Pengertian dan Penjelasan Fiqih Sosial Lengkap
Penjelasan Fiqih Sosial Lengkap ~ Fiqh secara bahasa berarti “pengertian”, sedangkan menurut istilah ialah ilmu untuk mengetahui hukum syara’ yang pada perbuatan anggota, diambil dari dalilnya yang tafsili. Dalam penerapannya fiqh terbagi menjadi :
a. Fiqh Ibadah
b. Fiqh Muamalah
c. Fiqh Jinayah
d. Fiqh Siasah
e. Fiqh Zakat
f. Fiqh Wanita
g. Fiqh Dakwah
h. Fiqh Munakahat
Secara singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqih sosial didasarkan atas keyakinan bahwa fiqih harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan primer (dharuriyah), kebutuhan sekunder (hajjiyah), dan kebutuhan tersier (tahsiniyah). Fiqih sosial tidak sekedar sebagai alat untuk melihat setiap persoalan dari kaca mata hitam putih, sebagaimana cara pandang fiqih yang lazim kita temukan, tetapi fiqih sosial lebih menempatkan fiqih sebagai paradigma pemaknaan secara sosial.
Oleh karena itu, yang dapat dikatakan sebagai fiqh sosial dari pembagian diatas ialah :
a. Fiqh Muamalah
b. Fiqh Jinayah
c. Fiqh Zakat
d. Fiqh Wanita
e. Fiqh Dakwah
f. Fiqh Munakahat
Pengertian dan Penjelasan Fiqih Sosial Lengkap
Seperti hasil yang telah dirumuskan dari serangkaian halaqah NU bekerja sama dengan Rabithah Ma’ahid Islamiah (RMI) dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), fiqih sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol: Pertama, interpretasi teks-teks fiqih secara kontekstual. Kedua, perubahan pola bermadzhab, dari bermadzhab secara tekstual (qauli) ke bermadzhab secara metodologis (manhaji). Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana ajaran yang cabang (furu’). Keempat, fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara. Kelima, pengenalan metodologis filosofis, terutama terkait budaya dan sosial.
Gagasan tersebut tidaklah terlalu berlebihan. Toh pemahaman kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqih secara mutlak. Justru dengan pemahaman seperti itu, segala aspek perilaku kehidupan akan dapat terjiwai oleh fiqih secara konseptual dan tidak menyimpang dari rel fiqih itu sendiri. Minimal, kitab kuning akan digemari tidak saja oleh para santri, tapi juga oleh siapa saja yang berminat mengkaji referensi pemikiran Islam.
Tidak bisa disangkal, gagasan ini muncul seiring meningkatnya anarki pemaknaan sosial-politik di Indonesia. Pemikiran fiqih, mau tidak mau, lalu mengalami pergeseran: dari fiqih sebagai paradigma kebenaran ortodoksi menjadi paradigma pemaknaan sosial. Jika yang pertama menundukkan realitas kepada kebenaran fiqih, maka yang kedua menggunakan fiqih sebagai counter discourse dalam belantara pemaknaan yang tengah berlangsung. Jika yang pertama memperlihatkan watak hitam putih dalam memandang realitas, maka yang kedua memperlihatkan wataknya yang bernuansa, dan kadang-kadang rumit dalam menyikapi realitas.
Fiqh Sosial : Upaya Pengembangan Madzhab Qauli Dan Manhaji
Fiqh, dalam pengertian ilmu tentang hukum-hukum Syariat yang bersifat praktis (amaliyah), telah menjadi warna dasar budaya muslim. Sejak awal pertumbuhannya, Fiqh telah berkembang sedemikian cepat sehingga melampaui cabang-cabang ilmu lainnya. Jika dalam tradisi Kristen Theologi terlihat begitu dominan, maka dalam Islam Fiqhlah yang sangat dominan mewarnai pola kehidupan. Inilah yang kemudian memunculkan citra bahwa kehidupan masyarakat Islam itu sangat legalistik. Karenanya tidak salah jika kita ingin melihat perilaku budaya masyarakat Islam, Fiqh adalah “jendela” yang tepat untuk digunakan.
Fiqh memang tumbuh dan berkembang begitu cepat serta memberikan pengaruh yang sangat dominan dalam kehidupan umat Islam. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah, pada fase Madinah, Islam lahir bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai negara. Karena lahir sebagai negara, sudah barang tentu ia memerlukan perangkat-perangkat sosial seperti politik dan hukum. Karena itulah kita dapatkan hampir keseluruhan ayat ahkam turun paska Hijrah atau pada periode Madinah.
Meskipun dalam banyak perkara ayat-ayat Al-Qur’an tidak menjelaskannya secara detail, saat Nabi masih hidup, mayarakat Islam tidak banyak mendapatkan kesulitan dalam menentukan status hukum yang terkait dengan masalah-masalah praktis kehidupan. Sebagai penerima wahyu, sangat logis jika Nabi diyakini sebagi orang yang perilaku serta ucapannya (sunnahnya) bersifat otoritatif. Karena logika inilah, wajar jika sunnah Nabi dianggap sebagai penjelas (tabyin) terahadap Al-Qur’an. Secara sederhana dapat diungkapkan Al-Qur’an turun, Nabi berbuat sesuai dengan kehendak Al-Qur’an kemudian masyarakat menirukannya. Namun, setelah Nabi wafat, “tafsir hidup” itu tidak ada lagi, sementara permasalahan sosial terus berkembang. Dengan demikian, keperluan yang paling mendesak adalah bagaimana permasalahan baru yang muncul dari daerah taklukan baru mendapatkan legalitas keagamaan. Karena Islam lahir sebagai agama dan negara, penyebaran Islam pada masa-masa Nabi pun masih diwarnai dengan watak politik. Akibatnya, sangat wajar jika lebih banyak permasalahan sosial keagamaan yang bersifat praktis muncul ke permukaan daripada permasalahan sosial keagamaan yang bersifat teologis. Atas dasar alasan inilah mengapa keperluan terhadap hukum terlihat begitu dominan.
Gambaran di atas merupakan penyederhanaan argumen mengapa Fiqh berkembang begitu cepat. Namun sayang, pada akhirnya Fiqh berkembang menjadi salah satu cabang ilmu ke-Islam-an yang formalistik. Dalam proses pengembangan kerangka teoritiknya, Fiqh menjadi terpisah dari etika. Inilah yang kemudian dikritik oleh Imam al-Ghazali bahwa Fiqh telah berkembang menjadi “Ilmu Dunia”.
Karena pandangan Fiqh yang sangat formalistik itulah dalam konteks sosial yang ada, ajaran syari’at yang tertuang dalam Fiqh terkadang terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan praktis sehari-hari. Zakat misalnya, sebenarnya merupakan ajaran Islam yang semangatnya adalah menciptakan keadilan sosial ekonomi. Namun dalam Fiqh, zakat sering dipahami sebagai ibadah formal yang hanya menjelaskan kewajiban orang yang wajib berzakat untuk mengeluarkan zakat dalam nishab tertentu.
Watak Fiqh yang formalistik memang sering mengundang orang untuk melakukan manipulasi (hilah) terhadapnya. Al-Ghazali menceritakan bahwa suatu ketika Abu Yusuf memberikan seluruh harta kekayaanya kepada isterinya sendiri pada akhir khaul untuk maksud menggugurkan kewajiban zakat. Ketika Abu Hanifah menerima cerita itu beliau berkomentar, “Itu adalah pemahaman Fiqhnya, penglihatan Fiqh dunia akan membenarkan tindakan itu”. Namun dia berkomentar lebih jauh, “Perbuatan itu akan mendatangkan petaka yang lebih berat dari tindakan kriminal apapun di akhirat kelak”.
Pengembalian Fiqh agar tetap berjalan sesuai dengan prinsip etika dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan maqasid al-Syari’ah ke dalam proses pengembangan kerangka teoritik Fiqh. Dalah konteks ini, berarti hikmah hukum harus diintegrasikan ke dalam ‘illat hukum sehingga diperoleh suatu produk hukum yang bermuara pada kemaslahatan umum.
Dengan gambaran di atas, jelas upaya apa pun yang dilakukan untuk tujuan pengembangan Fiqh menurut kita (para pengembang) memiliki wawasan tentang dimensi etika dan formal legalistik Fiqh. Penempatan kedua dimensi ini harus dilakukan secara proporsional agar pengembangan Fiqh benar-benar sejalan dengan fungsinya, yakni sebagai pembimbing sekaligus pemberi solusi atas permasalahan kehidupan praktis, baik bersifat individual maupun sosial. Dengan perkataan lain, Fiqh harus dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara. Inilah yang selama ini telah mendorong saya untuk mengembangkan Fiqh yang bernuansa sosial, tidak hanya bicara halal-haram yang kental dengan nuansa individual atau pun menghadirkan Fiqh sebagai hukum positif negara.
Fiqh sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam. Pemecahan problem sosial berarti merupakan upaya untuk memenuhi tanggungjawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum (al-maslahah al-‘ammah). Kemaslahatan umum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriyahnya. Keperluan itu boleh berdimensi dlauriyah atau keperluan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa, raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun keperluan hajiyah (sekunder) dan keperluan yang berdimensi takmiliyah atau pelengkap (supplementary).
Untuk tujuan pengembangan Fiqh, para mujtahid masa lalu sebenarnya sudah cukup menyediakan landasan kukuh sebagaimana tergambar dalam kaidah-kaidah ushuliyah maupun fiqhiyah. Hingga kini, nampaknya belum ada suatu metodologi (manhaj) memahami Syari’at yang sudah teruji (mujarrab) keberhasilannya dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial selain apa yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu. Bahkan Fiqh dalam pengertian kompendium yurisprudensi pun banyak yang masih relevan untuk dijadikan rujukan dalam mengatasi berbagai permasalahan aktual. Terdorong oleh keyakinan inilah, dalam upaya mengembangkan Fiqh, penulis akan berangkat dari hasil rumusan para ulama terdahulu baik dalam konteks metodologis (manhaji) maupun kumpulan hukum yang dihasilkan (qauli).
Secara qauli pengembangan Fiqh bisa diwujudkan dengan melakukan kontekstualisasi kitab kuning atau dengan cara pengembangan contoh-contoh aplikasi kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh maupun Qawa’id al-Fiqhiyah. Sedangkan secara manhaji, bisa dilakukan dengan cara pengembangan teori masalik al-‘illat agar Fiqh yang dihasilkan sesuai dengan maslahat al-‘amanah.
Paradigma Fiqh Sosial
Syari’ at Islam merupakan pengejawantahan dari Aqidah Islamiyah. Aqidah mengajarkan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara rinci cara berikhtiar mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syari’ at Islam yang dijabarkan secara rinci oleh para ulama dalam ajaran fiqh ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara. Syari’ at Islam merupakan pengejawantahan dari Aqidah Islamiyah. Aqidah mengajarkan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara rinci cara berikhtiar mengelolanya.
Pada prinsipnya tujuan syari’ at Islam yang dijabarkan secara rinci oleh para ulama dalam ajaran fiqh ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara. Syari’at Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang dalam fiqh menjadi komponen ibadah, baik sosial maupun individual, muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) maupun muthloqah (teknik operasionalnya tidak terikat oleh syarat dan rukun tertentu). la juga mengatur hubungan antara sesama manusia dalam bentuk mu’asyarah (pergaulan) maupun mu’amalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Disamping itu ia juga mengatur hubungan dan tata cara keluarga, yang dirumuskan dalam komponen munakahat. Untuk menata pergaulan yang menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya aturan yang dijabarkan dalam komponen jinayah, jihad dan qadla.
Beberapa komponen fiqh di atas merupakan teknis operasional dari lima tujuan syari’ at (maqasid al-syari’ ah), yaitu memelihara -dalam arti luas-agama, akal, jiwa, nasab (keturunan) dan harta benda. Komponen komponen itu secara bulat dan terpadu menata bidang-bidang pokok dari kehidupan manusia dalam rangka berikhtiar melaksanakan taklif untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi (sa’ adatud darain) sebagai tujuan hidupnya. Unsur-unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, bersifat saling mempengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan syari’ at Islam yang dijabarkan dalam fiqh dengan bertitik tolak dari lima prinsip dalam maqasid al-syari’ ah, maka akan jelas, syari’ at Islam mempunyai sasaran yang mendasar yakni kesejahteraan lahir batin bagi setiap manusia, Berarti bahwa manusia merupakan sasaran sekaligus menempati posisi kunci dalam keberhasilan mencapai kesejahteraan yang dimaksud. Apa yang dijelaskan di atas merupakan kerangka paradigmatik di atas mana fiqh sosial seharusnya dikembangkan. Dengan kata lain, fiqh sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’ at Islam.
Pemecahan problem sosial berarti merupakan upaya untuk memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum (al-masluzlih ai-’ ammah). Dalam hal ini, kemaslahatan umum -kurang lebih adalah kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriahnya. Baik kebutuhan itu berdimensi dlaruriyah atau kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa, raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun kebutuhan hajiah (sekunder) dan kebutuhan yang berdimensi takmiliyah atau pelengkap (suplementer).
Klasifikasi kebutuhan dasar manusia di atas memang berbeda dengan apa yang dirumuskan dalam ilmu ekonomi “sekular” yang memandang kebutuhan primer manusia semata-mata dilihat dari sudut kebutuhan biologis, sehinga kebutuhan terhadap agama tidak termasuk kebutuhan primer. Masuknya unsur agama menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia mencerminkan bahwa dari mulai perumusan paradigmatik, fiqh harus menerima paket ilahiyah. Agama sebagai suatu kebutuhan harus diterima secara apa adanya. Dalam konteks ini fiqh memang bersifat paternaIistik, seolah-olah memandang manusia belum dewasa sepenuhnya sehingga harus dipaksakan untuk menerima agama sebagai kebutuhan, terlepas dari apakah manusia itu benar-benar merasa butuh atau tidak.
Secara singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqh sosial di dasarkan atas keyakinan bahwa fiqh harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia yaitu kebutuhan dlaruriyah (primer), kebutuhan hajjiyah (sekunder) dan kebutuhan tahsiniyah (tersier). Fiqh sosial bukan sekedar sebagai alat untuk melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam putih sebagaimana cara pandang fiqh yang lazim kita temukan, tetapi fiqh sosial juga menjadikan fiqn sebagai paradigma pemaknaan sosial.
Dengan dasar keyakinan ini, kreatifitas dalam pengembangan fiqh sosial diharapkan tidak tercerabut dari akar tradisi orthodoxy. Persoalannya sekarang bagaimanakah khazanah klasik itu disikapi. Untuk tujuan ini maka prinsip “almuhafadhatu ‘alal qodim al salih wool akhdzu bil jadid alaslah” akan selalau menjadi panduan. Kontekstualisasi Fiqh dalam Kitab Kuning Ketertarikan untuk mengkaji kitab kuning tentu saja bukan karena warnanya yang kuning, akan tetapi karena kitab itu memiliki ciri-ciri yang melekat yang untuk memahaminya memerlukan keterampilan tertentu dan tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa Arab saja. Sehingga banyak ditemukan orang yang pandai berbahasa Arab namun masih kesulitan menjelaskan kandungan kitab kuning secara persis. Sebaliknya tidak sedikit ulama yang menguasai kitab kuning tetapi tidak bisa berbahasa Arab.
Seiring dengan perkembangan zaman, bukan mustahil kalau nanti akan terdapat banyak kasus hukum yang tidak bisa diselesaikan jika pemahaman terhadap kitab kuning masih tetap dalam pola-pola tekstual. Jika pola ini tidak segera diimbangi dengan rota-rota pemahaman kontekstual, maka bukan mustahil jika kitab kuning akan menjadi harta pusaka yang hanya bisa dimiliki tetapi tidak banyak memberikan manfaat bagi solusi permasalahan aktual. Akibat yang lebih tragis lagi adalah pemahaman tekstual ini bisa menyeret kaum muslimin memperlakukan fiqh sebagai dogma yang tidak bisa diganggu gugat. Tidak jarang, fiqh – dalam hal ini kitab kuning – dianggap sebagai kitab suci kedua setelah al-Qur’ an. Karena itu, penulis menyambut baik gagasan teman-teman yang tergabung dalam Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rabi thah Ma’ ahid I slamiyah (RMI) untuk memberi input kepada masyarakat Muslim, khususnya masyarakat pesantren, agar memahamai kitab kuning secara kontekstual dan mengurangi interpretasi tekstual yang selama ini cenderung berlebihan.
Kajian Fiqh Sosial
Kiranya kita perlu menanyakan kembali apakah praktek syari’at yang diturunkan kepada manusia itu hanyalah sebagai ungkapan terima kasih mahluk kapada sang pencipta atau sebagai sebuah anugerah yang esensinya adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri yang bukan hanya sekedar aturan-aturan legal formal yang mengatur interaksi vertikal dan horisontal yang harus di jauhkan jauh dari inovasi-inovasi pemikiran yang bebas.
Untuk menjawab pertanyaan ini kiranya kita perlu membahas kembali kajian-kajian fiqh yang seluruh gagasanya diduga keras adalah kehendak daripada Syari’(allah). Dalam kajian ilmu fiqh berangkat dari teks pokok (nash) ada dua hal yang menentukan produk-produk yang di hasilkanya atau hasil dari ijtihad, yaitu kajian ushul dan furu’. Dalam pembahasan tujuan syari’at semua ulama’ menyepakati tentang adanya gagasan pokok yang mendasarinya, yaitu “demi kemaslahatan manusia”, artinya syari’at diturunkan adalah bertujuan untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Ushul fiqh sebagai sebuah metodologi khusus yang digunakan untuk menjelajahi kehendak ilahi di tuntut untuk mampu mengakomodir segala permasalahan sosial yang berkembang dalam masyarakat. Sedangkan fiqh adalah implementasi dari pada ushul yang bersifat mampu menjawab segala permasalahan yang terjadi dalam tataran masyarakat.
As Shatiby membagi ijtihad dalam dua bentuk, pertama; ijtihad istinbathi yakni upaya Mujtahid dalam menempuh ide hukum dari nash sesuai dengan tujuan syara’. Ide hukum ini selanjutnya menjadi tolak ukur dalam mengkaji sebuah masalah di mana hukum hendak diterapkan, akan tetapi semua teori hukum yang di pakai oleh para Mujtahid tidak secara keseluruhan mampu di praktekkan dalam rumusan hukum fiqh karena ushul fiqh sendiri adalah hasil dari olah fikir para Mujtahid yang digali langsung dari nash melalui berbagai disiplin ilmu pengetahuan, sehinga menjadi sebuah keniscayaan apabila teori-teori dalam ushul fiqh banyak mengalami perbedaan di antara para Mujtahid di karenakan perbedaan tingkatan pengetahuan mereka terhadap disiplin ilmu pengetahuan, selanjutnya walaupun ushul fiqh adalah hasil daripada rumusan Mujtahid akan tetapi dari hasilnya terbukti menjadi sebuah teori yang kebanyakan mampu menjadi pedoman bagi para pengikut madzhab untuk menangapi segala problematika masyarakat. Dalam menyikapi semua perbedaan di atas tentunya kita bisa mengambil banyak pelajaran dan keuntungan serta dituntut untuk selektif di dalam memilih dan mengunakan teori-teori di atas dengan menyesuaikanya dengan keadaan sosial di masyarakat atau bahkan dengan rumusan teori baru yang lebih mendasar dan kongkrit.
Kedua Ijtihad Tadbiqi, (tahtbiq al manhaj) yakni upaya sebuah Mujtahid untuk menerapkan hukum yang diperoleh melalui Ijtihad Istinbathi terhadap suatu masalah atau kasus yang berkembang di masyarakat. Namun, karena kondisi kehidupan manusia selalu berubah bisa jadi hasil dari ijtihad akan berubah-rubah, untuk itu seorang Mujtahid haruslah peka terhadap kondisi sosial di masyarakat. Ibnu Taimiyah menyebutnya sebagai tindakan membuat hukum dengan mengaitkannya terhadap makna kully dalam penetapannya terhadap suatu kasus tertentu.
Fiqih Sosial Kiai Sahal
Kiai Haji Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (1937-2014) adalah satu di antara sosok ulama (alim) terkemuka Indonesia zaman ini yang memberikan apresiasi tinggi dan respon positif terhadap gagasan fiqh kontekstual.
Bahkan boleh jadi beliau adalah pelopor, di samping Gus Dur, untuk hal ini. Kiai Sahal seperti sangat gelisah jika fiqh harus mengalami kondisi stagnan atau tidak mampu mengatasi suatu masalah social, kebangsaan dan kemanusiaan. Sebab ini akan berarti bahwa agama menjadi tidak berfungsi solutif atas problematika hidup dan kehidupan manusia. Dengan kapasitas ilmunya yang sangat luas dan mendalam beliau mengajak orang lain untuk bergerak ke arah penyelesaian dan pemecahan masalah yang sedang dihadapi masyarakatnya, dan bukan hanya semata-mata menjawab masalah sebagaimana yang tertuang dalam khazanah-khazanah yang dipercaya (mu’tabarah), tanpa mempertimbangkan relevansi dan efektifitasnya untuk ruang dan waktu kni dan di sini. Sejumlah tulisannya tentang fiqh seperti dalam bukunya yang terkenal “Nuansa Fiqh Sosial”, memperlihatkan dengan jelas bagaimana beliau mampu mengetengahkan kajian fiqh dengan pendekatan kontekstual. Saya kira agak sulit bagi kita menemukan sosok ulama pesantren atau Kiai yang mempunyai pikiran demikian maju dan boleh jadi bisa disebut progresif.
Lebih dari sekedar mampu menjawab dengan “ibarat” (teks) fiqh dalam Kitab Kuning, Kiai Sahal adalah seorang pemikir fiqh (ushuli), yakni ahli dalam metodologi fiqh. Ini berkat keahliannya tentang kaedah-kaedah fiqh dan ushul fiqh (teori-teori fiqh/hukum syari’ah). Bahkan sudah sejak lama Kiai Sahal telah menulis kaedah-kaedah fiqh dalam bahasa Arab yang sangat bagus, layaknya orang Arab. Beberapa di antaranya : “Al-Qawa’id al Fiqhiyyah al-Hajiniyyah” dan “Thariqah al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul”. Kumpulan pemikirannya yang dituangkan dalam sejumlah buku yang ditulisnya, terutama “Nuansa Fiqh Sosial” jelas memberikan kesan yang mendalam betapa kentalnya kaedah fiqh di belakang pemikiran beliau. Sering, setiap jawaban yang disampaikan berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan masyarakat, diselipkan dasar-dasar fiqhnya. Ia menguasai dengan fasih kitab-kitab kuning klasik.
Gagasan-Gagasan Fiqh Kiai Sahal
Hal yang paling menarik dari pemikiran Kiai Sahal adalah pandangannya tentang fiqh sebagai kumpulan pikiran ulama yang sejatinya dibuat untuk menciptakan moralitas kemanusiaan. Kiai Sahal menyebutnya “Fiqh sebagai Etika Sosial, bukan sebagai hukum negara”. Inilah pikiran brilian Kiai Sahal yang membuatnya pantas memperoleh penghargaan akademis bergengsi : Doktor, dari UIN Jakarta, meski beliau tak memintanya. Usai orasi doktoralnya, Gus Dur segera memberikan apresiasi kepada pamannya itu. Gus Dur menghendaki paradigm ini diikuti para ulama lain. Sangatlah disayangkan jika kemudian tidak banyak orang yang bisa memahami gagasan dan pemikiran-pemikiran yang ditawarkan Rois ‘Am Syuriyah PBNU ini.
Gagasan Kiai Sahal tentang Fiqh sebagai Etika Sosial merupakan puncak dari serangkaian permenungannya yang mendalam atas terma “Fiqh Sosial”. Melalui tesis ini Kiai Sahal ingin mengembalikan makna awal dari kata itu. Imam Abu Hanifah (w. 150 H), pendiri mazhab fiqh awal, mendefinisikan fiqh sebagai “Ma’rifah al-Nafs Ma Laha wa Ma ‘Alaiha”. Pengetahuan diri tentang apa yang baik dan apa yang buruk, atau tentang apa yang memberi manfaat bagi manusia dan apa yang merugikannya. Sementara Imam Badruddin al-Zarkasyi (w. 794 H) mendefinisikannya sebagai : “pengetahuan tentang berbagai petunjuk Tuhan yang mengantarkan manusia mengenal Tuhan, Ke-Esaan dan Sifat-sifat-Nya, para Nabi, tentang hak dan kewajiban manusia, tentang etika dan apa saja yang diperlukan oleh manusia sebagai hamba-Nya, dan lain-lain”. Kedua definisi fiqh ini memperlihatkan betapa luasnya kandungan fiqh. Akan tetap dalam perjalanan sejarahnya ia kemudian mengalami reduksi sebagai “al-Ilm bi al-Ahkam al-Syar’iyyah al-‘amaliyyah al-Muktasab min adillatiha al-tafshiliyyah” (pengetahuan tentang hukum-hukum agama yang praktis yang diproses secara intelektual dari petunjuk-petunjuk umum teks agama yang terkait). Sesudah abad ke IV H, yang kemudian dikenal sebagai “ashr al-Inhithath” (periode terpuruk), pengertian fiqh semakin menyempit menjadi hanya sebagai “produk pikiran manusia ahli hukum (mujtahid), terutama mazhab empat, tentang hukum halal dan haram. Inilah yang kemudian dipahami secara mainstream dalam masyarakat muslim. Kiai Sahal mengkritik tajam pemahaman umum ini. Pengertian fiqh seperti ini telah mengantarkan fiqh sebagai kumpulan hukum yang kaku dan stagnan. Serba hitam-putih. Proses pembakuan dan pengajiannya yang massif dan berabad, serta larangan berijtihad, pada gilirannya, telah membawa produk hukum para mujtahid tersebut seakan-akan sebagai hukum Tuhan itu sendiri dengan seluruh sakralitasnya. Kritik-kritik atasnya menjadi tabu dan kadang dianggap sebagai menentang hukum Tuhan. Terhadap cara pandang seperti ini, Kiai Sahal mengatakan : “Suatu pandangan yang bukan saja tidak proporsional bagi fiqh itu sendiri, bahkan menurunkan derajat Allah dan sunnah Rasul sebagai sumber hukum yang sepenuhnya universal” (Fiqh Sosial, hlm. Xxix).
Berangkat dari kritik terhadap cara pandangan mainstream atas fiqh di atas, Kiai Sahal beberapa kali mengingatkan sebuah kata penting dari definisi di atas. Yakni :“al-Muktasab”. Kata ini berarti diusahakan atau diproses secara intelektual cerdas dan kritis. Dan ini, dalam pandangan Ketua Umum MUI sejak tahun 2000 ini meniscayakan pengamatan atas realitas social yang senantiasa berkembang dan berubah. Pembacaan terhadap realitas social akan mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwa pengembangan fiqh merupakan sesuatu yang niscaya. Fiqh dengan begitu tidak boleh menjadi produk pemikiran yang kehilangan watak elastisitasnya dan kontekstualitasnya. Ia harus menjadi cara masyarakat menemukan solusi atas problematika hidup dan kehidupan yang terus berubah. Dan Kiai Sahal mengajak kita untuk memahami bahwa mazhab-mazhab fiqh Islam sesungguhnya tidak lain hanyalah refleksi atas perkembangan kehidupan social masyarakat di dunia Islam (anna al-madzahib al-Islamiyyah Laisat Siwa In’ikas li Tathawwur al-Hayah al-Ijtima’iyyah fi al-‘alam al-Islamy”).
Kiai Sahal mengatakan : “Teks Al-Qur’an maupun hadits sudah berhenti, sementara masyarakat terus berubah dan berkembang dengan berbagai masalahnya”. (hlm. Xxv). Dengat kalimat ini Kiai Sahal seakan ingin mengatakan : “Lakukan Ijtihad”, “Lakukan Tajdid”, atau paling tidak “Lakukan pendekatan Fiqh Manhaji” (istinbath fiqh dengan pendekatan metodologis).
Pernyataan Kiai Sahal tersebut mengingatkan kita pada pernyataan teolog besar, dan penulis buku terkenal ; “al-Milal wa al-Nihal” (Agama-agama dan Sekte-sekte, Al-Syihristani (w. 548 h) :
النُّصُوصُ إِذَا كَانَتْ مُتَنَاهِيَةً وَالْوَقَائِعُ غَيْرَ مُتَنَاهِيَةٍ وَمَا لَا يَتَنَاهَا لَا يَضْبَطُهُ مَا يَتَنَاهَى عُلِمَ قَطْعاً اَنَّ اْلِاجْتِهَادَ وَالْقِيَاسَ وَاجِبُ الْاِعْتِبَار حَتَّى يَكُونَ بِصَدَدِ كُلِّ حَادِثَةٍ إِجْتِهَادٌ
“Kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan masyarakat adalah hal-hal yang tidak dapat dihitung. Adalah pasti bahwa tidak setiap kejadian selalu ada teks (nash). Jika teks-teks adalah terbatas sementara peristiwa kehidupan tidak terbatas, dan yang terbatas tidak mungkin menampung yang tak terbatas, maka upaya-upaya kreatif intelektual (ijtihad) dan analogi adalah niscaya adanya, sehingga setiap peristiwa ada keputusan hukum yang jelas”.
Ini semua mengarahkan kita untuk melakukan ijtihad dan pembaruan (tajdid) yang terus menerus. Kiai Sahal mengutip judul kitab Imam al-Suyuthi : “Al-Radd ‘ala Man Akhlada Ila al-Ardh wa Jahila bi Anna al-Ijtihad fi Kulli ‘Ashr Fardh” (Kritik terhadap orang-orang yang menghendaki kemapanan dan tak mengerti bahwa Ijtihad adalah keniscayaan pada setiap periode sejarah manusia).
Fiqh sebagai Etika Sosial, bukan sebagai hukum negara
Desakan Kiai Sahal tentang keniscayaan proses “pembaruan” atau “pengembangan” (dalam bahasa yang dinilainya lebih tepat) fiqh sehingga melahirkan produk yang relevan dengan zaman yang berubah (rasionable dan applicable), mengantarkannya pada gagasan untuk mengambil basis-basis fundamental kebijakan public/politik. Ia adalah “Kemaslahatan social/publik”. Kemaslahatan social/publik yang dimaksudkan dalam hal ini tidak terbatas pada kerangka hukum “dar al-mafasid wa jalb al-mashalih” (menghindarkan kerusakan dan membawa kebaikan) belaka, melainkan pada perwujudan kehidupan social yang menghargai hak-hak dasar manusia. Kiai Sahal berkali-kali mengemukakan, baik dalam buku Nuansa Fiqh Sosial ini maupun tulisannya yang lain, tentang perlunya fiqh dan kebijakan public-politik mendasarkan diri atas“Maqashid al-Syari’ah” yang dielaborasi secara ringkas dalam “lima hak-hak dasar manusia” (al-Ushul al-Khamsah). Yakni “hifzh al-din” (perlindungan atas keyakinan), “hifzh al-nafs” (perlindungan atas hak hidup), “hifzh al-‘aql” (perlindungan atas akal, hak berpikir dan berekspresi), “hifzh al-nasl” (perlindungan atas hak reproduksi) dan “hifz al-maal” (perlindungan atas hak milik). Inilah prinsip-prinsip dasar kemanusiaan universal yang sudah lama dicanangkan oleh Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dalam al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, dan dikembangkan lebih luas oleh Abu Ishaq Al-Syathibi (w. 790 H), mujtahid dari Granada, dalam “al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah”. Dr. Abd Allah Darraz, cendekiawan dan filsuf Muslim kontemporer dari Mesir, menyatakan bahwa lima prinsip kemanusiaan tersebut merupakan dasar bagi kesejahteraan bangsa yang diyakini semua agama. Tanpanya kesejahteraan dunia tidak akan terwjud dan keselamatan di akhirat tidak akan diperoleh.
Dalam kerangka gagasan di atas pula, Kiai Sahal merasa perlu untuk menggugat terma “illat” (causa/alasan logis) dalam teori “Qiyas” (analogi). ‘Illat adalah titik siklus hukum. (Al-Hukm Yadur ma’a ‘Illatihi Wujudan wa ‘Adaman). “Illat” dalam teori Imam al-Syafi’i dirumuskan sebagai : “Washf Zhahir Mundhabith” (indikator yang jelas dan terukur). Definisi ini berpotensi bahkan acap menghasilkan kesimpulan legal formal dan procedural belaka, tetapi tidak adil. Kiai Sahal mencontohkan “Qashr Shalat” (shalat yang diringkas). Ia dibolehkan. Illatnya adalah “safar” (bepergian) jauh (sekitar 85 km). Jika ini (safar) yang dijadikan ratio legisnya, maka akan bisa melahirkan ketidakadilan. Orang kaya yang bepergian naik pesawat udara dari Jakarta ke Surabaya boleh meringkas jumlah raka’at shalat Zhuhur menjadi dua raka’at saja, dan dia juga boleh berbuka puasa. Sementara, orang miskin yang bepergian naik sepeda ontel dari Menteng ke Ciputat, berjarak tempuh sekitar 30 km yang melelahkan, tidak boleh qashar dan tidak boleh berbuka puasa.”Masyaqqah” (kepayahan, lelah) tidak bisa dijadikan alasan hukum, karena sangat relative dan tidak bisa diukur. Masyaqqah, menurut teori ini hanyalah hikmah/manfaat yang diperoleh saja. Kiai Sahal mungkin gelisah dengan cara pandang legal formal dan procedural seperti ini, meski sungguh-sungguh memahaminya. Beliau berharap agar factor kemaslahatan menjadi pertimbangan pemikiran para pengkaji fiqh. Kiai Sahal mengatakan : “Dari uraian di atas, kita melihat suatu kebutuhan akan pergeseran paradigm fiqh; yaitu pergeseran dari fiqh yang formalistic menjadi fiqh yang etik. Secara metodologis hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan hikmah ke dalam illat hukum”.(Fiqh Social, hlm. Xiix).
Bukan sebagai Hukum Negara
Lebih jauh dari itu, Kiai Sahal tidak hanya mengatakan : “Fiqh sebagai Etika Sosial” akan tetapi menambahkannya dengan kata-kata : “bukan sebagai hukum Negara”. Ini menjadi kata-kata yang paling mencengangkan dari ‘alim ini. Pandangan ini sangat potensial akan dikecam habis-habisan oleh banyak masyarakat muslim di negeri ini, yang dalam sepuluh tahun belakangan getol memproduksi kebijakan-kebijakan publik atau perda-perda bernuansa syari’ah. Pandangan itu tentu karena Kiai Sahal sangat faham dan ingin menjaga eksistensi Negara Indonesia sebagai Negara-bangsa yang plural dari banyak dimensinya, terutama agama/keyakinan. Pikiran-pikiran untuk menegarakan hukum Islam (fiqh) atau formalisasi hukum Islam (fiqh) akan mengganggu Konstitusi NKRI dan prinsip-prinsip demokrasi substansial yang mendasarkan diri pada hak-hak asasi manusia universal. Dan NU, organisasi yang dipimpinnya, telah menjadi bagian dari komunitas yang ikut mendirikan Negara ini sealigus menyetujui Dasar Negara; Pancasila dan Konstitusi; UUD 1945. Dalam Muktamarnya di Situbondo, tahun 1984, NU menegaskan kembali komitmennya atas dua fondasi Negara bangsa tersebut. Para Ulama NU meyakini bahwa penerimaan atas Pancasila merupakan perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan. Pancasila juga diyakini sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam. Demikian ini merupakan tinjauan dari sisi relasi Agama dan Negara dalam pandangan organisasi massa terbesar di Indonesia tersebut.
Sementara dari tinjauan fiqh sendiri, Kiai Sahal sudah menyatakan bahwa produk-produk fiqh sangat plural. Umat Islam berhak untuk memilih, dan pilihan itu sah serta harus dihargai. Sikap Kiai Sahal ini mengingatkan kita pada pandangan Imam Malik bin Anas (w. 800 M/179 H), pendiri mazhab fiqh. Beliau adalah orang pertama yang berhasil menghimpun hadits-hadit Nabi Muhammad dalam bukunya "Al-Muwathta". Khalifah Abbasiyah, Abu Ja'far al-Manshur, dan kemudian Harun al-Rasyid beberapa kali meminta Imam Malik agar mengizinkan karyanya tersebut dijadikan undang-undang bagi masyarakat muslim di seluruh wilayah kekuasaannya. Imam Malik dengan tegas menolak. Katanya : “Masyarakat di banyak tempat sudah punya pandangan masing-masing. Mereka memercayai hadits yang disampaikan guru-guru mereka dan menjalani kehidupan berdasarkan ajaran tersebut. Biarkan mereka memilih jalan hidup mereka sendiri". Imam Malik terkenal sebagai ulama yang sangat menghargai tradisi local.
Inklusifitas Kiyah Sahal : Menolak Mutabar Ghair Mu’tabar
Pikiran menarik Kiai Sahal yang lain adalah keterbukaannya terhadap pikiran-pikiran orang lain. Ia tak hendak membatasi sumber-sumber pengetahuan di satu sisi, dan tidak hendak memutlakkan kesalahan pikiran orang lain hanya karena tidak menyetujui pandangannya untuk suatu kasus dan tidak memutlakkan kebenaran suatu aliran pemikiran yang diikutinya, di sisi yang lain. Kebenaran bisa ada di mana-mana. Keberagaman pandangan Imam mazhab atas suatu masalah harus dihargai, dihormati. Para Imam sendiri saling memberikan penghormatan dan tidak mengklaim pendapatnya sebagai paling benar. Perbedaan adalah rahmat. Kiai Sahal kemudian menyebut kaedah : “Al-Ijtihad La Yunqadh bi al-Ijthad”. Hasil ijtihad seseorang tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad orang yang lain. Katanya : “Hasil ijtihad seorang fuqaha mungkin tidak pas pada ruang dan waktu tertentu, tetapi sesuai dengan ruang dan waktu yang berbeda”.
Atas dasar itu, Kiai Sahal acap kali keluar dari batas cara pandang para ulama di dalam organisasinya sendiri Nahdlatul Ulama. Salah satunya adalah soal “al-Kutub al-Mu’tabarah” dan “Ghair al-Mu’tabarah”. Ia menganggap pemilahan ini tidak senafas dengan semangat fiqh sebagai produk Ijtihad dan dengan begitu hal itu juga berarti ada pandangan yang mengunggulkan pendapat Imam dan merendahkan pendapat Imam lainnya. Saya kira pemilahan tersebut juga sama artinya dengan membatasi prinsip ilmu pengetahuan sendiri yang selalu terbuka, sekaligus juga membatasi anugerah Tuhan. Dia berkenan memberikan pengetahuan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan mereka yang dianugerahi ilmu pengetahuan adalah orang-orang yang memeroleh kebaikan yang berlimpah. (Q.S. al-Baqarah, [2]:269)
Kiai Sahal kemudian memberi contoh. Dalam pandangan mayoritas ulama kitab-kitab karya Ibnu Taimiyah dan murid utamanya : Ibnu al Qayyim al-Jauziyiah, adalah ghair mu’tabarah (tidak bisa atau tidak boleh dirujuk), karena kedua ulama besar ini mengharamkan tawassul, praktik-praktik tarikat, kewalian, ziarah kubur dan lain-lain. Semua masalah ini adalah bagian dari tradisi dan amalan sehari-hari warga NU. Kiai Sahal mengatakan : “Saat itu saya sudah menentang pendapat ini. Waktu itu saya menggunakan kaedah atau pepatah Arab :”Ambillah yang jernih dan tinggalkan yang keruh”(khudz ma shafa watruk ma kadar). Para Kiai waktu itu tidak setuju pendapat saya dan mereka mengambil sikap saddan li al dzari’ah (preventif). Dengan alasan supaya umat tidak terjerumus maka kitab-kitab itu dilarang saja. Karena saya kalah suara, saya tidak bisa berbuat lebih. Padahal yang namanya pendapat tentu bisa salah bisa benar, karena itu jangan menggunakan pendekatan like and dislike ini mu’tabar, itu tidak”. Ini tentu saja merupakan kritik tajam Kiai Sahal yang lain.
Kiai Sahal lalu menyampaikan bahwa Ibnu Taimiyah mempunyai pandangan yang sangat penting sekaligus perlu memeroleh perhatian kita semua, dalam melihat problem kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini. Imam Ibnu Taimiyah, pembaru dan pemimpin golongan salafi menyampaikan pernyataan yang mencengangkan :
إِنَّ اللهَ يُقِيمُ الدَّوْلَةَ اْلعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلَا يُقِيمُ الدَّوْلَةَ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُسْلِمَةً
“Allah sungguh akan menegakkan Negara yang adil meskipun (Negara) kafir, dan Allah akan menghancurkan Negara yang zalim, meskipun (Negara) muslim”.
Kata bijak “Khudz Ma Shafa wa Utruk Ma Kadar” yang disampaikan Kiai Sahal di atas dapat berarti ‘ambillah pendapat siapapun yang berguna, bermanfaat untuk ruang dan waktu kita, dan tinggalkan pendapat siapapun yang tidak bermanfaat untuk ruang dan waktu kita. Ini mengingatkan kita pada ucapan bijak yang popular dari Imam Ali bin Abi Thalib : “Unzhur Ma Qala wa La Tanzhur Man Qala”. (Pikirkan apa yang dikatakan orang dan jangan lihat siapa yang mengatakannya). Kiai Sahal dengan begitu ingin mencari pikiran yang substantive dan relevan, bukan yang tekstual, formal, yang ketat dan kaku. Ia menekankan prinsip Keadilan sebagai dasar kebijakan. Pada sisi lain beliau juga ingin mengajak masyarakat untuk tidak fanatic terhadap mazhab tertentu.
Belajar dari cara pandang Kiai Sahal di atas saya ingin menyampaikan kata-kata bijak dari filsof Arab :Al-Kindi yang disampaikannya kepada Khalifah Mu’tashim Billah :
يَنْبَغِى لَنَا اَنْ لَا نَسْتَحْيِى مِنِ اسْتِحْسَانِ الْحَقِّ وَاقْتِنَاءِ الْحَقِّ مِنْ أَيْنَ أَتَى , وَإِنْ أَتَى مِنَ اْلاَجْنَاسِ الْقَاصِيَةِ عَنَّا وَالْاُمَمِ الْمُتَبَايِنَةِ لَنَا.
“Seyogyanya kita tidak merasa malu untuk menerima suatu kebenaran dan menjaganya, dari manapun berasal, meskipun dari bangsa-bangsa yang jauh dan yang berbeda dari kita”.
Kiai Sahal dan Isu-Isu Gender
Adalah sungguh menarik bahwa gagasan besar Kiai Sahal : Fiqh Sebagai Etika Sosial dengan seperangkat kerangka dasar pemikirannya, pada gilirannya membawa pada pandanganya yang simpatik mengenai isu-isu kesetaraan dan keadilan gender. Sementara masih banyak ulama dan Kiai yang mencurigai isu-isu ini, Kiai Sahal justeru memberikan apresiasinya, alih-alih mengecamnya. Ini misalnya dapat dibaca dalam kata pengantarnya untuk buku saya “Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender”. Katanya : “Islam sesungguhnya secara ideal normative tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, apalagi mendiskriminasikan perempuan”. Selanjutnya beliau mengatakan : “Melalui buku Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, karya KH. Husein Muhammad ini, kita disadarkan betapa luasnya cakrawala lautan ilmu fiqh. Sebagai seorang yang memiliki latar belakang tradisi kitab kuning cukup kuat, Kiai Husein Muhammad dalam buku ini mampu membaca dan memetakan berbagai ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan melalui berbagai ragam referensi secara terliti dan kritis. Bahasan tentang kepemimpinan shalat perempuan, khitan, batas aurat, memiliki pasangan dalam hidup (nikah), kepemimpinan politik perempuan, dan sebagainya yang ada dalam buku ini akan memperluas cakrawala pandang kita tentang betapa utamanya fiqh, yang demikian terbuka memberikan ruang dialog seluas-luasnya bagi berbagai pandangan dan pendapat. Melalui buku ini, Kiai Husein Muhammad telah memberikan sumbangan yang besar dalam upaya pencarian dan perwujudan makna esensial ajaran agama Islam”.
Faqih yang Arif
Tetapi sungguhpun Kiai Sahal tampak begitu progresif (untuk tidak disebut “liberal”), tetapi beliau berhati-hati dan berusaha sejauh yang bisa dilakukan untuk tidak keluar terlebih dahulu dari pemikiran fiqh dominan. Yakni pendekatan “Fiqh Qauli” (fiqh tekstual). Dalam berbagai kasus yang dimintakan jawaban fiqhnya, Kiai Sahal terlebih dahulu mencari rujukan melalui pendekatan “Fiqh Qauli”, terutama dari kitab-kitab mazhab Syafi’i. Jika jawaban melalui pendekatan ini telah dianggap cukup memberikan solusi, maka beliau tidak perlu mencari jawaban dari mazhab lain. Pandangan fiqh mazhab lain baru disampaikan sebagai alternatif jika lebih berpeluang untuk diamalkan oleh yang bersangkutan atau oleh kepentingan lebih luas. Jika tidak ditemukan “ibarat” yang relevan, beliau berusaha menjawab dengan pendekatan “fiqh manhaji Syafi’i”. Dengan begitu, Kiai Sahal tetap ingin berada dalam dan menyantuni tradisinya, baik dalam kaitannya dengan pendekatan fiqh qauli maupun fiqh manhaji. Ini tentu saja memberikan kesan public bahwa beliau adalah ahli fiqh yang moderat dan tidak terbawa oleh arus “liberal”, seperti pikiran murid-muridnya, antara lain yang sering disebut orang: Ulil Absar Abdallah, atau anak-anak muda NU lain yang berpikiran seperti dia. Kalaupun tidak sejalan dengan pikiran anak-anak muda NU yang memiliki kecenderungan “liberal” tersebut, Kiai Sahal menyikapinya dengan arif. Beliau tidak menstigmanya sebagai sesat, apalagi mengafirkannya, melainkan mengajaknya berdialog, atau mengajak masyarakat mendiskusikannya dengan ilmiyah, atau paling jauh membiarkan/mendiamkannya saja. Sikap dan cara pandang ini sesungguhnya, dalam pandangan saya tidak banyak dimiliki oleh kebanyakan ulama, baik dalam kalangan Ulama NU sendiri, apalagi kalangan Islam salafi garis keras. Sikap seperti Kiai Sahal itu memperlihatkan kepada kita kedalaman dan keluasan ilmu seseorang sekaligus merupakan tanda kearifannya. Semoga kelak, sesudah beliau pulang, akan lahir pemikir-pemikir fiqh yang cemerlang, progresif, inklusif sekaligus arif, seperti beliau. .
Selamat Jalan Kiai Sahal. “Ya Ayyatuhannafs al-Muthminnah Irji’i Ila Rabbiki Radhiyah Mardhiyyah Fa Udkhuli fi ‘Ibadi wa Udkhuli Jannati”. Nafa’ana Allah Bi ‘Ulumihi.
Sumber :
http://www.nu.or.id/
http://mulkans.wordpress.com/
0 Response to "Pengertian dan Penjelasan Fiqih Sosial Lengkap"
Posting Komentar