Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dan korban Sebagai Perwujudan Hak asasi manusia
Pada saat dilahirkan kedunia, manusian sebagai makhluk ciptaan Tuhan
membawa sejumlah hak dasar yag disebut sebagai Hak Asasi Manusia. Jika
ada hak yang bersifat fundamental, tentu saja hak itu adalah hak atas
hidup, keutuhan jasmani (hak atas rasa aman), dan kebebasan. Ketiga hak
ini pada dasarnya merupakan hak dasar yang tidak dapat di hilangkan dan
dikurangi dari setiap manusia dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Hak atas keamanan pribadi merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh
saksi dan korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 (yang biasa
disebut Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban). Jika dihubungkan
dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, hak
atas keamanan prbadi merupakan salah satu kategori dalam hak atas rasa
aman. Perlindungan hak atas keamanan pribadi yang dibutuhkan oleh saksi
dan korban dalam proses peradilan pidana adalah rasa aman yang
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 UU HAM pada saat memberikan
kesaksiannya selama proses peradilan.
Pada dasarnya hak atas rasa aman memeng berkaitan dengan tidak adanya
gangguan dan rasa takut. Singkatmna, hak tersebut berkaitan erat dengan
ketentraman dan ketenangan yang selayaknya yang dimiliki oleh setiap
manusia dalam menjalani kehidupannya dalam masyarakat. Untuk memahami
hak atas rasa aman, Undang-Undang Hak Asasi Manusia menjabarkan lebih
jauh lagi dalam 10 jenis hak, yaitu:
a. Hak Untuk Mencari Suaka Politik dan Untuk Memperoleh Perlindungan Politik dari Negara Lain.
Pendapat dan kritik tentang penyelenggaraan pemerintahan di suatu negara
sesungguhnya menjadi suatu hal yang wajar dan lumrah. Oleh karena hal
tersebut merupakan masukan bagi pemerintah. Akan tetapi tidak jarang
kritikan yang dilontarkan terhadap kebijakan pemerintah dianggap sebagai
upaya menggulingkan pemerintah. Sebagai ‘lawan’ dari penguasa, tidak
heran bila mereka yang melakukan hal tersebut mendapat tekanan dan dapat
dituduh sebagai pelaku kejahatan terhadap negara dan pemerintah, yang
ancaman hukumannya yaitu penjara, bahkan mungkin sampai hukuman mati.
Orang-orang yang ‘terancam’ oleh penguasa ini sesungguhnya dapat mencari
suaka politik guna mencari perlindungan politik dari negara lain. Hal
ini merupakan salah satu hak asasinya. Maka mereka harus diberi
kebebasan untuk pergi ke kedutaan besar negara lain atau pergi ke negara
lain untuk meminta perlindungan. UUD 1945 menjamin hak mereka ini dalam
Pasal 28 G Ayat (2) dan kemudian ditegaskan pada UU HAM Pasal 28 (1).
Meskipun ada pembatasan yang diberikan undang-undang ini dalam ayat (2)
dari pasal yang sama, bahwa hak untuk mencari suaka politik itu tidak
diberikan kepada mereka yang melakukan kejahatan-kejahatan nonpolitik
atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan perinsip PBB.
Jadi, untuk meminta suaka politik hanya diperuntukkan bagi
kejahatan-kejahatan politik, yaitu yang berkaitan dengan perbedaan
pendapat mengenai ideologi yang memungkinkan diberi perlindungan.
Sementara yang bersifat nonpolitik, yaitu yang bersifat kriminal
misalnya, menghilangkan nyawa, merampas harta milik orang lain dan lain
sebagainya, tidak dimungkinkan untuk diberi hak semacam itu.
b. Hak atas Perlindungan Diri Pribadi, Keluarga, Martabat dan Hak Miliknya.
Hak ini semakin mengintegritaskan manusia, karena dalam hak ini
menegaskan bahwa diri (pribadi), keluarga, kehormatan, dan hak milik
seseorang harus dilindungi. Hal ini yang menjadi perundingan dalam pasal
ini adalah kepentingan-kepentingan yang mendapat prioritas perlindungan
dalam hukum. Perlindungan khusus dalam bentuk peraturan pidana, yang
sanksinya memungkinkan untuk seseorang kehilangan harta, kebebasan
ataupun kehilangan nyawanya.
Dalam instrumen internasional, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) Pasal 12 dan 17 Ayat (2) maupun di International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 17 Ayat (1) menyatakan dengan
tegas bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum,
instrumen HAM dan hukum dalam negeri, yaitu Undang-Undang Dasar tahun
1945 yang telah diamandemen dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia tentu
saja juga meniliki ketentuan yang melindungi kepentingan-kepentingan
yang telah diakui secara universal tersebut. Setiap orang berhak untuk
mendapatkan perlindungan atas diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya. Bahkan, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan perlindungan hukum terhadap
kepentingan-kepentingan itu dalam bentuk memberikan ancaman hukuman
terhadap perbuatan yang dianggap undangt-undang ini sebagai kejahatan
karena merugikan orang lain.
Untuk perlindungan terhadap diri sendiri dan keluarga, adanya
seperangkat ketentuan tentang kejahatan kerhadap nyawa, seperti
pembunuhan ( Pasal 338 – Pasal 349) jelas dapat menjadi landasan hukum
untuk memberikan perlindungan yang diharapkan.
Dari uraian diatas, kita bisa menihat bahwa dalam hukum materiil telah
ada sejumlah ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap diri
sendiri, keluarga, martabat, kehormatan dan hak milik.
Perlindungan-perlindungan ini ternyata merupakan hak setiap orang yang
ada di Indonesia, tidak terbatas pada warga negara saja. Dengan adanya
ketentuan-ketentuan ini, aparat hukum memiliki tugas untuk memproses
setiap bentuk pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut.
c. Hak Aaas Pengakuan di Depan Hukum Sebagai Manusia Pribadi Dimana Saja Berada
Sejumlah hak yang dibawah manusia sejak lahir sesuai dengan kodratnya
sebagai manusia, akan sulit diimplementasikan apabila belum ada hukum
yang secara tegas mengakuinya. Dalam negara yang sangat menjunjung
tinggi idioligi demikrasi, hukum menjadi landasan setiap aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Pengakuan sebagai manusia pribadi di depan hukum dimanapun ia berada,
menurut Pasal 6 DUHAM, merupakan hak setiap orang. Bahkan oleh Pasal 7
DUHAM yang telah diakui sebagai norma internasional ini, ditambahkan
bahwa semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum
yang sama tanpa diskriminasi.
Sebagai negara hukum, Indonesia seperti yang telah dinyatakan dalam UUD
1945, mengakui kesamaan kedudukan dimuka hukum bagi segala warga negara
(Pasal 27). Berdasarkan amandemen kedua, kemudian dicantumkan pada Pasal
28 D Ayat (1) yang memperluas dan mempertegas hak ini. Pasal-pasal
tersebut pada intinya menytakan bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dimuka hukum. Disamping itu, ditegaskan bahwa hak
untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat di hilngkan atau dihapuskan dalam keadaan apapun.
UU HAM, sebagai organik secara tegas mencantumkan hak ini dalam Pasal
29 Ayat (2). Ketentuan ini seharusnya menjadi pedoman bagi aparat
penegak hukum dalam memperlalukan setiap orang.
d. Hak atas Rasa Aman dan Tentram serta Perlindungan Terhadap Ancaman Ketakutan untuk Berbuat atau Tidak Berbuat Sesuatu
Manusia tak mungkin hidup sendiri. Sudah menjadi kodratnya ia harus
hidup bersama-sama dengan manusia yang lain., karena ia mempunya
berbagai keperluan dasar yang hanya dapat dipenuhi apabila ia hidup
secara bermasyarakat. Akan tetapi, kehidupan bermasyarakat penuh denga
friksi dan benturan kepentingan antara satu individu dengan individu
yang lain, yang kemudian dapat berkembang menjadi suatu konflik. Hal ini
disebabkan oleh sifat dasar manusia yang cenderung mementingkan dirinya
sendiri dan ingin berkuasa. Oleh seban itulah, sering muncul tindak
kesewenang-wenangan dari pihak yang merasa kuat dan berkuasa terhadap
pihak yang lain yang lemah dan takberdaya. Untuk mencapai keinginannya,
pihak yang kuat menggunakan berbagai macam cara, misalnya mengancam,
sehingga pihak yang lemah menjadi ketakutan untuk berbuat ataupun tidak
berbuat sesuatu. Dalam kondisi ini tentunya tidak ada rasa aman dan
tentram pada diri pihak yang lemah . mereka melakukan sesuatu dalam
keadaan ketakutan, bahkan ada kalanya mereka berbuat sesuatu tidak
sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 30 UU HAM menyatakan secara tegas bahwa hak ini dimiliki oleh
setiap orang. Pasal 28 G Ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan hal yang
serupa. Sebagai jamina pelaksanaan hak ini, KUHP telah memuat sejumlah
pasal yang melarang dan mengancam dengan sanksi hukuman penjara bila
seseorang mengancam orang lain untuk melakukan ataupun tidak melakukan
sesuatu. Misalnya, seseorang yang memaksa orang lain untuk tidak
memberikan kesaksian yang sebenar-benarnya. Dalam contoh ini sudah jelas
bahwa korban adalah orang yang dipaksa tersebut. Namun ada kalanya
pihak ketiga yang dituju oleh pemaksa dan untuk itu ia memaksa orang
lain untuk melakukan perbuatan yang masuk dalam kategori kejahatan.
Orang yang terpaksa melakukan kejahatan ini juga mendapat perlindungan
hukum melalui ketentuan Pasal 48 KUHP. Pasal ini secara tegas mengatakan
bahwa orang yang melakukan kejahatan karena adanya daya paksa tidak
dapat dipidana, tapi justru orang memaksanya itulah yang akan dipidana.
e. Hak untuk Tidak Diganggu Tempat Kediamannya
Disamping sandang dan pangan, rumah atau tempat kedaman merupakan salah
satu kebutuhan dasar manusia sebagai tempat berteduh. Pada umumnya,
rumah menjadi tempat sebagian orang menghabiskan sisa waktunya setelah
seharian berada diluar rumah untuk bekerja mencari nafkah, sekolah
ataupun melakukan aktifitas lainnya. Jadi rumah atau tempat kediaman
merupakan tempat yang harus dapat memberikan rasa aman dan tentram bagi
mereka yang menempatinya. Hal ini secara tegas di sebutkan dalam DUHAM
dan ICCPR. Pada Pasal 12 DUHAM dan Pasal 17 Ayat (1) dan (2) ICCPR
menyatakan bahwa tidak seorangpun yang boleh diganggu dengan
sewenang-wenang dalam urusasn rumha dan setiap orang berhak mendapatkan
perlindungan hukum bila terjadi gangguan atau serangan terhadap tempat
tinggalnya.
Dalam UUD 1945 memang tidak ada pasal yang secara tegas menyebutkan hak
untuk tidak diganggu dalam rumahnya. Akan tetapi, sebagai hasil
amandemen kedua Pasal 28 G Ayat (1) memberikan hak kepada setiap orang
atau perlindungan harta benda yang berada dibawah kekuasaannya. Jadi,
UUD 1945 justru lebih luas dalam memberikan perlidungan, tidak hanya
rumah saja yang dapat diberikan perlindungan. Setiap harta benda yang
berda di bawah kekuasaannya juga mendapatkan perlindungan yang serupa.
Penambahan Pasal 28 G, yang masuk dalam bab tentang HAM memang dilakukan
untuk penyelarasan, karena sebelumnya UU HAM telah mencantumkan
berbagai hak asasi manusia, yang salah satunya adalah hak untuk tidak
diganggung tempat kediamannya (Pasal 31). Penjelasan Pasal 31UU HAM
menyatakn bahwa kata “ tidak boleh diganggu” berkaitan dengan kehidupan
pribadi (privacy) di dalam tempat kediamannya. Jadi, penjelasan pasal
ini menyiratkan bahwa ruang lingkup hak ini sangat sempit. Sebaliknya,
ketika kita membaca rumusan Pasal 31 akan diperoleh kesimpulan yang
berbeda, yaitu fokus perhatian tidak semata-mata tertuju pada kehidupan
pribadi, tetapi pada tempat kediaman dan rasa aman yang harus dimiliki
oleh setip orang.
Sebagai salah satu contoh sebagai salah satu ketentuan hukum yang
memberikan perlindungan pada hak ini adalah Pasal 167 KUHP yang
menjelsakan secara tegas mengancam dengan hukumna penjara
selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-, bila
orang tanpa hak masuk dengan paksa kedalam rumah, ruang tertutup dan
tudak segera pergi ketika diminta pergi oleh yang berhak atau atas nama
orang yang berhak. Bahkan, hukuman untuk kejahatan yang biasa disebut
dengan pelanggaran hak kebebasan rumah tangga (huisvredebruik) ini dapat
diperberat menjadi pidana penjara satu tahun empet bulan bila pelaku
mengeluarkan ancaman atau memakai daya upaya yang menakutkan.
Ketentuan Pasal 167 KUHP ini sejalan dengan makna ketentuan Pasal 31
Ayat (2) UU HAM, yang hanya memperbolehkan seseorang memasuki kediaman
atau rumah tanpa seizin orang yang mendiaminya bila telah ditentukan
oleh undang-undang.
f. Hak untuk Berhubungan Surat Menyurat termasuk Hubungan Berkomunikasi Melalui Sarana Elektronik secara Merdekan dan Rahasia
Pada masa sekarang ini, berbagai keperluan dapat dilakukan dari jarak
jauh dengan menggunakan/memanfaatkan sarana-sarana komunikasi baik surat
menyurat maupun sarana elektronik demi menghemat waktu, tenaga, dan
juga biaya. Berbagai mcam urusan yang bersifat pribadi, kekeluargaan,
bisnis, sampai urusan antar kepala negara, tidak jarang dilakukan tanpa
harus bertemu langsung. Oleh karena itu, merupakan salah satu hal yang
mutlak diperlukan hak asasi untuk berkomunikasi ini juga lengkap dengan
memberikan rasa aman untuk melakukan komunikasi tersebut secara merdeka
dan rahasia.
Pasal 12 DUHAM dan Pasal 17 Ayat (1) dan (2) ICCPR menyatakan dengan
tegas bahwa tidak seorangpun dapat diganggu secara sewenang-wenang dalam
hubungan surat menyurat. Khusus untuk Indonesia dalam UUD 1945 sampai
dengan amandemen yang keempat, tidak dijumpai ketentuan yang seperti
itu. Padaha dalam masalah komunikasi, UUD 1945 dalam Pasal 28 F telah
memberikan hak untuk berkomunikasi pada semua orang. Sementara UU HAM,
dalam Pasal 32 menjamin kemerdekaan dan kerahasiaan dalam hubungan surat
menyurat termasuk hubungan berkomunikasi melalui sarana elektronik,
kecuali ada perintah hakim ataukekuasaan lain yang sah sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan. Jadi, pada dasarnya surat milik seseoang
tidak boleh dibuka dan diambil oleh orang lain yang tidak berhak,
ataupun pembicaraan telepon seseorang dengan orang lain tidak boleh di
dengar oleh orang ketiga.
Hukum bahkan memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan dan
kerahasiaan komunikasi, lewat surat misalnya dengan ketentuan Pasal 234
KUHP. Pasal ini mengancam dengan hukuman penjara paling lama satu tahun
empat bulan kepada siapa saja yang membuat surat tidak sampai ke
alamatnya, membuka ataupun merusak surat apapun juga yang telah
diserahkan ke kantor pos atau di serahkan ke kurir. Untuk kebebasan dan
kerahasiaan pembicaraan melalui telpon, perlindungan diberikan melalui
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Komunikasi dalam Pasal 22,
Pasal 40, dan Pasal 56.
Menurut pasan 22 UU tersebut diatas, setiap orang yang tidak berhak
dilarang untuk mengakses jaringan ataupun jasa telkomunikasi. Sementara
itu Pasal 40 secara tegas melarang kegiatan penyadapan informasi yang
disalurkan melalui jaringan telkomunikasi dalam bentuk apapun. Pasal 56
memberikan perlindungan dari kegiatan penyadapan dengan mengancamkan
hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun bagi mereka yang
melakukannya.
Meskipun ada undang-undang yang secara tegas melarang perbuatan yang
merupaka gangguan terhadap kemerdekaan dan kerahasiaan berkomunikasi,
tetapi dalam hal tertentu pihak yang telah diberikan kewenangan oleh
undang-undang dapat melakukan penyitaan surat dan penyadapan telepon
seperti yang tertuang dalam Pasal 7 Ayat (1) Butir e dan Butir j KUPH.
g. Hak untuk Bebas dari Penyiksaan, Penghukuman atau Perlakuan yang
Kejam, Tidak Manusiawai, Merendahkan Derajat dan Martabat Kemanusiaan
Berbagai instrumen HAM dan hukum secara tegas melarang tindakan
penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Pada pasal 5 DUHAM dan
Pasal 7 ICCPR juga menyatakan hal yang sama, dengan tambahan secara
khusus memberikan perhatian pada larangan menjadikan seseorang sebagai
objek eksperimen medis atau ilmiah tampa persetujuan yang diberikan
secara bebas. Dalam lingkup nasional, Pasal 28 G Ayat (2) UUD 1945
sebagai hasil dari amandemen kedua yang dilakukan pada tauhun 2000,
telah pula mencantumkan hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat kemanusiaan. Namun bunyi pasal tersebut tidak
selengkap sebagai mana yang ada pada dua instrumen yang disebut terlebih
dahulu serta UU HAM.
Tindakan-tindakan yang masuk kedalam kelompok hak yang disebutkan di
atas, dapat dilakukan oleh siapapun dan ruanglingkupnya yany cukup luas.
Akan tetapi, dari devenisi yang diberikan oleh Konverensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi
atau Merendahkan Martabat Manusia (converention Against Torture and
Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) yang telah
dirativikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1988,
nampak ada penyempitan pengertian khususnya untuk penganiayaan.
Penganiayaan hanya dibatasi untuk tujuan memperoleh informasi dan
pengakuan sehingga tidak salah apabila penganiayaan disini lebih banyak
dikaitkan dengan tindakan aparat penegak hukum ketika melakukan proses
pemeriksaan perkara pidana.
h. Hak Untuk Bebas Dari Penghilangan Paksa dan Penghilangan Nyawa
Berdasarkan devinisi tentang penghilangan paksa yang terdapat dalam
Pasal 33 Ayat (2) UU HAM, kita dapat memasukkan tindakan-tindakan
penculikan ke dalam pelanggaran atas hak untuk bebas dari penghilangan
paksa. Untuk penghilangan nyawa banyak sekali contoh kejadian
sehari-hari yang dapat dikemukakan, sebab setiap penghilangan nyawa yang
dilakukan sewenang-wenang tanpa berdasarkan keputusan pengadilan akan
dapat masuk kategori pelanggara hak atas kebesasan dari penghilangan
nyawa.
Dalam instrumen hukum terutama KUHP memang telah memberikan perlindungan
kepada setiap orang untuk bebas dari penghilangan paksa, antara lain
melalui ketentuan tentang kejahatan penculikan (Pasal 328 KUHP). Pasal
ini mengancam hukuman pidana penjara selama-lamnya 12 tahun, siapa saja
yang melakukan tindak pidana penculikan.
Penghilangan nyawa atau biasa disebtu dengan pembunuhan yang dilakukan
sewenang-wenang tanpa putusan pengadilan, itu adalah perbuatan yang
melanggar norma agama, susila maupun hukum. Pembunuhan yang dilakukan
secara sewenang-wenang dengan alasan apapun tidak dibenarkan dan juga
merupakan suatu kejahatan. Dalam KUHP secara tegas dicantumkan beberapa
pasal yang masuk dalam Bab Kejahatan Terhadap Nyawa, antara lain Pasal
338 dan Pasal 340 KUHP. Pasal-pasal berikut mengancam dengan hukumn
penjara 15 tahun untuk pembunuhan tanpa perencanaan terlebih dahulu
(Pasal 338 KUHP), dan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau 20
tahun untuk pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu (Pasal 340
KUHP).
Dengan melihat tingginya hukuman yang diancamkan kita dapat menyimpulkan
betapa tinggi dan berharganya nyawa itu dilindungi. akan tetapi, dalam
hal-hal tertentu sebagai konsekuensi dari perbuatannya sendiri yang
melakukan pelanggaran hukum mungkin akan mengalami penghilangan nyawa.
Hal ini menjadi satu pengecualian dan harus berdasarkan putusan
pengadilan. Jadi, apabila seseorang melakukan tindak pidana pembunuhan
berencana dan pengadilan menjatuhkan hukuman mati, maka hukuman mati
padanya itu sah dan tidak melanggar hukum.
i. Hak untuk Tidak Ditangkap, Ditahan, Disiksa, Dikucilkan, Diasingkan atau Dibuat Secara Sewenang-Wenang.
Ada kalanya seseorang melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan
dengan aturan dalam masyarakat, tetapi hak-haknya sebagai warga negara
tidaklah hapus ataupun hilang. Sesuai keduduknannya sebagai manusia yang
dilahirkanmerdeka dan bermartabat, maka ia tiak boleh diperlakukan
semena-mena.
Dalam memproses orang yang melakukan kejahatan dalam masyarakat, aparat
penegak hukum melalui hukum acara pidana diberikan kewenangan untuk
melakukan penangkapan dan penahanan dan juga melakukan tindakan-tindakan
yang dapat melanggar hak asasi warganya. Namun, hukum acara pidana ini
sekaligus membatasi kekuasaan negara dalam bertindak terhadap warga
negara yang terlibat dalam proses peradilan. Ketentuan pasal ini sejalan
dengan bunyi Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 34 UU HAM. Ketentuan tentang
penangkapan (Pasal 17-19 KUHAP), penahanan (Pasal 20-30 KUHAP),
praperadilan (Pasal 77-83 KUHAP), serta ganti kerugian dan rehabilitasi
(Pasal 95, 96, 97 KUHAP) secara tegas memberikan perlindungan tersebut.
j. Hak Hidup dalam Tatanan Masyarakat dan Kenegaraan yang Damai, Aman
dan Tentram, yang Menghormati, Melindungi dan Melaksanakan Sepenuhnya
HAM dan Kewajiban Daar Manusian.
Manusia pada dasarnya memiliki seperangkat hak yang disebut sebagai hak
asasi manusia. Negara, yang telah diberikan mandat untuk mengatur dan
mengelola segala potensi yang ada berkewajiban untuk mengupayakan
penghormatan, perlindungan dan pelaksanaan HAM. Selain memiliki hak
asasi, manusia juga memiliki kewajiban dasar dan hal yang juga tidak
dapat di abaikan bahwa negara harus mengatur rakyatnya agar melaksanakan
kewajibannya sebagai manusia. dengan cara seperti itu, diharapkan agar
dapat terwujud keamanan, kedamainan danketentraman yang merupakan
dambaan manusia.
Hak yang terakhir dari kelompok hak atas rasa aman menurut UU HAM ini
tidak ditemukan secara eksplisit dalam instrumen-instrumen internasional
HAM maupun UUD 1945. Hak ini memeng begitu luas jangkauannya dan sangat
ideal sifatnya. Bila kita menyimpulkan, sesungguhnya hak yang dijamin
Pasal 33 UU HAM adalah tujuan akhur dari diberikannya hak asasi kepada
manusia.
Dari paparan di atas terlihat bahawa hak atas rasa aman termasuk
keamanan fisik, psikis dan juga harta benda seseorang yang harus
dilindungi dari gangguan pihak lain. Perlindungan atas hak ini diberikan
melalui hukum , terutama dalam memberikan sanksi kepada mereka yang
melanggar hak atas rasa aman seseorang.
Upaya permenuhan perlindungan dan penegakan hak atas rasa aman ini
merupakan tanggung jawab aparat penegak hukum, terutama polisi yang
berperan secara langsung dari permasalahan ini. Akan tetapi kita juga
tidak boleh mengabaikan peran serta masyarakat, baik secara informal
dalam bentuk penjagaan dilingkungan masing-masing ataupun dalam bentuk
formal seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM).
0 Response to "Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dan korban Sebagai Perwujudan Hak asasi manusia"
Posting Komentar