Para Polisi Muda dan Copet yang Merdeka
Jakarta.
Senja. Sepulang kerja. Di atas Bis Kopaja jurusan Tanah Abang - Blok M.
Bertapisan tangan, berebut posisi, lalu bis bergoyang. Tiga pria di
belakang, dan satu di depan, berkerumun mendekat. Lalu aku tersadar,
pasti ada sesuatu yang hilang. Ingatan langsung ke dompet, yang berisi
uang (sisa belanja buku dari si Bos). Ternyata ada. Lalu, duh, Handphone (dua buah) di kemeja depan lenyap.
Refleks
aku menegur si pria di depan. Saling ngotot, aku mencoba merebut dan
merogoh tas plastik yang ia bawa. Serentak tiga pria di belakang
bereaksi. Yang satu membetot leher, dan yang lain mendorong aku —memaksa turun. Insting bergerak cepat. Lari menghambur ke arah polisi —-jarak sekitar 60 meteran.
Dan
kejengkelan mulai di sini. Sekuat tenaga mempercepat langkah di gurita
kemacetan Jakarta, untuk segera melapor minta tolong. Pak Polisi (memang
dia sedang sibuk, mengatur lalu lintas di kolong jembatan layang
Slipi), terlihat enggan membantu. Beliau menunjuk sebuah pos di
depannya. Segera ke sana. Tetapi?
Ada
dua orang di Pos. Tak sedang apa-apa. Aku nyaris berteriak minta
tolong, agar mereka menghadang (karena Kopaja mengarah ke situ). Mereka
menjawab harus lapor ke Pos yang di Pejompongan. Aku marah luar biasa…
Naik
ojek, segera ke Pos, yang ternyata adalah Sub Sektor Polsek Tanah
Abang. Di sini, malah terjadi debat seru. Aku muntab. Karena kata mereka
bukan tugas mereka untuk melakukan pengejaran, dan itu adalah
kewenangan Polsek Tanah Abang. Dalam adu mulut, si Polisi sempat salah
ujar, dia bilang kasus itu adalah perdata. Karuan aku sewot, dan
menantang buka buku hukum yang ia miliki. Jengkel dengan sikap keberatan
menerima laporan, bergegas aku ke Polsek Tanah Abang.
Prosesnya jauh lebih menggelikan…
Seperti
di pingpong —tapi jauh lebih berat dari itu, karena biasanya orang main
tenis meja di cuaca cerah, sementara aku dipermainkan dalam kondisi
gerimis rinyai, kacamata pun buram kena tetes air.
Permintaanku
—setelah lelah berupaya, tersisa ringan saja. Minta bukti bahwa aku
mengalami peristiwa kriminal. Niat yang berkobar adalah mengejar bis
Kopaja itu. Lantaran ingat persis tampang para pencolengnya. Sekalian
membantu polisi memperoleh informasi. Mereka, para polisi muda, seperti
teramat sangat keberatan sekali. Malah, ke bagian penyidik pun dibuat
rumit. Katanya aku harus bawa buku, atau lembar bukti bahwa barang yang
hilang adalah milik aku. Konyol betul…
HP
yang raib, Nokia Lumia dan Samsung (pemberian teman), jelas-jelas
berisi segala hal tentang aku. Mudah untuk membuktikan kepemilikan
—itupun kalau si copet tertangkap, dan barang bukti masih ada. Lalu,
bagaimana kalau yang hilang adalah uang atau benda berharga yang tak ada
bukti otentik? Dasar…
Maghrib
tiba. Istirahat. Batin lalu bersuara lain. Sudahlah tentang HP. Malah
penasaran menguji kinerja dan ketangkasan gerak cepat para polisi —yang
sering digembar-gemborkan itu.
Bagaimana
kawanan pencopet itu jera, jika ada korban yang aktif sekalipun polisi
diam saja. Padahal aku siap segalanya. Jujur, ke luar uang pun aku
sanggup, karena masih penasaran ingin mengejar dan tanya kanan kiri.
Yang aku lakukan seperti test case. Selama ini orang hanya bermain opini, bahwa kalau hilang kambing lalu lapor polisi, maka ujungnya akan kehilangan kerbau…
Santainya
itu yang tak tahan. Di Polsek Tanah Abang itu, aku seperti berada di
Kantor Partai Politik yang kepengrusannya baru dilantik. Semua serba
bagus, tapi tak jelas kerja apa…
Padahal
berkali-kali aku menjelaskan, bukan semata HP yang hilang. Tapi ingin
terlibat dan membantu polisi mengurai kejahatan rutin ini. Dalam
obrolan, mereka kerap menyebut ini jaringan dari suku A, suku B, di
trayek A, di trayek B. Lalu mengapa tak digulung?
Inginnya sih, seperti di pilem televisi.
Ada respon sigap. Kerjasama padu. Lebih-lebih seperti tak ada faktor
ruwet di situ. Ada sejumlah saksi yang bisa ditanyai, kondektur, sopir,
atau para penumpang. Seberapa cepat sih, lari Kopaja di kemacetan
Jakarta…
Pasti
para pelaku sudah kabur, namun sangat bisa dilakukan pengumpulan bukti,
identifikasi, analisis, dan entah apalagi. Bukan menolak pelapor.
Mereka hanya mau menerima laporan kalau aku bawa bukti bahwa barang yang
hilang adalah milik aku sendiri.
Saking mengkel, aku
tertawa sinis. Pak Polisi, saya ini tinggal di Balaraja, Tangerang.
Paling cepat dua jam baru tiba di rumah, dan dua jam lagi bisa kembali…
Mereka
tetap ber-apologi, katanya sudah prosedur. Baiklah, kata saya, bisa
saya diberi bukti tertulis tentang prosedur seperti itu. Semua terdiam…
Lunglai
sudah. Tekad untuk terus berupaya terkikis runtuh. Walau itu juga
terbayar dengan pembuktian. Betapa kinerja para polisi yang masih muda
itu seperti melawan gerak zaman.
Setahu saya, ilmu
kriminologi sudah kian maju. Jaringan kerja kepolisian sudah tersebar.
Distribusi informasi juga pasti sudah canggih. Tapi “senjata tak akan
berguna kalau hanya disimpan di bawah meja.”
Mereka,
para Polisi muda di depan saya itu, membisu dikala harus bicara, diam
di saat harus gerak. Kontras dengan gaya hidup yang bisa dilihat di
kanan kiri. Di kampung, kawan-kawan polisi muda sudah sanggup nongkrong
dengan Toyota Vios, padahal saban hari gila kode buntut. Perangkat
teknologi pun sudah makanan harian mereka. Jadi ingat keseharian kawan
di kampung yang digarong puluhan juta, lalu oleh polisi dibisiki agar
tak gembar-gembor ke media. Hasilnya, tak setetes informasi
(perkembangan) pun yang diterima.
Hari
ini saya tak lagi bermain opini. Karena mengalami langsung kawan-kawan
kita, para polisi muda itu, yang seperti politisi. Bicara tanpa
argumentasi. Berbuat (hanya karena) sesuatu yang akan menguntungkan. Para pencopet di Jakarta, selamat, Anda bebas merdeka…
Sumber : Detik.com
0 Response to "Para Polisi Muda dan Copet yang Merdeka"
Posting Komentar