Korupsi Kolusi Nepotisme ( KKN )










Akhir-akhir ini di semua media,baik media massa maupun elektronik
menyoroti sepak terjang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi ),namun pernah ngga
sih

kita berfikir apa arti spyle=”text-align:justify;”>Sering kita mendengar dan
membaca di mediaesifik dari KKN itu sendiri? Nah, aq dapat pengertiaan nih dari
yahoo answer..


Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere =
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency
International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun
pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik
yang dipercayakan kepada mereka.


Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar
mencakup unsur-unsur sbb:

perbuatan melawan hukum;

penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;

memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;


merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;


Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang
lain, diantaranya:

memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);

penggelapan dalam jabatan;

pemerasan dalam jabatan;

ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);

menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).


Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk
pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi
berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan
dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat
yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang
arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak
jujur pun tidak ada sama sekali.


Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk
sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan
kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi,
korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari m


asalah ini dan membuat
solusinya, sangat


penting untuk membedakan antara korupsi dan
kriminalitas|kejahatan.


Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan
antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai
politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat
lain.



Kolusi

Di dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam satu bidang industri
disaat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka
bersama. Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana
keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan
mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi
berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi.


kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat
kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang
diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar
segala urusannya menjadi lancar



Nepotisme

Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan
hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam
konteks derogatori.


Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan
jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun
bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar
biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah
berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.


Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti
“keponakan” atau “cucu”. Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katholik dan
uskup- yang telah mengambil janji “chastity” , sehingga biasanya tidak
mempunyai anak kandung – memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya
seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat
keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut
digunakan untuk melanjutkan


“dinasti” kepausan.
Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya
menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya
kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI.
Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya,
menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III. Paul juga melakukan
nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun)
sebagai Kardinal. Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius
XII yang mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet pontificem pada tahun 1692.
Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah
milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan pengecualian bahwa
seseorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal.


KORUPSI, KOLUSI DAN
NEPOTISME REFLEKSI DARI KETIDAKTERTIBAN SOSIAL


Bagaimana bila suatu
saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal
meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan
saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan
pemberan


Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis
dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi.
Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan
aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif).






Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak menimpa para pejabat, baik
dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya
mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak
tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga
melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati,
mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang
diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan
tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan
tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang
begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara korupsi di negara yang
berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satu
cita-cita reformasi.



Mundurnya presiden Soeharto dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun menjadi
langkah awal dari reformasi disegala bidang baik itu ekonomi, politik, hukum,
sosial dan budaya serta yang terpenting adalah pintu demokrasi harus dibuka
lebar-lebar dengan harapan bangsa ini akan memiliki masa depan yang lebih baik.
Namun sayang impian itu tidak sepenuhnya terpenuhi, lamban bahkan sebagian
kebobrokan itu menjadi meningkat drastis secara kualitas maupun kuantitasnya.
Salahsatu bagian dari kebobrokan itu adalah praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN). Praktek KKN ini merupakan salahsatu penyakit akut yang terjadi
dimasa orde baru yang mengakibatkan sistem ekonomi, politik, kekuasaan dan
lapisan birokrasi berasaskan kekeluargaan yaitu kekuasaan hanya berputar pada
kalangan terbatas saja yaitu anggota keluarga dan teman dekat saja.



Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan
keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi
khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Harapan terhadap produk-produk hukum
diatas adalah praktek Korupsi sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan
uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi
suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang
diharapkan. Beberapa kasus korupsi dimasa orde baru ada yang sampai kemeja
hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang
dipetieskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara perkaranya
(BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian
timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah
sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang
perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau
disebut jalan ditempat.



Beberapa kasus besar memang telah sampai pada putusan pemidanaan dan
berkekuatan hukum tetap. Tapi perkara korupsi ini bukanlah monopoli dari
kalangan elit tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang
ditimbulkan sedikit. Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat mereka
bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan
kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang
berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan
dan bukan pencegahan (preventif). Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum
tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi
suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas
sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan
yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi semakin
meningkat. Indonesia merupakan negara yang berprestasi dalam hal korupsi dan
negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini.



Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam
slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada.
Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah
barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan
nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang
terkait dengan hal itu.



Muncul pertanyaan apakah dimasukannya dua tindak pidana tadi hanya sebagai
produk untuk memuaskan masyarakat saja? Atau memang bertujuan melakukan
pemberantasan terhadap kolusi dan nepotisme yang telah masuk kedalam stuktur
masyarakat dan struktur birokrasi kita? Kenapa UU No.28/1999 tidak berjalan
efektif dalam aplikasinya? Apakah ada error criminalitation? Padahal proses
pembuatan suatu undang-undang membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi
sia-sia bila tidak ada hasilnya. Dimana sebenarnya letak kesalahan yang membuat
tujuan tertib hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban hukum.



Dizaman dimana hukum positif berlaku dan memiliki prinsip asas legalitas yang
bertolak pada aturan tertulis membuat hukum dipandang sebagai engine solution
yang utama dalam mengatasi banyak permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun
dalam realitasnya ternyata hukum hanya sebagai obat penenang yang bersifat
sementara dan bukan merupakan upaya preventif serta bukan juga sebagai sesuatu
yang dapat merubah kebiasaan dan budaya negatif masyarakat yang menjadi
penyebab awal permasalahan.



Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena
adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak
dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil
cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat.
Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam
penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis
utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang
penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik
karena memungkinkan memutus matarantainya.



Praktek korupsi seakan menjadi penyakit menular yang tidak ditakuti seperti
halnya flu burung. Adakalanya disebabkan karena pemenuhan kebutuhan seperti
yang dilakukan oleh pegawai rendahan, tapi ada juga yang karena pengaruh budaya
materialistis menumpuk kekayaan seperti koruptor-koruptor dari kalangan pejabat
tinggi yang kehidupannya sudah lebih dari "mewah". Karena adanya
pemerataan korupsi maka tidak salah kalau orang mengatakan bahwa korupsi sudah
menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Artinya pokok permasalahan dari
korupsi adalah bagaimana pola pikir masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan
ekonomi ? Apakah dilatarbelakangi budaya materi dengan menumpuk kekayaan atau
secukupnya sesuai kebutuhan dan bila berlebih akan disalurkan bagi yang
membutuhkan sebagaimana ajaran agama dan etika moral.



Hal ini berarti bicara bagaimana pola tingkah laku, peresapan ajaran agama,
moralitas dan hal-hal lain yang mempengaruhi mental seseorang. Begitu pula
halnya dengan kolusi dan nepotisme yang akar permasalahannya terletak pada
kekalahan dari idealisme sosial yang berisi nilai-nilai yang dapat menciptakan
keteraturan dalam masyarakat. Kolusi dan nepotisme telah menjadi kebiasaan
dalam struktural masyarakat kita. Hal ini bisa kita amati dalam kehidupan
sehari-hari. Pekerjaan merupakan barang yang mahal saat ini. Tapi untuk
sebagian orang yang melewati jalan belakang ini sangatlah mudah. Misalnya cukup
dengan membayar sejumlah uang dalam jumlah besar atau dengan membawa surat
sakti dari "orang kuat" atau melobi keluarga dekat yang berada dalam
struktur lapangan kerja yang diinginkan. Bila ini diimbangi dengan kualitas
yang bagus tidak masalah, walaupun rasa keadilan tetap masih ternodai. Tapi
kalau kualitasnya jelek, ini sama saja dengan menempatkan orang yang bukan
ahlinya yang kelak justru akan menambah pada kehancuran. Parahnya hal ini
seakan telah menjadi prosedural bukan saja diinstitusi swasta tapi juga di
pemerintahan.



Pertanyaan berikutnya, apa ada jaminan pelaku tersebut dijerat oleh hukum? Atau
justru lepas dan ia akan terus membina kondisi ini dan akan terjadi regenerasi
terus-menerus. Lalu apakah masyarakat akan menentang jalur-jalur belakang ini
atau justru lahir sikap pembiaran karena ternyata juga telah menjadi bagian
dalam kehidupan masyarakat saat ini. Jadi jelaslah bahwa upaya preventif dari
pemberantasan KKN adalah dengan menciptakan tertib sosial dalam arti adanya
tertib nilai-nilai yang harus diaplikasikan dalam struktur masyarakat. Dengan
berubahnya pola tingkahlaku yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan, agama dan
etika moral akan lebih efektif dibandingkan hanya dengan aplikasi Undang-undang
saja. Jadi perlu adanya keseimbangan antara tertib sosial dan tertib hukum
untuk dapat mencapai reformasi yang mensejahterakan masyarakat.




Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Korupsi Kolusi Nepotisme ( KKN )"

Posting Komentar