Makalah Home Industry Agar-Agar Restu - BAB II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Secara etimologis Home berarti rumah, tempat tinggal, ataupun kampung halaman. Sedang Industry, dapat diartikan sebagai kerajinan,usaha produk barang dan atau pun perusahaan. Singkatnya,
Home Industry (atau biasanyaditulis/diejadengan
"Home Industri")
adalah rumah usaha produk barang atau juga perusahaan kecil.Dikatakan sebaga iperusahaan kecil karena jenis kegiatan ekonomi ini dipusatkan di
rumah.Pengertian usaha kecil secara jelas tercantum dalam UU No. 9 Tahun
1995, yang menyebutkan bahwa usaha kecil adalah usaha dengan kekayaan bersih paling banyak
Rp200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dengan hasil penjualan tahunan paling banyak
Rp1.000.000.000.
Kriteria lainnya dalam UU No 9 Tahun
1995 adalah: milik WNI, berdiri
sendiri, berafiliasi langsung atau tidak langsung dengan usaha menengah atau besar dan berbentuk badan usaha perorangan, baik berbadan hukum maupunt idak. Home Industri juga dapat berarti industri rumah tangga, karena termasuk dalam kategori usahakecil yang
dikelola keluarga.
Pada
dasarnya, dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2013
tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) dan
peraturan-peraturan pelaksananya, tidak ada ketentuan mengenai gaji ke-14.
Biasanya sebutan gaji ke-14 digunakan untuk sebutan bonus tahunan yang
diberikan perusahaan kepada karyawan pada akhir tahun atau untuk tunjangan hari
raya (“THR”).
Berdasarkan
UU Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya, yang wajib untuk diberikan oleh
pengusaha kepada buruh atau pekerja adalah upah dan THR sebagaimana dapat kita
lihat dalam Pasal 88 UU Ketenagakerjaan (mengenai upah) dan Pasal 2
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. PER-04/MEN/1994 Tahun
1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan
(“Permenaker No. 4/1994”) (mengenai THR).
Yang
termasuk dalam komponen upah berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga
Kerja Republik Indonesia No. SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan
Komponen Upah Dan Pendapatan Non Upah, yaitu:
a. Upah Pokok: adalah
imbalan dasar yang dibayarkan kepada pekerja menurut tingkat atau jenis
pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
b.
Tunjangan Tetap: adalah suatu pembayaran yang
teratur berkaitan dengan pekerjaan yang diberikan secara tetap untuk pekerja
dan keluarganya serta dibayarkan dalam satuan waktu yang sama dengan pembayaran
upah pokok, seperti Tunjangan Isteri; Tunjangan Anak; Tunjangan Perumahan;
Tunjangan Kematian; Tunjangan Daerah dan lain-lain. Tunjangan Makan dan
Tunjangan Transport dapat dimasukan dalam komponen tunjangan tetap apabila
pemberian tunjangan tersebut tidak dikaitkan dengan kehadiran, dan diterima
secara tetap oleh pekerja menurut satuan waktu, harian atau bulanan.
c.
Tunjangan
Tidak Tetap adalah suatu pembayaran yang secara langsung atau tidak
langsung berkaitan dengan pekerja, yang diberikan secara tidak tetap untuk
pekerja dan keluarganya serta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama
dengan waktu pembayaran upah pokok, seperti Tunjangan Transport yang didasarkan
pada kehadiran, Tunjangan makan dapat dimasukan ke dalam tunjangan tidak tetap
apabila tunjangan tersebut diberikan atas dasar kehadiran (pemberian tunjangan
bisa dalam bentuk uang atau fasilitas makan).
Sedangkan, bonus
termasuk ke dalam pendapatan non upah, sebagaimana uraian komponen pendapatan
non upah berikut ini:
a.
Fasilitas: adalah kenikmatan dalam bentuk
nyata/natura yang diberikan perusahaan oleh karena hal-hal yang bersifat khusus
atau untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, seperti fasilitas kendaraan
(antar jemput pekerja atau lainnya); pemberian makan secara cuma-cuma; sarana
ibadah; tempat penitipan bayi; koperasi; kantin dan lain-lain.
b.
Bonus: adalah bukan merupakan bagian dari
upah, melainkan pembayaran yang diterima pekerja dari hasil keuntungan
perusahaan atau karena pekerja menghasilkan hasil kerja lebih besar dari target
produksi yang normal atau karena peningkatan produktivitas; besarnya pembagian
bonus diatur berdasarkan kesepakatan
c.
Tunjangan Hari Raya (THR), Gratifikasi dan Pembagian
keuntungan lainnya.
Oleh karena
itu, apabila yang dimaksud dengan gaji ke-14 itu adalah bonus tahunan, maka hal
tersebut memang bukanlah hal yang wajib untuk diberikan oleh pengusaha kepada
buruh atau pekerjanya. Ada atau tidak adanya bonus serta berapa besarnya
bergantung pada perjanjian antara pengusaha dan buruh, sehingga diperbolehkan
apabila pengusaha tidak mau memperjanjikan mengenai gaji ke-14 tersebut.
Apabila perusahaan sebelumnya memang tidak memperjanjikan “gaji ke-14” (yang
merupakan bonus) serta besarnya “gaji ke-14” tersebut, maka tidak menjadi
masalah apabila perusahaan memberikan “gaji ke-14” tersebut kurang dari besarnya
satu kali gaji bulanan yang diterima oleh para pekerja. Akan tetapi, apabila
perusahaan dan pekerja telah memperjanjikan akan adanya “gaji ke-14” berikut
besarnya “gaji ke-14” tersebut, maka perjanjian tersebut mengikat kedua belah
pihak sesuai ketentuan dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata:
“Semua
persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan
yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan
iktikad baik.”
Jika yang
dimaksud dengan “gaji ke-14” itu adalah THR, maka perusahaan wajib memberikan
THR, walaupun tidak diperjanjikan, karena mengenai THR ini telah diatur dalam
Permenaker No. 4/1994. Berdasarkan Pasal 3 Permenaker No. 4/1994,
ketentuan besarnya THR adalah sebagai berikut:
a.
Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan
secara terus menerus atau lebih sebesar 1 (satu) bulan upah (upah pokok
ditambah tunjangan-tunjangan tetap).
b.
Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara
terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan
masa kerja yakni dengan perhitungan: Masa kerja x 1 (satu) bulan upah.
Dalam hal
yang dimaksud dengan “gaji ke-14” tersebut adalah THR, jika perusahaan tidak
memberikan “gaji ke-14” yang merupakan THR tersebut atau memberikan “gaji
ke-14” akan tetapi jumlahnya kurang dari satu kali gaji bulanan, maka pengusaha
dapat dikenakan pidana sesuai dengan Pasal 8 Permenaker No. 4/1994 yakni
berupa kurungan dan denda, sebagaimana pernah diuraikan dalam artikel berjudul Langkah Hukum Jika THR Tidak
Dibayar Penuh.
B. Pengaturan
Mengenai Jam Kerja
Jam Kerja
dalah waktu untuk melakukan pekerjaan, dapat dilaksanakan siang hari dan/atau
malam hari. Jam Kerja bagi para pekerja di sektor swasta diatur dalam
Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal 77
sampai dengan pasal 85. Pasal 77 ayat 1, UU No.13/2003 mewajibkan setiap
pengusaha untuk melaksanakan ketentuan jam kerja. Ketentuan jam kerja ini telah
diatur dalam 2 sistem seperti yang telas disebutkan diatas yaitu:
1)
7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1
minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau
2)
8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1
minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.
Pada kedua sistem jam kerja tersebut
juga diberikan batasan jam kerja yaitu 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu)
minggu. Apabila melebihi dari ketentuan waktu kerja tersebut, maka waktu kerja
biasa dianggap masuk sebagai waktu kerja lembur sehingga pekerja/buruh berhak
atas upah lembur.
Akan tetapi, ketentuan waktu kerja
tersebut tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu seperti
misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak
jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan.
Ada pula pekerjaan-pekerjaan
tertentu yang harus dijalankan terus-menerus, termasuk pada hari libur resmi
(Pasal 85 ayat 2 UU No.13/2003). Pekerjaan yang terus-menerus ini kemudian
diatur dalam Kepmenakertrans No. Kep-233/Men/2003 Tahun 2003 tentang Jenis dan
Sifat Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus Menerus. Dan dalam penerapannya
tentu pekerjaan yang dijalankan terus-menerus ini dijalankan dengan pembagian
waktu kerja ke dalam shift-shift.
Adapun cara mengatur mengenai
jam kerja di lihat dari ketentuan
mengenai pembagian jam kerja, atau untuk saat ini mengacu pada UU No.13/2003.
Ketentuan waktu kerja diatas hanya mengatur batas waktu kerja untuk 7 atau 8
sehari dan 40 jam seminggu dan tidak mengatur kapan waktu atau jam kerja
dimulai dan berakhir, Pengaturan mulai dan berakhirnya waktu atau jam kerja
setiap hari dan selama kurun waktu seminggu, harus diatur secara jelas sesuai
dengan kebutuhan oleh para pihak dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan
(PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Pada beberapa perusahaan, waktu
kerja dicantumkan dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama
(PKB). Sebagaimana diatur dalam Pasal 108 ayat 1 UU No.13/2003, PP dan PKB
mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
(biasanya Disnaker).
Selain jam kerja dalam suatu
pekerjan juga terdapat waktu kerja lembur, Waktu kerja lembur adalah waktu
kerja yang melebihi 7 jam sehari untuk 6 hari kerja dan 40 jam dalam seminggu
atau 8 jam sehari untuk 8 hari kerja dan 40 jam dalam seminggu atau waktu kerja
pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan
Pemerintah (Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri no.102/MEN/VI/2004).
Waktu kerja lembur hanya dapat
dilakukan paling banyak 3 jam/hari dan 14 jam dalam 1 minggu diluar istirahat
mingguan atau hari libur resmi.
C.
Model
Kepemimpinan Perusahaan Home Industri
Salah
satu karakteristik yang melekat dalam perusahaan home industri adalah keinginan
agar kepemimpinan perusahaan dipegang sebaik-baiknya. Karakter ini secara umum
bertumpu pada peran pemilik perusahaan dalam sebuah perusahaan keluarga, yakni
memanfaatkan dan mengawasi sumber-sumber daya yang tersedia, menentukan tingkat
spesialisasi dan integritas, memfasilitasi komunikasi dan koordinasi, serta
mengatur kewenangan dan kepercayaan, termasuk menentukan siapa pemegang tampuk
pimpinan perusahaan.
1.
Struktur Kepemimpinan
Struktur
kepemimpinan yang baik mendorong terciptanya peran dan tanggung jawab yang
lebih jelas, baik bagi pemimpin perusahaan, anggota keluarga, maupun karyawan
nonkeluarga. Struktur kepemimpinan menjelaskan secara terperinci hak, tanggung
jawab, dan proses kepemimpinan dalam perusahaan home industri
Perusahaan
home industri memerlukan model kepemimpinan yang mampu menghadirkan stabilitas,
keberlanjutan, dan perubahan sekaligus. Harus diakui perubahan adalah masalah
sulit bagi perusahaan home industri.
Untuk
mengatasinya, perusahaan home industri dapat membangun konsensus tentang
pentingnya membangun dan mendukung kepemimpinan; menetapkan hak, tanggung
jawab, dan proses kepemimpinan; memanajemeni proses tata kelola bagi
pengambilan keputusan yang efektif dan penyelesaian perselisihan secara adil; membangun
rencana suksesi kepemimpinan; mengimplementasikan perencanaan secara strategis;
membangun proses guna memberikan edukasi tentang pentingnya peninggalan
(legacy), membangun proses guna mengukur keberhasilan kepemimpinan.
2.
Berbagi Kepemimpinan
Model
kepemimpinan berikutnya adalah berbagi kepemimpinan. Seiring dengan tumbuh
kembangnya perusahaan, kepemimpinan tidak mungkin lagi bergantung hanya kepada
satu figure seperti pada masa-masa awal berdirinya perusahaan home
industri.
Kepemimpinan
yang lebih bersifat kolektif akan membantu anggota keluarga mengatasi
kejenuhan, terlibat lebih dalam, dan mempercepat proses pengambilan keputusan. Berdasarkan
hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh The Jakarta Consulting Group,
konsep kebersamaan salam keluarga tetap dipegang oleh sebagian besar perusahaan
keluarga (78%) dalam pengambilan keputusan dan kebijakan strategis. Kebersamaan ini
ditunjukkan oleh mekanisme keputusan kolektif dalam pengambilan kebijakan
strategis oleh anggota keluarga yang duduk dalam kepemimpinan perusahaan.
3.
Akomodasi Kelompok
Informal
Perusahaan
home industri yang sukses umumnya memiliki model kepemimpinan yang mengakui dan
menghargai setiap pendekatan, serta berusaha mengakomodasi kelompok-kelompok
informal melalui pemahaman dan pelibatan yang lebih luas. Kelompok informal
adalah kelompok yang tidak memiliki jabatan dalam perusahaan home industri.
Perselisihan
atau konflik jamak terjadi dalam perusahaan home
industri, terutama di antara sesama anggota
keluarga. Oleh karena itu, pemimpin perusahaan home industri hendaknya
mengembangkan mekanisme penyelesaian perselisihan guna menghindari makin
membesarnya konflik yang mengancam keharmonisan anggota pekerjangya dan
keberlangsungan hidup perusahaan. Ingatlah banyak perusahaan home indstri yang
runtuh akibat berlarut-larutnya konflik.
4.
Suksesi dan Pemahaman
Salah
satu tanggung jawab pemimpin perusahaan home indutri adalah memahami kekuatan
dan kelemahan diri, keluarga, dan orang-orang yang bekerja dengannya.
Berdasarkan pemahaman inilah pemimpin perusahaan home industri dapat
menempatkan anggota keluarga dan professional nonkeluarga pada posisi dan tugas
yang tepat. Yang tak kalah penting adalah proses perekrutan, seleksi, kebijakan
kompensasi, dan penilaian kerja yang adil guna menghindari perasaan cemburu dan
benci di antara anggota keluarga dalam perusahaan.
Demi
keberlanjutan bisnis pada masa depan, perencanaan suksesi yang baik wajib
menjadi bagian dari model kepemimpinan perusahaan keluarga termasuk menentukan
calon-calon yang berpotensi menjadi pemimpin masa depan untuk kemudian
mempersiapkan mereka sejak dini.
Perencanaan
suksesi ini sebaiknya juga dikaji ulang secara berkala mengingat
perubahanperubahan yang mungkin terjadi dalam lingkungan keluarga dan
perusahaan.
5.
Profesionalitas dalam
Bisnis Keluarga
Bisnis
home industri merupakan bisnis yang rentan terjadinya hal-hal yang tidak
profesional dalam kepengurusan dan tata kelolanya. Hal ini tidak dapat
dihindari karena adanya hubungan keluarga akan menyebabkan seseorang menjadi
sungkan atau pekeweuh atau tidak enak hati dalam menyikapi setiap bentuk
"penyelewengan" yang mungkin terjadi.
Sementara,
potensi penyelewengan dalam bisnis keluarga sangat besar, mengingat tipikal
kekeluargaan justru membuat orang "lebih berani" menunjukkan sifat
pribadi mereka yang mungkin bukan sikap yang dibutuhkan perusahaan. "Sense
of belonging" yang tinggi justru akan menyebabkan perasaan "tinggi
hati" muncul mengalahkan profesionalitas.
Hubungan
kekerabatan membuat celah pada pribadi untuk merasa "santai" dengan
apa yang dipunyai. Dalam sudut pandang ini, bisnis keluarga, di mana
kepengurusan dan karyawan dijalankan oleh lingkup keluarga merupakan bisnis
dengan hubungan kerja dengan potensi konflik yang tinggi, karena subjektivitas
yang juga tinggi, yang perlu disikapi dengan baik.
D. Mekanisme Dan Penyelesaian
Perselishan Pemutusan Hubungan Kerja
a.
Mekanisme
Pemutusan Hubungan kerja
Karyawan, pengusaha dan pemerintah
wajib untuk melakukan segala upaya untuk menghindari Pemutusan Hubungan kerja.
Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha karyawan/serikatnya, Pemutusan
Hubungan kerja hanya dapat dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh
penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI).
Selain karena pengunduran diri dan
hal-hal tertentu dibawah ini, Pemutusan Hubungan kerja harus dilakukan melalui
penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial (LPPHI). Hal-hal tersebut
adalah :
1. Karyawan masih dalam masa percobaan
kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya.
2. Karyawan mengajukan permintaan
pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi
adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai
dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali.
3. Karyawan mencapai usia pensiun
sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.
4. Karyawan meninggal dunia.
5. Karyawan ditahan.
6. Pengusaha tidak terbukti melakukan
pelanggaran yang dituduhkan karyawan melakukan permohonan Pemutusan Hubungan
kerja.
7. Selama belum ada penetapan dari
LPPHI, karyawan dan pengusaha harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
Sambil menunggu penetapan, pengusaha dapat melakukan skorsing, dengan tetap
membayar hak-hak karyawan.
b.
Perselisihan
Pemutusan Hubungan kerja
Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja termasuk kategori
perselisihan hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan. Perselisihan Pemutusan
Hubungan kerja timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara karyawan
dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu
pihak. Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja antara lain mengenai sah atau
tidaknya alasan Pemutusan Hubungan kerja, dan besaran kompensasi atas Pemutusan
Hubungan kerja.
0 Response to "Makalah Home Industry Agar-Agar Restu - BAB II "
Posting Komentar