepantasnya terkait langsung dengan kata
benda kebijakan. Sehingga kedua pelopor studi implementasi ini
berpendapat bahwa untuk melaksanakan kebijakan perlu mendapatkan
perhatian yang seksama, oleh karena itu adalah keliru jika menganggap
bahwa proses tersebut dengan sendirinya akan berlangsung mulus.

Agak mirip dengan pandangan kedua ilmuwan di atas, Van Meter dan Van
Horn (1978) merumuskan proses Implementasi Kebijakan Publik sebagai :

Those actions by public or private individuals (or groups) that are
directed at the achievement of objectives set forth in prior policy
decisions

(Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh/pejabat-pejabat (atau
kelompok-kelompok) pemerintah atau swasta yang diarahkan pada
tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan
kebijakan)


Jadi Van Meter dan Van Horn melihat
Implementasi Kebijakan Publik sebagai suatu aktifitas yang real dan
kongkrit, bukan menyangkut teori-teori tertentu saja, jadi senada dengan
yang dikemukakan oleh Dunn.

Masih berkaitan dengan konsep teoritik Implementasi Kebijakan Publik,
Walter William seperti yang dikutip Charles O.Jones (1996) menyatakan
bahwa :

Masalah yang penting dalam implementasi kebijakan adalah hal memindahkan
suatu keputusan ke dalam kegiatan atau pengoperasian dengan cara
tertentu. Dan cara tersebut adalah bahwa apa yang dilakukan memiliki
kemiripan nalar dengan keputusan tersebut, serta berfungsi dengan baik
di dalam lingkup lembaganya. Hal terakhir mengandung pesan yang lebih
jelas dibandingkan dengan kesulitan dalam menjembatani jurang pemisah
antara keputusan kebijakan dan bidang kegiatan yang dapat dikerjakan.


Dari dimensi yang lain, berikutnya
Daniel A.Mazmanian dan Paul A.Sabatier (1981) menjelaskan makna
Implementasi Kebijakan ini dengan mengatakan bahwa :

Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan
berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi
kebijakan, yaitu kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul
sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan publik , yang mana
mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikan maupun akibat atau
dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.


Pendapat kedua ilmuwan ini menggambarkan
bahwa proses Implementasi Kebijakan Publik sesungguhnya tidak hanya
menyangkut prilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk
melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok
sasaran, melainkan menyangkut pula jaringan kekuatan-kekuatan politik,
ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi
prilaku dari semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya berpengaruh
terhadap dampak baik yang diharapkan (intended) maupun yang tidak
diharapkan (negative effect). Di dalam pendapat ini juga terlihat bahwa
antara apa yang disebut sebagai Perumusan Kebijakan dan Implementasi
Kebijakan tidak dianggap sebagai suatu proses yang terpisah.

Menurut Agus Dwiyanto (1995), Implementasi Kebijakan Publik
mempersoalkan proses Implementasi Kebijakan Pemerintah. Jadi pertanyaan
yang akan dijawab oleh studi ini adalah mengapa suatu Kebijakan Publik
gagal mencapai tujuannya. Dengan demikian studi ini berusaha
mengungkapkan proses implementasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan dan kegagalan implementasi suatu Kebijakan Publik.

Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ilmuwan tadi
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Implementasi Kebijakan
Pemekaran Daerah adalah aktifitas-aktifitas praktis yang dilakukan
secara sistematis untuk menerapkan keputusan-keputusan yang ditetapkan
oleh Pemerintah dalam rangka Pembentukan Daerah suatu daerah tertentu
dengan proses Pemekaran Daerah.


B. Substansi Kebijakan Pemekaran Daerah.

1. Pemekaran Daerah

Analisis tentang wilayah atau daerah belum banyak ditemukan di dalam
literatur-literatur Ilmu Sosial sehingga di ditemukan sedikit kesulitan
di dalam merumuskan konsep-konsep teoritik tentang Daerah. Kemudian
antara sebutan Daerah dan Wilayah tidak berhasil ditemukan adanya
perbedaan, bahkan kedua sebutan ini sering dipertukarkan di dalam
pemakaian sehari-hari. Oleh para ahli, batasan mengenai ilmu wilayah
diartikan sebagai berikut :

Ilmu wilayah adalah suatu ilmu yang mempelajari wilayah terutama sebagai
suatu sistem, khususnya yang menyangkut hubungan interaksi dan
interpendensi antara subsistem utama, ekosistem dengan sub sistem utama
sosial sistem, serta kaitannya dengan wilayah-wilayah lainnya dalam
membentuk suatu kesatuan wilayah guna pengembangan termasuk penjagaan
kelestarian wilayah tersebut (Sutami,1997).


Lebih lanjut beberapa ahli
mendefinisikan wilayah sangat berbeda satu sama lain karena kepentingan
dan latar belakang yang berbeda pula. Sebagaimana dikutip oleh Hadi
Sabari (2000) dari beberapa pakar berikut ini : misalkan saja T.J.Wofter
yang mengatakan bahwa :

suatu wilayah adalah daerah tertentu yang di dalamnya tercipta
homogenitas struktur dan sosial sebagai perwujudan kombinasi antara
faktor-faktor lingkungan dan demografi.


Kemudian R.S. Platt yang berpendapat bahwa :

suatu wilayah adalah daerah tertentu
yang keberadaannya dikenal berdasarkan homogenitas umum baik atas dasar
karakter lahan maupun huniannya.


Selanjutnya P. Vidal dela Blache, bahwa :

wilayah adalah tempat (domain) tertentu
yang di dalamnya terdapat banyak sekali hal yang berbeda beda, namun
secara artifisial bergabung bersama-sama, saling menyesuaikan untuk
membentuk kebersamaan.

Berikutnya A.J. Herbertson, yang mengartikan :


wilayah sebagai bagian dari bagian yang
tertentu dari permukaan bumi yang mempunyai sifat khas tertentu sebagai
akibat dari adanya hubungan-hubungan khusus antara komplek lahan, air,
udara, tanaman, binatang dan manusia sendiri.


Taylor yang melihat wilayah dari penampakan karakteristik memberikan batasan wilayah yaitu :

Sebagai suatu daerah tertentu di permukaan bumi yang dapat dibedakan
dengan daerah tetangganya atas dasar kemampuan karakteristik atau
properti yang menyatu.


Dari batasan dan pengertian yang
diberikan oleh para Ahli diatas, maka dapat dikelompokkan adanya 3
pandangan tentang wilayah yaitu dari sudut pandang Humaniora
(kemanusiaan), natural fenomena (gejala alamiah) dan geographycal
fenomena (gejala geografi). Dengan demikian, dari pandangan-pandangan
diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa perwilayahan adalah usaha untuk
membagi-bagi permukaan bumi atau bagian dari permukaan bumi tertentu
untuk tujuan yang tertentu pula dengan kriteria seperti administratif,
politik, ekonomi, sosial, kultural, fisik, geografis dan sebagainya.
Selanjutnya perwilayahan tersebut membentuk organisasi dan kelembagaan
dengan program berbagai variabelnya antara lain kepemimpinan, doktrin,
program, sumber-sumber daya (Alam dan manusia) dan struktur intern
lainnya (Eaton,1986)

Sedangkan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksudkan dengan Daerah adalah :

Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tententu berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bertujuan untuk mendorong
pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas masyarakat
serta mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Jadi intinya adalah memberikan kewenangan kepada Daerah Otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakatnya yang sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Dengan demikian pemikiran yang mendasari lahirnya
Undang-Undang tentang Otonomi Daerah ini adalah :

a. Dalam rangka memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.

b. Penyelenggaraan otonomi daerah dilakukan dengan prinsip demokrasi,
peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, kemandirian, menjaga
keserasian hubungan dengan Pemerintah Pusat serta memperhatikan potensi
dan keberagaman daerah.

c. Guna menghadapi persaingan global, jadi Daerah diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab (Gaffar, 2002).

Berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut sudah barang tentu
menyebabkan terjadinya perubahan yang fundamental terhadap
elemen-elemen Pemerintahan Daerah serta memerlukan penataan-penataan
yang sistematis. Elemen-elemen utama yang membentuk Pemerintah Daerah
itu adalah :

a. Adanya urusan otonomi yang merupakan dasar dari kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri,

b. Adanya kelembagaan yang merupakan pewadahan dari otonomi yang diserahkan kepada Daerah,

c. Adanya personil (pegawai daerah) untuk menjalankan urusan otonomi,

d. Adanya sumber keuangan untuk pembiayaan pelaksanaan otonomi,

e. Adanya unsur perwakilan rakyat yang merupakan perwujudan demokrasi di daerah,dan

f. Adanya manajemen pelayanan umum (public service).

Tujuan-tujuan yang ingin diperoleh dari adanya penataan tersebut terdiri dari :

a. Tujuan utama yaitu bagaimana dengan penataan kewenangan, kelembagaan,
personil, keuangan, perwakilan dan manajemen urusan otonomi tersebut
akan dapat memberdayakan Pemerintah Daerah agar mampu menjalankan
tugasnya sebagai Daerah Otonom dengan baik (Gaffar, 2002).

b. Tujuan politis yaitu memposisikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen
pendidikan politik ditingkat lokal yang secara agregat akan
menyumbangkan pendidikan politik secara nasional sebagai elemen dasar
menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa. Pemberian Otonomi dan
pembentukan institusi Pemerintah Daerah akan mencegah terjadinya
sentralisasi dan mencegah kecenderungan sentrifugal dalam bentuk
pemisahan diri (Smith, 1985).

c. Tujuan administratif yaitu mengisyaratkan Pemerintah Daerah akan
mencapai efisiensi dan efektifitas dalam menjalankan tugas pokok dan
fungsinya dalam artian bertindak dan menggunakan dana publik tidak boros
yang pada gilirannya dalam pemilihan umum yang akan datang tidak lagi
mendapat mandat untuk menjalankan amanah masyarakat (Gaffar, 2002).

Dari uraian diatas tersirat bahwa dimungkinkan adanya pembentukan daerah
otonom yang baru, diantaranya yang ditempuh melalui cara pemekaran
daerah. Pemekaran Daerah sendiri dimaksudkan adalah dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui : (1)peningkatan pelayanan
kepada masyarakat; (2)percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;
(3)percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; (4)percepatan
pengelolaan potensi daerah; (5)peningkatan keamanan dan ketertiban;
serta (6)peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah (PP
Nomor 129 Tahun 2000).

Selanjutnya di dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah R.I Nomor 129 Tahun
2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran,
Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, yang dimaksud dengan Pemekaran
Daerah adalah Pemecahan Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah
Kota menjadi lebih dari satu Daerah.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Pemekaran Daerah merupakan
tuntutan atau aspirasi sebagian besar masyarakat tertentu untuk
memisahkan diri dari daerah induknya, kemudian membentuk suatu daerah
baru baik itu Propinsi, Kabupaten atau Kota dengan pertimbangan dan
alasan-alasan tertentu sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jadi Pemekaran Daerah lebih terarah pada keinginan atau aspirasi
masyarakat.


2. Substansi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pemekaran Daerah.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pemekaran Daerah di Kabupaten
Aceh Barat adalah landasan hukum pelaksanaan pemekaran daerah, dimana
Kabupaten Aceh Barat dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh
Barat sebagai induk, Kabupaten Aceh jaya dan Kabupaten Nagan Raya
sebagai Kabupaten yang baru. Undang-Undang ini mengatur beberapa hal
pokok , yaitu:

a) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 dikeluarkan dengan pertimbangan
adanya perkembangan dan kemajuan di bidang penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan di Kabupaten Aceh Barat serta segenap kemampuan sumber
daya yang ada (ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
jumlah penduduk, luas daerah dan lain-lain),

b) Pembentukan Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Nagan Raya sebagai
hasil pemekaran Kabupaten Aceh Barat dimaksudkan agar dapat mendorong
peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan
kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi
daerah,

c) Pengaturan secara jelas tentang batas-batas daerah serta ibukota, baik ibu kota Kabupaten maupun Kecamatan,

d) Kewenangan Kabupaten-Kabupaten yang baru terbentuk mencakup seluruh
kewenangan bidang pemerintahan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan,

e) Untuk Kabupaten yang baru terbentuk, Pembentukan DPRD sudah harus
dilaksanakan paling lambat 6 bulan setelah peresmian Kabupaten,

f) Untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten yang baru
terbentuk, Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati yang definitif sudah harus
dilaksanakan paling lambat dalam waktu 1 tahun setelah peresmian
Kabupaten,

g) Sebelum terpilihnya Bupati dan Wakil Bupati yang definitif, maka
diangkat Penjabat Bupati oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden,

h) Untuk kelengkapan perangkat pemerintahan di Kabupaten yang baru maka
dibentuk Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas-Dinas Kabupaten dan
Lembaga-Lembaga teknis lainnya,

i) Berkaitan dengan sumber daya, serah terima sumber daya dari Kabupaten
Induk kepada Kabupaten-Kabupaten yang baru terbentuk segera
dilaksanakan. Sumber-sumber daya tersebut dapat berupa Pegawai Negeri,
barang milik/ asset daerah, Badan Usaha Milik Daerah, dokumen atau arsip
maupun utang-piutang,

j) Biaya yang diperlukan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan,
pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat sebelum ditetapkannya
APBD di Kabupaten yang baru maka dibebankan kepada APBD Kabupaten Induk,

k) Sebelum Kabupaten yang baru terbentuk menetapkan Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2002, maka yang berlaku adalah Peraturan Daerah dan Keputusan
Kepala Daerah Kabupaten induk (Kabupaten Aceh Barat).


3. Indikator Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah.

Berdasarkan beberapa substansi pokok yang diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2002 tersebut di atas, penulis dapat merinci beberapa
indikator pokok yang dapat dijadikan tolok ukur implementasi
Undang-Undang tentang Pemekaran Daerah Kabupaten Aceh Barat, yaitu :

a) Diresmikannya Kabupaten dan dilantiknya Penjabat Bupati paling lambat 1 bulan setelah UU Nomor 4 Tahun 2002 diundangkan.

b) Terbentuknya Organisasi Perangkat Daerah,

c) Terbentuknya DPRD paling lambat 6 bulan setelah peresmian Kabupaten,

d) Terpilihnya Bupati dan Wakil Bupati yang definitif paling lambat 1 tahun setelah peresmian Kabupaten,

e) Terlaksananya serah terima Asset Daerah dari Pemerintah Daerah
Kabupaten Induk kepada Kabupaten yang baru paling lambat 1 tahun setelah
peresmian Kabupaten,

Implementasi Undang-Undang dimaksud dianggap terlaksana sebagaimana
mestinya apabila semua indikator-indikator di atas telah dapat
dilaksanakan, demikian pula sebaliknya.


C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah

Eugene Bardach di dalam bukunya yang sangat provokatif yaitu The Implementation Game (Jones,1996) mengatakan bahwa :

Adalah cukup sulit untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang
kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam
kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakkan bagi telinga
para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit
lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk dan cara yang memuaskan semua
orang termasuk mereka yang dianggap sebagai klien.


Disini Bardach bermaksud melukiskan
kesulitan-kesulitan dalam mencapai kesepakatan di dalam proses kebijakan
publik dan menerapkan kebijakan tersebut. Hal ini terlihat pada
pelaksanaan kerja serta pemindahan dari tujuan yang disepakati ke proses
pencapaian tujuan tersebut.

Jones sendiri menilai bahwa dalam Implementasi Kebijakan, pergeseran
atau pemindahan yang dimaksudkan oleh Bardach tadi merupakan salah satu
masa tenggang yang populer dalam proses Kebijakan Publik, yaitu
pergeseran dari aspek politik ke aspek administrasi. Dengan demikian
cukup penting untuk diakui bahwa tidak ada gambaran yang jelas tentang
kebijakan umum di dalam praktek. Pada bagian akhir dari penjelasannya,
Bardach juga mengatakan bahwa proses kesepakatan untuk menyetujui suatu
program tertentu jarang memecahkan masalah yang memuaskan bagi setiap
orang.

Hogwood dan Gunn (Wahab,2002) secara garis besar menjelaskan bahwa
kegagalan suatu kebijakan (policy failure) dapat dikelompokkan menjadi
dua katagori. Pertama, yaitu tidak terimplementasikannya kebijakan itu
(non implementation gap) dan Implementasi Kebijakan yang tidak berhasil
(unsuccesfull implementation). Tidak terimplementasinya kebijakan
berarti bahwa suatu kebijakan tidak berjalan sesuai dengan harapan,
bahkan bisa diakibatkan karena pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam
implementasi tidak bersedia bekerjasama, atau sedemikian luasnya
jangkauan yang ingin dicapai oleh kebijakan.

Masih menurut Hogwood dan Gunn, agar Implementasi Kebijakan dapat
dilaksanakan dengan baik maka harus memperhatikan faktor-faktor berikut
ini yaitu: (1)kondisi eksternal yang dihadapi organisasi dan instansi
pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan dan kendala; (2)untuk
melaksanakan kebijakan harus tersedia waktu dan sumber-sumber yang
memadai; (3)keterpaduan antar sumber daya yaitu manusia, dana dan
fasilitas-fasilitas pendukung lainnya; (4)kebijakan yang di
implementasikan harus didasari hubungan kausalitas yang erat; (5)
hubungan kausalitas harus bersifat langsung dan hanya sedikit mata
rantai penghubungnya; (6)hubungan saling ketergantungan harus kecil;
(7)pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan;
(8)tugas-tugas harus terperinci dan ditempatkan pada urutan yang tepat;
(9)komunikasi dan koordinasi yang sempurna dan (10)pihak-pihak yang
memiliki wewenang dapat menuntut dan memperoleh kepatuhan kewenangan.

Menurut Mazmanian dan Sabatier (Wahab,2002) dalam rangka
memformulasikan penelitian tentang Implementasi Kebijakan hal terpenting
adalah merancang dan mengidentifikasikan variabel-variabel yang
dianggap penting, kemudian menetapkan varibel mana yang paling
mempengaruhi dalam menentukan berhasil atau gagalnya suatu kebijakan.
Masih menurut kedua ahli tadi, Sabatier dan Mazmanian (Wibawa,1994),
bahwa variabel-variabel yang dapat mempengaruhi berhasil atau gagalnya
suatu kebijakan adalah sebagai berikut : (1)mudah atau tidaknya masalah
yang akan dikerjakan; (2)kemampuan keputusan kebijakan untuk
menstrukturkan secara tepat proses implementasi kebijakan; (3)pengaruh
langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi
tujuan yang termuat dalam keputusan tersebut.

Kemudian mereka juga mengidentifikasikan variabel-variabel yang
mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu : (a)variabel kemampuan
landasan hukum (peraturan) terhadap implementasi struktur; dan
(b)variabel non peraturan yang mempengaruhi implementasi kebijakan.

Variabel kemampuan landasan hukum (peraturan) terhadap implementasi
struktur meliputi: (1)kejelasan dan konsistensi sasaran; (2)sumber daya
keuangan; (3)keterpaduan dari teori kausal yang memadai; (4)integrasi
hierarkis dengan dan antar lembaga pelaksana; (5)peraturan keputusan
dari agen pelaksana; (6)rekruitmen dari pejabat pelaksana; (7)akses
formal ke luar. Sedangkan variabel non peraturan yang mempengaruhi
jalannya implementasi kebijakan meliputi : (1)kondisi sosial ekonomi dan
teknologi;(2) perhatian media terhadap masalah; (3)dukungan publik;
(4)sikap dan sumber daya kelompok sasaran utama; (5)dukungan kewenangan;
(6)komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana.

Van Meter dan Van Horn (Wahab,2002) menjelaskan ada beberapa variabel
bebas yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan yaitu:
(1)ukuran dan tujuan kebijakan; (2)sumber-sumber kebijakan; (3)ciri-ciri
atau sifat badan/instansi pelaksana dan (4) lingkungan ekonomi, sosial
dan politik.

Gagal atau berhasilnya implementasi suatu kebijakan menurut Edward III
(1980) ditentukan oleh 4 faktor, yaitu: (1)komunikasi; (2)sumber-sumber
daya; (3)disposisi dan (4)struktur birokrasi.

Selanjutnya G.Shabbir Chemma dan Dennis A. Rondinelli (Wibawa,1994)
mengungkapkan ada 4 variabel besar yang mempengruhi berhasil dan
gagalnya implementasi kebijakan yaitu: Pertama, kondisi lingkungan
meliputi : (a)model politik; (b)struktur pembuatan kebijakan;
(c)karekteristik struktur kekuatan lokal; (d)kendala sumber daya,
(e)faktor sosio kultural; (f)kecukupan infrastruktur fisik. Kedua,
hubungan antar organisasi meliputi: (a)kejelasan dan konsistensi
terhadap tujuan kebijakan; (b)hubungan antar dinas yang seimbang;
(c)standarisasi perencanaan, anggaran, implementasi dan prosedur
evaluasi, (d)keakuratan, konsistensi dan kualitas komunikasi antar
organisasi dan(e) kefektifan jaringan untuk mendukung kegiatan kebijakan
(program). Ketiga, sumberdaya organisasi yang meliputi: (a)sejauhmana
organisasi mengontrol sumberdana; (b)kecukupan alokasi budget dengan
program; (c)ketepatan waktu penerimaan budget; (d)dukungan kepemimpinan
politik lokal; (e)dukungan dan kepemimpinan politik nasional dan
(f)komitmen birokrasi pada tingkat nasional. Sedangkan variabel yang
keempat adalah karekteristik dan kemampuan agen pelaksana meliputi:
(a)teknik,manajerial dan keahlian politik para staf; (b)kemampuan untuk
mengkoordinasikan dan mengontrol keputusan; (c)dukungan dan sumberdaya
agen politik; (d)komunikasi internal organisasi; (e)hubungan agen
pelaksana dan terget group; (f) hubungan agen pelaksana dengan
organisasi non pemerintah lainnya; (g)kualitas kepemimpinan agen
pelaksana; (h)komitmen para staf untuk melaksanakan program dan
(i)lokasi agen pelaksana dalam sistem administrasi.

Yang terakhir adalah pendapat Merilee S.Grindle (1980), Ia
mengidentifikasi dua hal yang sangat menentukan keberhasilan dalam
Implementasi Kebijakan, yaitu Isi Kebijakan dan Konteks dari
Implementasi itu sendiri. Dua hal itu kemudian dirinci menjadi :

a. Isi Kebijakan (Content of Policy) yang terdiri dari :

1) kepentingan siapa yang terlibat,

2) macam-macam manfaat,

3) sejauhmana perubahan akan diwujudkan,

4) tempat pembuatan kebijakan,

5) siapa yang menjadi implementatornya, dan

6) sumberdaya yang tersedia/disediakan.

b. Konteks Implementasi (Context of Implementation) yang terdiri dari:

1) kekuasaan, kepentingan, dan strategi para aktor yang terlibat,

2) karateristik lembaga dan rejim, dan

3) sesuai dengan kaidah dan tingkat responsif.

Kesimpulan yang dapat diambil dari apa yang disampaikan oleh Grindle ini
adalah bahwa keberhasilan dari Implementasi Kebijakan ditentukan oleh
banyak hal, terutama yang menyangkut kepentingan-kepentingan yang
terlibat didalamnya. Sebuah Kebijakan yang sederhana tentu saja tidak
melibatkan kepentingan banyak orang dan kelompok masyarakat sehingga
pada akhirnya tidak akan membawa perubahan besar. Sebaliknya semakin
melibatkan banyak kepentingan, maka keterlibatan seseorang atau kelompok
dalam Implementasi Kebijakan tersebut akan sangat tergantung pada
apakah kepentingannya terlindungi atau bahkan orang atau kelompok
tersebut akan memperoleh manfaat yang besar atau tidak. Kalau
kepentingannya terlindungi, maka dia akan berusaha untuk terlibat secara
aktif dalam Implementasi Kebijakan karena bagaimanapun juga maanfaatnya
pasti akan sampai kepada yang bersangkutan.

Berikutnya yang terakhir adalah pendapat Maarse (Tobing;1978) yang
mengemukakan bahwa implementasi suatu kebijakan publik dipangaruhi oleh 4
faktor, yaitu : Pertama adalah isi kebijakan yang harus dilaksanakan,
Kedua adalah tingkat informasi dari aktor-aktor yang terlibat dalam
implementasi, Ketiga adalah banyaknya dukungan bagi kebijakan yang
dilaksanakan, dan Keempat adalah potensi serta sumber daya seperti
waktu, uang dan tenaga manusia.

Berdasarkan model-model Implementasi Kebijakan Publik yang dikemukakan
oleh para ilmuwan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Kebijakan
Publik. Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam pengelompokkan
variabel antara pakar yang satu dengan pakar lainnya. Namun tesis ini
tidaklah bermaksud untuk membahas adanya perbedaan dan persamaan
tersebut. Tetapi yang penting adalah bahwa dengan model-model tersebut
telah diperoleh gambaran yang jelas bahwa terdapat banyak faktor atau
variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan.

Di dalam hal penggunaan model, Santoso (Alfian dkk:1988) mengemukakan
bahwa karya-karya atau buah pikir para pakar kebijakan belum ada yang
menyinggung kasus Indonesia secara khusus, maka beberapa variabel dari
model-model yang dikembangkan para pakar kebijakan mungkin relevan dan
mungkin saja tidak relevan untuk mengkaji proses implementasi kebijakan
di Indonesia.

Hampir senada dengan pendapat Santoso tadi, Wibawa (1994) mengemukakan
bahwa seluruh model-model implementasi kebijakan jangan diaplikasikan
secara mentah-mentah, melainkan dapat disesuaikan dengan kebutuhan studi
implementasi.

Selanjutnya dapat disimpulkan pula bahwa semua pendapat para ilmuwan
tersebut memiliki kebenaran-kebenaran, hanya saja apabila dilihat dari
tingkat relevansi dengan konteks atau aspek tertentu yang akan
dianalisis maka masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh
karena itu perlu dilakukan seleksi terhadap variabel-variabel yang tepat
dan memiliki tingkat kesesuaian atau relevansi yang tinggi dengan
penelitian ini sehingga diperoleh hasil penelitian yang akurat tentang
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat.

Setelah diadakan penyeleksian tingkat kesesuaian atau tingkat relevansi
terhadap faktor-faktor tersebut di atas maka diperoleh variabel-variabel
yang dapat mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah di
Kabupaten Aceh Barat adalah sebagai berikut :

1. Substansi Kebijakan Pemekaran Daerah,

2. SDM Implementator Kebijakan Pemekaran Daerah,

3. Struktur Birokrasi Komite Pemekaran Daerah,dan

4. Kondisi Lingkungan (kondisi sosial ekonomi dan sosial politik).

Berikut ini secara teoritik akan dijelaskan keempat faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan tersebut, yaitu :


1. Substansi Kebijakan Pemekaran Daerah

Dari berbagai pendapat para ilmuan yang telah disebutkan terdahulu yaitu
pada bagian faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Kebijakan
Publik dapat dinilai bahwa hampir semua ahli (kecuali Edward III)
sependapat jika kejelasan isi atau substansi sebuah Kebijakan Publik
sangat mempengaruhi dan menjadi salah satu faktor yang sangat penting
didalam proses implementasi sebuah kebijakan publik. Karena pada
kenyataannya banyak kasus yang disebabkan oleh permasalahan
ketidakjelasan substansi menyebabkan para stakeholders dan pejabat
pelaksana di lapangan menemukan kendala-kendala di dalam
mengimplementasikan sebuah kebijakan publik. Demikian pula masyarakat
sebagai kelompok sasaran (target group) tidak selalu dengan serta merta
menerima dan memberikan dukungannya terhadap sebuah kebijakan publik
yang diintervensikan kepada mereka. Artinya bahwa bukan tidak mungkin
apabila masyarakat akan memberikan reaksi atau respon untuk tidak
menerima atau tidak mendukung kebijakan publik tertentu karena
interpretasi mereka terhadap substansi kebijakan. Bahkan pada stadium
lanjut, substansi kebijakan publik tersebut dapat dianggap sebagai
potensi masalah atau konflik yang baru.

Untuk menemukenali substansi atau isi Kebijakan Publik, Samodra Wibawa
dalam tulisannya yang berjudul Evaluasi Kebijakan Publik (1994)
menjelaskan bahwa :

Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar,
yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara mencapai sasaran
tersebut. Komponen yang terakhir biasanya belum dijelaskan secara
rinci, dan oleh karena itulah birokrasi harus menterjemahkan sebagai
program-program aksi dan proyek. Didalam “cara” tersebut terkandung
beberapa komponen kebijakan yang lain, yaitu siapa pelaksana atau
implementatornya, berapa besar dan darimana dana diperoleh, siapa
kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana
sistem manajemennya, dan bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan
diukur.


Pada bagian selanjutnya ia juga mengatakan bahwa :

………komponen ketiga dari suatu kebijakan
yaitu cara adalah merupakan komponen yang berfungsi untuk mewujudkan dua
komponen yang pertama yaitu tujuan dan sasaran khusus.


Tidak jauh berbeda dengan pendapat di
atas, Riswanda Imawan (1999) dengan mengutip pendapat William Dunn dan
Samuel Patterson dkk mengatakan bahwa rumusan sebuah kebijakan publik
yang baik selalu berisi dua hal yaitu tujuan kebijakan dan cara mencapai
tujuan kebijakan tersebut.

Berdasarkan pendapat dua ahli di atas dapat disimpulkan bahwa komponen
utama yang mengisi sebuah Kebijakan Publik adalah tujuan dan cara
mencapai tujuan tersebut. Jadi kejelasan isi atau substansi kebijakan
sebagai faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Pemekaran Daerah
di Kabupaten Aceh Barat mengandung dua hal pokok yaitu :

a) Kejelasan tentang Tujuan Kebijakan Pemekaran Daerah.

Bahwa sebuah kebijakan yang baik harus memuat tujuan yang hendak dicapai
dengan diimplementasikan kebijakan tersebut secara jelas, baik itu
tujuan jangka pendek atau jangka panjang ataupun tujuan yang bersifat
sempit dan luas. Adanya kejelasan tujuan ini kian menjadi sangat penting
bila dikaitkan dengan ragam interpretasi yang bakal muncul baik di
kalangan pelaksana kebijakan (implementator) maupun masyarakat (target
group) ketika kebijakan diimplementasikan. Kejelasan tujuan kebijakan
selain akan menghilangkan keragu-raguan bahkan kemungkinan kesalahan
dikalangan pejabat pelaksana, juga akan meningkatkan dukungan di
kalangan masyarakat Kabupaten Aceh Barat.

b) Kejelasan tentang Cara Mencapai Tujuan Kebijakan Pemekaran Daerah.

Bahwa sebuah kebijakan publik yang baik juga memuat cara mencapai tujuan
kebijakan secara jelas, dan ini berkaitan dengan beberapa hal, yaitu :

1) Kejelasan tentang pelaksana atau implementator kebijakan Pemekaran
Daerah: hal ini sangat penting karena kejelasan implementator akan
menghilangkan kemungkinan stagnasi atau bahkan kemungkinan overlapping
dalam penanganan implementasi kebijakan publik,

2) Kejelasan tentang dana atau anggaran yang disediakan untuk
mengimplementasikan kebijakan Pemekaran Daerah: banyak kasus kebijakan
yang telah membuktikan bahwa aspek dana atau anggaran sangat diperlukan
di dalam implementasi kebijakan publik. Kejelasan tentang dana atau
sistem insentif tertentu akan dapat menggerakkan upaya pencapaian tujuan
kebijakan menjadi lebih efektif,

3) Kejelasan tentang proses atau tahapan pelaksanaan kebijakan Pemekaran
Daerah: hal ini juga sangat vital karena akan dapat menghilangkan
kemungkinan overlapping di dalam realisasi tujuan kebijakan, selanjutnya
yang terakhir adalah

4) Kejelasan tentang bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan itu
diukur: dalam sebuah kebijakan yang baik hal ini biasanya ditandai
dengan dimuatnya tenggang waktu, output secara fisik maupun non fisik
sebagai ukuran pencapaian tujuan kebijakan.


2. SDM Implementator Kebijakan Pemekaran Daerah

Sumber Daya Manusia mempunyai peran penting di dalam Implementasi
Kebijakan Publik karena fakta menunjukkan bahwa bagaimanapun jelas dan
konsistennya ketentuan serta bagaimanapun akuratnya dalam memfungsikan
aturan tersebut jika personil yang bertanggungjawab melaksanakan
kebijakan (implementator) kurang memiliki sumber daya untuk melakukan
pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak
akan bisa efektif. Hal ini seperti dikemukakan oleh Edward III (1980)
yang mengatakan :

No matter how clear and consistent implementation orders are and no
matter how accurately they transmitted, if the personnel responsible for
carrying out policies lack the resources to do an effective job,
implementation will not be effectively.


Yang dimaksudkan dengan Sumber Daya yang
terpenting di dalam implementasi kebijakan antara lain adalah
menyangkut staf yang harus mempunyai keahlian dan kemampuan melaksanakan
tugas, perintah dan anjuran atasan (pimpinan). Aspek ini biasanya
disebut dengan aspek kualitas Sumber Daya Manusia.

Disamping itu harus ada pula ketepatan dan kelayakan antara jumlah staf
yang dibutuhkan dengan keahlian yang harus dimiliki sesuai dengan
tugas-tugas yang akan dikerjakan. Aspek ini biasanya dikenal dengan
aspek kuantitas Sumber Daya Manusia. Hal ini seperti yang diutarakan
juga oleh Edward III (1980) sebagai berikut:

Important resources include staff of the proper size and with the
necessary experties ; relevant and adequate information on how to
implementation policies and on on the compliance of others involved in
implementation; the authority to ensure that policies are carried out
as they are intended; and fasilities (including buildings, equipment,
land, and supplies) in which or with which to provide services.
Insufficient resources will mean that laws will be not enforce, servis
will not be provide, and reasonable regulations will not be developed.


Berdasarkan pendapat ilmuwan diatas,
mengingat bahwa aspek manusia adalah yang terpenting dari semua jenis
sumber daya, maka di dalam penelitian ini hanya dibatasi pada faktor
Sumber Daya manusia saja. Oleh karena itu faktor Sumber Daya Manusia
implementator kebijakan Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat dibagi
kepada dua bidang kajian secara teoritik, yaitu berkaitan dengan
kualitas SDM dan kuantitas SDM aparat pelaksana (implementator)
kebijakan seperti yang telah dijelaskan di atas.

Jika tingkat kemampuan yang didasarkan tingkat pendidikan dan pengalaman
serta penguasaan tugas-tugas yang dimiliki oleh Aparat Implementator
dijadikan fokus pembahasan pada aspek Kualitas Sumber Daya manusia, maka
pembahasan yang menyangkut jumlah aparat pelaksana (implementator) yang
dibutuhkan oleh seperangkat organisasi yang dibentuk untuk
mengimplementasikan kebijakan tertentu dijadikan fokus pembahasan pada
aspek yang kedua, yaitu kuantitas Sumber daya Manusia.


3. Struktur Birokrasi Komite Pemekaran Daerah

Organisasi sebagai wadah berhimpun orang-orang yang sehaluan dan
setujuan harus mampu menampung berbagai pikiran dan keinginan
orang-orang tersebut, sehingga wadah itu tetap utuh tidak pecah belah.

Fungsi organisasi sebagai wadah erat kaitannya dengan bentuk dan
susunannya yang harus merupakan kerangka kerja. Dari perkembangan
organisasi dengan berfungsi sebagai wadah tidak cukup memenuhi tuntutan
keadaan yang makin dinamis dan kompleks. Peranan organisasi tidak hanya
sekedar sebagai tempat atau wadah, tetapi telah bertumbuh menjadi alat,
yaitu alat untuk mencapai tujuan tertentu. Hal tersebut seperti
diutarakan oleh Warsito Utomo (2003), yaitu sebagai berikut :

Apabila organisasi berperan sebagai wadah, maka akan bersifat statis,
tetapi sebagai alat maka organisasi akan berperan aktif. Dengan demikian
organisasi memiliki beberapa syarat penting yaitu susunan organisasi,
susunan personalia, sistem pembagian kerja dan pertanggungjawaban.


Karena tujuan dirumuskannya sebuah
kebijakan publik adalah ingin mencapai sesuatu tujuan tertentu, maka
sudah barang tentu untuk mengimplementasikan kebijakan publik diperlukan
sebuah organisasi. Oleh karena itu implementasi kebijakan publik tidak
dapat dilepaskan dari organisasi atau struktur birokrasi.

Berkaitan dengan hal tersebut, Jones (1996) menyatakan bahwa Kebijakan
Publik jarang berjalan swalaksana (self-executing), sedangkan organisasi
diperlukan agar pekerjaan dapat dilaksanakan.

Kemudian hal senada juga diungkapkan oleh Edward III (1980) bahwa :

Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan cukup
dan para pelaksana (implementators) mengetahui apa dan bagaimana cara
melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk melakukannya,
implementasi kebijakan bisa saja belum efektif, karena adanya
ketidakefisienan struktur birokrasi. Struktur Birokrasi ini mencakup
aspek-aspek seperti, struktur organisasi, pembagian kewenangan, hubungan
antar unit-unit organisasi.


Dua pendapat ahli di atas sudah cukup
mewakili pendapat bahwa sedemikian pentingnya sebuah organisasi untuk
mengimplementasikan suatu Kebijakan Publik. Di dalam pembahasan aspek
struktur Birokrasi Komite Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat, ada
dua hal penting yang dapat dijadikan fokus pembahasan yaitu berkaitan
dengan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Organisasi. Struktur
dimaksudkan sebagai susunan bagan-bagan atau komponen-komponen yang
menunjukkan departementasi dan spesialisasi, sedangkan Tata Kerja
dimaksudkan sebagai susunan Tugas Pokok dan Fungsi dari masing-masing
komponen yang dibentuk.


4. Kondisi Lingkungan (Kondisi Sosial Ekonomi dan Sosial Politik di Kabupaten Aceh Barat)

Kecuali Edward III, semua ilmuwan sependapat bahwa kondisi eksternal
kebijakan publik yaitu berupa kondisi lingkungan sosial ekonomi dan
sosial politik sangat mempengaruhi penerapan sebuah kebijakan publik.
Hal ini sangat beralasan disebabkan kondisi politik dan perkembangan
ekonomi ini berkaitan dengan kesiapan lingkungan terhadap perubahan yang
akan muncul sebagai konsekwensi dari dimplementasikannya sebuah
Kebijakan Publik, apalagi kebijakan tersebut akan membawa perubahan yang
sangat signifikan bagi lingkungan itu.

Selain itu, kondisi sosial ekonomi dan sosial politik juga berkaitan
dengan kesiapan lingkungan apabila diikutsertakan sebagai aktor didalam
implementasi Kebijakan Publik. Di dalam penelitian ini, mungkin
pertanyaan yang sangat relevan diajukan untuk faktor ini adalah seberapa
jauh kondisi ekonomi dan politik di Kabupaten Aceh Barat memberikan
“ruang gerak” yang cukup atau menciptakan kondisi yang kondusif bagi
penerapan Kebijakan Pemekaran Daerah.


DAFTAR PUSTAKA

Anderson,J.E. 1979, Public Policy Making, Nelson : London.

Bobrow,D.B dan Dryek,J.S. 1985, Policy Analysis by Design, University of Pittsburg Press.

Darwin,M. Teori Organisasi Publik, Magister Administrasi Publik-UGM: Yogyakarta.

Dunn,W.N. 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik (terjemahan/ Penyunting Muhadjir Darwin dkk), Gadjah Mada University Press.

Dwiyanto,A. 1995, Prinsip-Prinsip Administrasi Publik, Magister Administrasi Publik -UGM: Yogyakarta.

Dye,T.R. 1978, Understanding Public Administration, University Of Islabama Press.

………… 1978, Understanding Public Policy, Prentice Hall-Engelwood Cliffts : N.J.

Eaton,J.W. 1986, Pembangunan Lembaga dan Pembangunan Nasional : dari konsep ke aplikasi, UI-Press : Jakarta.

Edward,G.C. 1980, Implementating Public Policy, Congressional Quarterly Press : Washington.

Gaffar,A. 2000, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

………… dkk, 2002 Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Grindle,M.S. 1980, Politics and Policy Implementation in the Third World, Princetone University Press.

Hoogerwerf,A. 1983, Overheidsbeleid (terjemahan RLL Tobing 1985), Erlangga:Jakarta.

Islamy,M.I, 1998, Agenda Kebijakan Administrasi Negara, Universitas Brawijaya: Malang.


……………, 1997, Prinsip-prinsip Perumusan kebijakan Negara, Bumi Aksara: Jakarta.

……………, 1984, Materi Pokok Kebijakan Publik, Universitas Terbuka, Karunika: Jakarta.

Jones,C.O. 1996, An Introduction to the Study of Public Policy, Belmont CA : Wadsworth.

Mazmanian,D dan Sabatier,P.A. 1981, Effective Policy Implementation, Lexingtone Mass DC : Heath.

Moleong,J.L, 2001, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Posdakarya, Bandung.

Nihin,H.A.Dj. 2000, Berbagai Keadaan dan Penyikapannya, Khadik : Jakarta.

Pressman,J.L dan Wildavsky,A. 1984, Implementation, University of California : Berkeley.

Putra,F. 2001, Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik : Pustaka Pelajar,Yogyakarta.

Sabari,H. 2000, Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Santoso,A. 1988, Pelaksanaan Kebijakan Publik kasus Bima dan KUD, dalam
masa depan kehidupan politik di Indonesia, Editor Alfian dan Nazarudin
Syamsuddin, Rajawali:Jakarta.

Singarimbun,M dan Effendi,S. 1987, Metode Penelitian Survai, LP3ES : Jakarta.

Smith,B.C. 1985, Decentralization: The Territorial Dimension of the State, George Allen & Unwin : London.

Sugiono. 2001, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta : Bandung.

Syafei,I.K dkk.1997, Ilmu Administrasi Publik, Rineka Cipta : Jakarta.

Wahab, S.A. 2002, Analisis Kebijaksanaan. Bumi Aksara: Jakarta.

Wibawa,S. 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, Raja Grafindo Persada : Jakarta.

…………… 1994, Kebijakan Publik, Proses dan Analisis, Intermedia : Jakarta.

Winarno,B. 1989, Teori Kebijaksanaan Publik, Pusat Antar Universitas Studi Sosial : Yogyakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2002 Tentang Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2000 Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 Tentang
Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran,Penghapusan dan
Penggabungan Daerah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2003 Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2001 Tentang
Penetapan Jumlah dan Tata Cara Pengisian Keanggotaan DPRD Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang baru dibentuk setelah Pemilu 1999.

Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Tata Cara
Pengucapan Sumpah/Janji Pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.


Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 5
tahun 2000 tentang Perubahan atas Kepmendagri Nomor 2 Tahun 2000
Tentang Pedoman Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengesahan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Keputusan Menteri Dalam Negeri R.I Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penetapan Jumlah dan Tata Cara Pengisian Keanggotaan DPRD
Provinsi dan Kabupaten/Kota yang baru dibentuk setelah Pemilu 1999.

Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 35 Tahun 2002 Tentang Penetapan
Jumlah Penduduk dan Jumlah Kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Di Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dibentuk setelah Pemilihan Umum
1999.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kebijakan Pemekaran Daerah "

Posting Komentar