PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL







proportionalityPelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional merupakan terjemahan
langsung dari "Violation on International humanitarian law" Oleh karena
berbagai perjanjian internasional baik Konvensi, statuta maupun
protokol memberikan istilah pelanggaran untuk tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan Hukum Humaniter dan selanjutnya diantara pakar
Hukum Humaniter Prof Haryomataram menggunakan istilah "kejahatan
perang" hal ini dimaksudkan bahwa penggunaan istilah " pelanggaran
terhadap hukum humaniter internasional " dapat dipahami dan diartikan
sebagai kejahatan perang.

Terminologi kejahatan perang.

a.
Nomenklatur tentang kejahatan perang digunakan secara berbeda menurut
beberapa Statuta atau Konvensi Internasional yang mengatur tentang
tindakan kejahatan perang, dalam Konvensi Den Haag tentang hukun dan
kebiasaan perang didarat tanggal 18 Oktober 1907 memberi istilah
kejahatan perang sebagai " serious violations " demikian juga
Konvensi Jenewa tangg 12 Agustus 1949 dan Protokol tambahan Jenewa
tahun 1977 memberi istilah sebagai " grave breaches " sedangkan
Konvensi Genosida menyebut definisi kejahatan perang sebagai " a crime
under international law "

b. Dalam bagian lainnya Mahkamah Ad
Hoc Den Haag dan Rwanda menyebut kejahatan perang dengan menggunakan
istilah " serious violation of international humanitarian law "
sebagai istilah baru yang memang belum pernah ada dalam
konvensi-konvensi yang berlaku sebelumnya dengan maksud memberi
pengertian yang lebih luas dari istilah " grave breaches " yang
meliputi seluruh tindakan yang melanggar ketentuan Hukum Humaniter
internasional, sedangkan Mahkamah Pidana internasional (International
Criminal Court) memberikan istilah bagi kejahatan perang sebagai " the
most serious crimes "

c. Akan tetapi nama/istilah yang diberikan
bagi pelanggar hukum humaniter namun pada intinya adalah merujuk pada
tindakan-tindakan kejahatan yang dilakukan pada saat terjadi perang dan
menuntut pertanggungjawaban bagi para pelaku. Perbedaan istilah tersebut
hendaknya tidak dilihat secara harafiah, melainkan harus dilihat dalam
konteks bahwa substansi tindakan-tindakan tersebut merupakan kejahatan
yang sangat kejam terhadap masyarakat yang beradab.

d. Dalam
terminologi hukum pidana Indonesia, perbedaan dari istilah tersebut
tidak identik dengan perbedaan antara kejahatan di satu pihak dan
pelanggaran dilain pihak, berdasarkan pada buku II tentang
kejahatan dan buku III tentang pelanggaran yang terdapat dalam KUHP,
yang dimaksud disini adalah penggunaan istilah pelanggaran dan kejahatan
dalam konteks " kejahatan perang " tidak identik dengan penggunaan
istilah kejahatan dan pelanggaran berdasarkan KUHP yang akan
mempengaruhi pemidanaan terhadap pelaku.

e. Statuta Mahkamah
Militer Internasional Nuremberg mengkualifikasikan subject matter
jurisdiction atas 3 jenis kejahatan (Kejahatan terhadap perdamaian,
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang), akan tetapi ke 3
jenis kejahatan tersebut disebut sebagai kejahatan perang ( war crimes
) dengan demikian pelaku 3 jenis kejahatan tersebut disebut penjahat
perang/war criminal.

f. Untuk memperjelas yang dimaksud dengan Kejahatan Perang, maka dapat dibagi ruang lingkupnya sebagai berikut :
1) Kejahatan perang.
Kejahatan
perang (dalam arti kata sempit) adalah tindakan pelanggaran-pelanggaran
terhadap hukum dan kebiasaan perang sebagaimana diatur dalam Konvensi
Den Haag ke IV tahun 1907 tentang hukum dan kebiasaan perang di darat
khususnya ketentuan pasal 46,50,52 dan pasal 56 dan Konvensi Jenewa
tahun 1929 tentang perawatan prajurit yang sakit dan luka-luka serta
tentang tawanan perang. Tindakan kejahatan perang juga mencakup
pelanggaran-pelanggaran berat terhadap ketentuan Konvensi Jenewa tahun
1949 tentang perlindungan korban perang.
2) Kejahatan agresi.
Kejahatan
terhadap perdamaian dalam bentuk perencanaan, persiapan, memulai atau
melaksanakan perang, disebut juga kejahatan agresi. Pada mulanya konsep
kejahatan agresi sebagai kejahatan internasional berkait erat dengan
perbedaan antara " Perang adil " dan " Perang tidak adil " ( just and
injust war ). Metode-metode perang tidak adil pada dasarnya merupakan
perang agresi, yaitu perang yang melanggar keagunan (jaminan) dari fakta
untuk tidak saling menyerang ( not to attack ).
3) Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan
terhadap kemanusiaan adalah suatu kejahatan yang baru yang berhubungan
dengan doktrin mengenai perlindungan HAM yang dapat diterapkan dimasa
perang atau dimasa damai, yang menjadi dasar hukum bagi tindakan
kejahatan ini adalah Konvensi Den Haag ke IV tahun 1907 yang menyatakan
bahwa penduduk sipil dan pihak-pihak berperang akan tetap tunduk pada
perlindungan dan prinsip hukum internasional.
4) Kejahatan Genosida.
Bahwa
kejahatan genosida adalah tindakan yang berkaitan dengan maksud
menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok suku
bangsa, etnik, ras atau agama tertentu juga termasuk perbuatan
pembunuhan, pengudungan anggota tubuh, penggunaan obat bius yang dapat
menghancurkan kelompok termasuk tindakan pemandulan.


Kategori pelanggaran.
a.
Ketentuan-ketentuan yang termuat baik dalam Konvensi Jenewa maupun
dalam Protokol I hanya memberikan kerangka hukum yang umum saja,
selanjutnya bagi negara penandatangan harus melengkapi ketentuan
tersebut di tingkat nasional. Pelanggaran yang dinyatakan berat,
terdaftar dalam Konvensi-Konvensi Jenewa akan tetapi daftar dari semua
tindakan lainnya yang bertentangan dengan hukum tersebut tidak disusun.

Namun
demikian belum tentu suatu perbuatan yang melanggar hukum dan yang
tidak terdaftar sebagai pelanggaran berat akan dilihat sebagai
pelanggaran ringan, dalam hal ini perlu mempertimbangkan pula ketentuan
hukum Konvensi lainnya serta peraturan adat internasional.

Perbuatan-perbuatan
yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran berat berdasarkan Konvensi
Jenewa I,II,III dan IV antara lain Pembunuhan yang disengaja,
Penganiayaan dan perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk percobaan
biologis, Perbuatan yang menyebabkan penderitaan besar atau luka berat
atas badan atau kesehatan.

b. Konvensi Jenewa I, II dan III :
Ketentuan
ini menyatakan bahwa pengrusakkan dan tindakan pemilikan atas harta
benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang akan
dilaksanakan secara luas, dengan melawan hukum dan dengan
sewenang-wenang.

1) Konvensi Jenewa III dan IV :
a) Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa untuk berdinas dalam ketentaraan negara musuh.
b)
Merampas dengan sengaja hak-hak tawanan perang atau orang yang
dilindungi oleh konvensi Jenewa atas peradilan yang adil dan wajar yang
ditentukan dalam Konvensi.

2) Konvensi Jenewa IV :
a) Deportasi dan pemindahan secara tidak sah.
b) Penahanan yang tidak sah.
c) Penyanderaan.

3) Protokol Tambahan I :
a) Setiap perbuatan yang dapat membahayakan kesehatan atau integritas fisik maupun mental.
b) Dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan kematian atau luka berat atas badan atau kesehatan, sebagai berikut :
(1) Serangan terhadap masyarakat sipil.
(2) Serangan membabi buta yg merugikan masy sipil /obyek sipil.
(3) Serangan yang diarahkan pada instalasi yang berisi kekuatan yang berbahaya.
(4) Serangan yang diarahkan pada perkampungan yang tidak dipertahankan dan daerah diluar operasi militer.
(5) Serangan terhadap orang yg tidak lagi ikut dalam pertempuran.
(6) Penyalahgunaan tanda pelindung.

4) Dengan sengaja melakukan perbuatan sebagai berikut :
a)
Pemindahan sebagian dari masyarakat sipilnya oleh pihak yang menduduki
ke dalam wilayah yang sedang diduduki, serta deportasi atau pemindahan
sebagian atau seluruh masyarakat sipil yang diduduki.
b) Keterlambatan dlm repatriasi tawanan perang atau orang sipil.
c) Tindakan yang merendahkan martabat manusia dan diskriminasi berdasarkan atas perbedaan ras.
d) Serangan thd monumen sejarah, benda budaya dan tempat ibadah.
e) Tidak menghormati hak setiap orang yang dilindungi oleh Hukum Jenewa untuk menerima pengadilan yang wajar.

5)
Pelanggaran juga dapat berupa tidak dipenuhinya kewajiban yang
diberikan oleh Hukum Jenewa. Sedangkan pelanggaran yang dikatagorikan
tidak berat adalah setiap pelanggaran yang tidak dinyatakan sebagai
pelanggaran berat namun yang disebabkan karena tidak dipenuhinya
kewajiban untuk bertindak sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional.

Tanggung jawab pidana.
Tanggung
jawab pidana merupakan persyaratan yang harus dipenuhi agar pelanggar
dapat dihukum sebagai akibat dari perbuatan yang telah dilakukan,
masalah tanggung jawab pidana ini diatur dalam dua sistem hukum,
masing-masing hukum internasional dan hukum nasional.
a. Hukum internasional.
1)
Pasal 49 Konvensi Jenewa I serta pasal yang sama pada Konvensi Jenewa
lainnya, menegaskan bahwa : Pihak peserta agung berjanji menetapkan
undang-undang yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana effektif
terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan
salah satu diantara pelanggaran berat atas Konvensi ini seperti
ditentukan di dalam pasal berikut.

2) Disamping itu pasal 86 ayat
2 Protokol Tambahan I menegaskan bahwa " Pelaksanaan pelanggaran
terhadap Konvensi Jenewa atau Protokol Tambahannya oleh seorang bawahan
tidak dapat mengecualikan tanggung jawab pidana maupun disipliner
atasannya, apabila keadaan itu atasan tersebut mengetahui atau dapat
mengetahui bahwa bawahannya akan atau sedang melakukan pelanggaran dan
atasan tersebut tidak berusaha untuk mengambil segala tindakan yang
mungkin agar mencegah atau menghentikan pelanggaran itu "

Hukuman
pidana merupakan akibat langsung dari tanggung jawab pidana tersebut.
Didalam HHI masalah hukuman pidana yang dapat dijatuhkan sehubungan
dengan pelanggaran tidak tegas, oleh karena itu perlu dilengkapi dengan
ketentuan-ketentuan hukum nasional.

b. Undang-undang nasional.
Mengenai
tindakan yang perlu diambil di tingkat nasional sehubungan dengan
prosedur tidak ada masalah karena dengan memberikan wewenang kepada
pengadilan nasional maka peraturan nasional akan mengatur pula prosedur
peradilan. Yang perlu ditentukan adalah pengadilan mana yang
berwewenang mengadili terhadap pelanggaran yang dilakukan saat
berlangsungnya pertikaian bersenjata, dibeberapa negara wewenang
dibagikan :
1) Pengadilan militer berwenang untuk menghukum pelanggaran yang dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata.
2) Pengadilan sipil berwenang untuk menghukum pelanggaran yang dilakukan oleh orang sipil.

Pada
akhirnya dibeberapa negara menetapkan wewenang untuk menghukum
pelanggaran yang dilakukan pada waktu terjadinya pertikaian bersenjata
diberikan sepenuhnya kepada pengadilan militer, dengan demikian negara
penandatangan tidak perlu mengubah sistim peradilan mereka, cukup
memperluas wewenang pengadilan nasional agar dapat mencakup pelanggaran
berat seperti yang ditentukan dalam Konvensi Jenewa maupun Protokol
Tambahan. Dalam proses pengadilan, jaminan yang perlu dihormati adalah
sebagai berikut :
1) Tersangka harus diberitahu mengenai tuduhannya dalam bahasa yang dipahaminya agar dia dapat mempersiapkan pembelaannya.
2) Tanggung jawab pidana hanya dpt ditetapkan secara perorangan.
3)
Pelanggaran hanya dapat ditentukan dan hukuman hanya dapat dijatuhkan
berdasarkan hukum pidana yang berlaku pada waktu pelanggaran tersebut
dilakukan.
4) St tersangka dianggap tak bersalah sblm kesalahannya terbukti.
5) Tidak seorangpun dapat dipaksa untuk mengakui kesalahannya
6) Pelanggar tdk dpt dihukum dua kali untuk pelanggaran yg sama.
7) Sidang pengadilan pada prinsipnya terbuka untuk umum.
8) Setiap orang yang dinyatakan bersalah berhak naik banding.

Yang terpenting dalam proses penyelesaian pelanggaran Hukum
Humaniter Internasional terutama bagi negara-negara penandatangan
yang
bertanggung jawab atas penerapan Hukum Humaniter Internasional, maka
seperti yang diungkapkan dalam pasal 1 setiap Konvensi Jenewa sebagai
berikut : " Pihak-pihak peserta Agung berjanji untuk menghormati dan
menjamin penghormatan Konvensi ini dalam segala keadaan ".



Keadilan Bagi Korban Pelanggaran HAM

Bhatara Ibnu Reza
‘Pemantauan
terhadap pelaksanaan status darurat di Aceh tak hanya dilakukan NGO
berskala lokal dan nasional, tapi juga NGO internasional. Komnas HAM,
memiliki peran besar dalam memantau pelaksanaan darurat militer (DM) di
Aceh. Setelah itu, Komnas HAM tak intensif lagi melaporkan hasil
pantauannya kepada publik. Begitu pula saat perubahan status dari DM
menjadi darurat sipil (DS).

Media asing tidak luput mewartakan
pelanggaran HAM di awal DM I. Misalnya, pembantaian tujuh warga sipil di
Desa Matangmamplan, Bireuen oleh militer Indonesia. Salah satu korban
peristiwa ini seorang anak berumur 12 tahun. The Guardian dan BBC (edisi
22 Mei 2003), menggambarkan orang-orang tersebut ditembak satu-persatu
oleh personel dari satuan militer berjumlah 100 orang yang bertugas di
desa tersebut. Menurut keterangan dari penduduk desa, para korban adalah
petani. Mereka berusaha mencegah tentara untuk menangkap dan menembak
korban, namun tak digubris. Sesaat setelah peristiwa itu, TNI membentuk
tim internal bersama dengan jurnalis yang meliput untuk melakukan
penyelidikan. Hasilnya hingga saat ini tidak ada satupun pelaku yang
bertanggungjawab dibawa ke pengadilan.

Hukum dan Etika Perang

Dalam
perang atau konflik bersenjata, para pihak bertikai dibatasi oleh
rambu-rambu hukum internasional. Indonesia harus tunduk dengan hukum
internasional yang terdiri atas instrumen hukum internasional yang telah
diratifikasi dan instrumen hukum kebiasaan internasional; instrumen
hukum humaniter; dan instrumen hukum nasional.

Berbagai instrumen Hukum internasional yang telah diratifikasi :
1) Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia,
2) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita,
3) Konvensi tentang Anti Penganiayaan,
4) Konvensi tentang Hak-hak Anak,
5) Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial.
Sementara instrumen hukum internasional yang belum diratifikasi dan Hukum Kebiasaan Internasional :
1) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik,
2) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
3) Protokol Optional Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik,
4) Konvensi tentang Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar,
5) Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida,
6) Statuta Mahkamah Pidana Internasional 1998 (Statuta Roma).

Instrumen hukum humaniter, di antaranya :
1) Konvensi Jenewa 1949
2) Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1949.

Sedangkan instrumen hukum nasional, meliputi :
1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
2) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan 4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Indonesia
sendiri telah lama menjadi peratifikasi Konvensi Jenewa 1949 sejak
diterbitkannya UU No. 59 Tahun 1958 pada 30 September 1958. Namun,
Indonesia belum meratifikasi dua Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1949
(1977). Masyarakat internasional telah banyak meratifikasi kedua
protokol tersebut serta memakainya pada setiap konflik bersenjata, baik
internasional maupun non-internasional. Indonesia tak dapat melepaskan
diri keduanya, karena protokol tersebut berstatus hukum kebiasaan
internasional (customary international law).

Serangkaian
ketentuan di atas harusnya mereduksi jumlah korban nyawa manusia akibat
konflik bersenjata. Namun, pemerintah Indonesia menolak bila apa yang
dilakukannya sebagai sebuah perang. Menurut pemerintah, perang hanya
dilakukan antara negara dengan negara dan bukan negara dengan separatis.


Apapun itu namanya tak menjadikan perang mengabaikan etika yang
telah digariskan oleh instrumen hukum internasional. Prinsip ius ad
bellum (etika dalam perang) di Aceh sama sekali diabaikan. Prinsip ini
memaksa negara untuk menjadikan perang sebagai bagian resolusi konflik
dengan memerhatikan prinsip diskriminasi di mana perang hanya berlaku
bagi para pihak yang bertikai (kombatan).

Selain itu adanya
prinsip proporsionalitas yang menitikberatkan pada bagaimana perancang
perang dapat mengkalkulasi biaya dan kerusakan yang timbul akibat
perang. Inilah yang disebut just war (perang yang adil).

Berbagai Pelanggaran HAM

Selama
masa darurat, kedua pihak (aparat pemerintah dan GAM, red) tercatat
melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter dan HAM. Namun
masing-masing tidak mengakui dan bertangungjawab atas pelanggaran
tersebut. Kedua pihak saling melemparkan kesalahan dan mengklaim tidak
melakukan pelanggaran. Fakta di lapangan, kedua pihak mengabaikan
masyarakat sipil yang seharusnya tidak menjadi korban dalam konflik
bersenjata.

Pelanggaran seperti terjadi di Desa Matangmamplan,
Bireuen, merupakan tindakan extra judicial execution—pembunuhan secara
melawan hukum dan sengaja yang dilakukan dengan perintah dari pemerintah
atau dengan keterlibatan atau persetujuan diam-diamnya. Sedangkan
tindakan yang dilakukan adalah summary killing atau pembunuhan yang
dilakukan secara cepat dan tak beraturan. Artinya pelaku telah
menjustifikasi bahwa siapa saja yang mereka temui adalah musuh.

Secara
hukum nasional, penangkapan tanpa surat perintah tersebut merupakan
pelanggaran terhadap UU Nomor 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya Pasal
32 (4) yang mengatur perlunya surat dalam penangkapan. Idealnya, pasal
ini digunakan berkaitan dengan wewenang PDMD untuk membatasi hak-hak
yang tak dikategorikan sebagai hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan
dalam keadaan apapun (non-derogable rights).

Seperti diketahui
saat DM, PDMD mengeluarkan sejumlah maklumat untuk melakukan pembatasan
sejumlah hak. Segenap peraturan itu digunakan untuk melakukan
penangkapan terhadap warga sipil yang berimplikasi pada hak orang
tersebut dilanggar dengan tidak mendapatkan perlakuan yang sama di
hadapan hukum (rights to be treated equal before the law).

Selama
keadaan darurat, khususnya DM, jumlah orang yang mengalami penyiksaan
meningkat seiring dengan peningkatan penangkapan sewenang-wenang
(arbitrary arrest). Penyiksaan adalah metode yang paling lama dikenal
dan digunakan oleh aparat untuk mendapatkan informasi dari tahanan atau
tawanan perang. Sebelumnya, semasa Daerah Operasi Militer (DOM) terdapat
fenomena rumah geudong, yaitu sebuah rumah di Pidie yang dipergunakan
aparat Kopasus untuk menyiksa para penduduk yang dicurigai memiliki
hubungan dengan GAM. Tak hanya Kopasus, penyiksaan dilakukan pula oleh
para cuak—warga sipil Aceh yang bekerja sebagai mata-mata serdadu.

Adalah
kewajiban Pemerintah Indonesia untuk melindungi warga negaranya dari
usaha penyiksaan yang dilakukan oleh aparat atau suatu kelompok yang
terorganisir. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan
dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1998. Itu berarti pemerintah
terikat (consent to be bound) dengan konvensi ini.

Larangan
penyiksaan itu bersifat mutlak dan tanpa kecuali serta tiada suatu
keadaan yang menjadikan penyiksaan sebagai tindakan sah. Dalam
prakteknya, aparat negara masih menggunakan mekanisme penyiksaan
tersebut. Ratifikasi terhadap Konvensi Anti Penyiksaan tidak diiringi
dengan pembaruan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur proses penyelidikan dan penyidikan berikut aparatnya agar tidak
menggunakan mekanisme penyiksaan.

Penghilangan paksa adalah
kejahatan yang paling banyak melanggar HAM yang diakui sebagai hak-hak
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights).
Mulai dari kehilangan hak kebebasan (right to liberty and security of
person), hak untuk tidak disiksa (right not to be subjected to torture
and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment) serta hak
diperlakukan sama di hadapan hukum (right to be treated equal before
the law).

Dalam konteks Aceh, kejahatan ini acap dilakukan untuk
membungkam para aktivis politik serta pembela HAM, baik yang berprofesi
sebagai guru, pengacara dan lain sebagainya. Sebulan DS II tercatat 12
orang hilang tidak diketahui nasibnya.

Kejahatan ini tidak saja
membuat manusia tercerabut dari kebebasannya, namun juga menghilangkan
eksistensi dirinya sebagai persona yang seharusnya subyek hukum menjadi
tidak ada dan hukum tidak dapat menjamin sesuatu yang tidak ada. Korban
penghilangan paksa seringkali menghadapi penderitaan yang amat mendalam.


Dalam kasus-kasus yang terbongkar, mereka menjalani penyiksaan
baik fisik maupun mental. Karena tindakan itu adalah sebuah kejahatan
berlanjut (a continuing crime), selama korban belum ditemukan selama
itulah kejahatan berlangsung. Karenanya prinsip non-retroaktif yang
merupakan dasar dari asas legalitas tidak berlaku menghadapi kejahatan
ini.

Keadilan dan Akuntabilitas
Berangkat dari sekian banyak
pelanggaran HAM, di masa DM Dan DS, jalan yang patut dipertimbangkan
adalah menghadirkan keadilan dan akuntabilitas (justice and
accountability). Menghadirkan keadilan bagi korban dan keluarganya,
yakni dengan mengadili pelaku pelanggaran HAM. Hingga kini, sebagian
besar rakyat Aceh mengidap trauma berat akibat mereka menjadi saksi
langsung dari kekejaman perang.

Tak ada alasan bagi negara untuk
menunda hadirnya keadilan bagi mereka. Karena menunda keadilan sama
dengan menyangkal keadilan itu sendiri (justice delayed is justice
denied). Jika itu terjadi, maka akan menimbulkan kembali praktik
impunitas yang telah ditentang oleh masyarakat internasional. Masyarakat
internasional memiliki kewajiban untuk menangkap, menahan, menuntut,
mengadili para pelaku (perpetrators) kejahatan kemanusiaan.

Para
pelaku kejahatan tidak memiliki waktu untuk bernapas bebas karena
mereka diburu ibarat hama yang harus dibasmi. Mereka mendapatkan status
sebagai hostis humanis generis atau musuh umat manusia, sebuah status
pariah dimana seseorang yang mendapatkan status ini dikucilkan dan
dianggap tidak ada oleh masyarakat.

Karenanya penegakan terhadap
keadilan dan akuntabilitas harus dilihat sebagai upaya negara
menghadirkan keadilan bagi korban dan keuarganya sekaligus sebagai
sarana untuk memutus rantai impunitas yang hingga kini masih melilit
erat di tanah air kita.

*) Peneliti IMPARSIAL The Indonesian Human Rights Monitor.


SEBUAH CATATAN SINGKAT Tantangan Pelurusan Konsep Hukum Setelah Dibatalkannya ASAS RETROAKTIF

Hikmahanto Juwana
(Guru Besar Hukum Internasional, FHUI)


PENGANTAR

Pada
saat ini sistem hukum di Indonesia sedang diuji sehubungan dengan
dibatalkannya pemberlakuan asas retroaktif atas UU Terorisme. Tantangan
ini terkait dengan dua nilai yang selalu dipadankan namun untuk
peristiwa ini saling bertentangan, yaitu nilai hukum dan keadilan.
Tulisan
ini hendak membahas bagaimana secara hukum dan ilmu pengetahuan hukum
pembatalan asas retroaktif dapat dibenarkan, namun secara keadilan sulit
untuk diterima. Dalam artikel ini akan disampaikan beberapa alternatif
solusi yang lebih mengedepankan nilai keadilan tanpa mengorbankan
kebenaran menurut hukum.
Tulisan ini akan dimulai dengan pembahasan
sudah tepatnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pembatalan UU No.
16/2003 yang memberlakukan secara retroaktif UU Terorisme dalam
peristiwa pemboman di Bali. Selanjutnya akan dibahas tantangan yang
dihadapi oleh sistem hukum Indonesia untuk lebih mengedepankan keadilan.

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

Konsep
pemberlakuan asas retroaktif merupakan konsep hukum yang dikenal dalam
hukum internasional, khususnya hukum pidana internasional.
Bagi awam
mungkin hukum internasional dipahami hanya sebagai hukum yang mengatur
hubungan antar negara. Meskipun pandangan tersebut tidak salah, namun
dalam hukum internasional modern ruang lingkup tersebut telah mendapat
perluasan. Salah satu perluasan tersebut adalah individu menjadi subyek
hukum internasional. Ini terjadi bila individu dituduh melakukan
kejahatan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional. Dalam
perspektif ilmu hukum, kejahatan dibedakan antara kejahatan nasional dan
kejahatan internasional. Kejahatan nasional adalah kejahatan yang
dianggap sebagai suatu perbuatan jahat menurut
masyarakat di suatu
negara. Untuk itu kejahatan nasional ditentukan oleh masyarakat dan
lembaga pembentuk undang-undang di suatu negara. Sementara kejahatan
internasional adalah kejahatan yang dianggap oleh masyarakat
internasional sebagai perbuatan jahat.
Penentuan jenis kejahatan
internasional dilakukan atas dasar suatu kebiasaan yang terpelihara
dikalangan negara-negara. Pada titik tertentu, kebiasaan ini dapat
menjadi hukum internasional yang disebut sebagai hukum kebiasaan
internasional (international customary law). Hukum kebiasaan
internasional dalam proses selanjutnya dapat dikodifikasi dan dituangkan
dalam perjanjian internasional. Jenis perbuatan jahat ini pada
gilirannya dapat diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional.
Hingga saat ini yang dianggap sebagai kejahatan internasional adalah
kejahatan bajak laut dan empat jenis kejahatan yang termaktub dalam
Statuta pendirian Mahkamah Pidana Internasional (MPI). Keempat kejahatan
tersebut adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusian,
kejahatan perang dan kejahatan melancarkan perang agresi. Dalam konteks
Indonesia kejahatan internasional diistilahkan sebagai pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) Berat sebagaimana tertuang dalam UU No. 26/2000. Ada
dua jenis kejahatan internasional yang telah diadopsi, yaitu kejahatan
terhadap kemanusian dan kejahatan genosida.

TERORISME SEBAGAI KEJAHATAN INTERNASIONAL

Inti
putusan MK yang membatalkan pemberlakuan asas retroaktif bagi tindak
pidana terorisme di Bali bertitik tolak pada tidak diakuinya kejahatan
terorisme sebagai kejahatan internasional. Alasannya, terorisme tidak
termasuk jenis kejahatan yang diatur dalam Statuta MPI maupun UU No.
26/2000. Pandangan ini tentu tidak sejalan dengan pandangan pemerintah
sewaktu memberlakuan UU Anti Terorisme dalam peristiwa pemboman di Bali.
Pada saat itu pemerintah menganggap tindak pidana terorisme sebagai
kejahatan internasional. Ini dapat dilihat dalam penjelasan Perpu No.
1/2002 yang menyebutkan bahwa tindak pidana terorisme sebagai
extraordinary crime.
Memang secara teoritis pemerintah yang memiliki
wewenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan dapat membuat
ketentuan yang mengkatagorikan tindak pidana terorisme sebagai kejahatan
internasional. Sebagai konsekuensinya, yurisdiksi universal berlaku
bagi para pelakunya mengingat dalam kejahatan internasional berlaku
yurisdiksi jenis ini. Berdasarkan yurisdiksi universal maka asas
retroaktif dapat diberlakukan.
Mengkategorikan tindak pidana
terorisme sebagai kejahatan internasional pada saat ini masih sangat
prematur. Pertama karena tidak banyak negara di dunia yang menganggapnya
demikian. Kedua, kalaupun ada aspek internasionalnya, kejahatan
terorisme dianggap sebagai kejahatan transnasional (transnational
crime). Kejahatan demikian tetap merupakan kejahatan nasional namun
jenis kejahatan ini memiliki implikasi lintas batas dalam penegakannya
sehingga istilah ‘transnasional’ digunakan.

Oleh karenanya
putusan dari MK harus dipahami sebagai upaya meluruskan pandangan
pemerintah yang mengkategorikan kejahatan terorisme sebagai kejahatan
internasional. Memang pemerintah memiliki alasan mengapa tindak pidana
terorisme dianggap sebagai suatu kejahatan internasional. Salah satunya
adalah untuk memudahkan penyidikan dan penuntutan terhadap para
tersangka.
Namun dengan diputuskannya kejahatan terorisme sebagai
kejahatan nasional oleh MK maka pemberlakuan asas retroaktif tidak dapat
diberlakukan.

UJIAN

Saat ini sistem hukum di Indonesia
sedang diuji untuk menghadapi tantangan meluruskan konsep hukum yang
masih gamang untuk dipahami. Di satu sisi MK hendak mengembalikan
perspektif yang benar atas keputusan pemerintah, namun di sisi lain
putusan MK seolah mengabaikan nilai keadilan. Pengabaian nilai keadilan
terjadi karena masyarakat telah menganggap mereka yang diperiksa bahkan
telah dalam status terpidana adalah mereka yang bertanggung jawab atas
peristiwa pemboman di Bali. Saat ini mereka bisa saja dibebaskan bukan
karena tidak terbukti melakukan pemboman melainkan karena JPU ataupun
pengadilan telah menggunakan alas hukum yang telah kehilangan dasar.
Logikanya sederhana, bagaimana mungkin seseorang dipersalahkan bila UU
yang mengaturnya sudah dinyatakan tidak berlaku? Masyarakat kerap tidak
menyadari bahwa dalam proses hukum sering tersangka atau terdakwa
dibebaskan bukan karena terbukti tidaknya tuduhan JPU, melainkan karena
masalah prosedural. Masalah prosedural ini antara lain adalah cara
penangkapan, dasar hukum yang digunakan untuk menuduh dan lain
sebagainya.

SOLUSI

Paling tidak ada dua opsi yang dapat
ditawarkan untuk mengedepankan masalah keadilan setelah konsep hukum
pemberlakuan asas retroaktif diluruskan oleh MK.
Opsi pertama adalah
Mahkamah Agung (MA) tetap memberlakukan UU No. 16 bagi mereka yang telah
diputus berdasarkan UU ini. Alasannya adalah tidak diberlakukannya
suatu UU tidak berarti bahwa mereka yang dinyatakan salah atas UU
tersebut bisa dengan sendirinya bebas. Banyak peristiwa yang menunjukkan
ini. Banyak aktivis yang telah dihukum berdasarkan UU Tindak Pidana
Subversi, namun setelah dicabut UU Tindak Pidana Subversi tidak berarti
mereka yang pernah dihukum dengan sendirinya dibebaskan. Harus diakui
bahwa pembentukan UU sangat tergantung pada apa yang ditafsirkan oleh
pembentuk UU pada situasi dan kondisi tertentu. Di negara tertentu,
pemakai Narkotika dan obat terlarang di suatu waktu dinyatakan sebagai
suatu kejahatan namun pada saat yang lain diperbolehkan
(dekriminalisasi). Masalahnya adalah apakah dengan perubahan UU lalu
dengan sendirinya perbuatan yang dinyatakan ‘jahat’ menjadi tidak jahat
dapat membebaskan pelakunya?
Jawaban dari pertanyaan ini bisa dua.
Pertama bila apa yang dianggap sebagai jahat bila masuk katagori
kejahatan politik maka pelaku bisa saja dibebaskan. Jawaban kedua adalah
bila kejahatan yang dilakukan tidak dikualifikasikan sebagai kejahatan
politik maka pelaku tidak bisa begitu saja dibebaskan. Mengikuti logika
berpikir ini, MA bisa tetap mempersalahkan mereka yang dijatuhi hukuman
atas dasar UU Terorisme yang diberlakukan secara retroaktif sepanjang MA
bisa mengkualifikasinya kejahatan terorisme sebagai bukan ranah
kejahatan politik. Opsi kedua yang dimiliki oleh MA adalah MA mengikuti
putusan MK. Bila opsi ini yang diambil maka ada pertanyaan hukum
mendasar yang perlu dijawab oleh MA. Pertama adalah diberlakukan sebagai
apa putusan MK? Apakah merupakan bukti baru (novum) ataukah suatu rebus
sic stantibus, perubahan yang sangat mendasar yang dikenal dalam hukum
internasional. Pertanyaan kedua adalah apakah terpidana harus dibebaskan
karena adanya perubahan yang sangat mendasar ini? Bila mereka
dibebaskan pertanyaan berikutnya adalah atas dasar hukum apa mereka akan
diadili kembali tanpa harus terkena asas ne bis in idem. Untuk
pertanyaan terakhir ini harus dijawab oleh JPU pada saat menuntut
kembali para terpidana bom di Bali.

PENUTUP

Apapun
putusan yang dilakukan oleh MA terhadap para pelaku tindak pidana
terorisme maka perlu dikedepankan masalah keadilan tanpa harus
mengabaikan masalah hukum. Ini penting agar MA tidak hanya berfungsi
untuk menegakkan hukum tetapi juga menegakkan keadilan. Segala
sesuatunya berada di tangan MA.

Tulisan ini telah
disosialisasikan pada Diskusi Publik Tema; “Implikasi Putusan MK
Terhadap Kasus Bom Bali”. Diselenggarakan oleh KHN, di Jakarta,
(19/08/04)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL "

Posting Komentar