Makalah Teori Anomie jika dihubungkan dengan Kejahatan Bunuh Diri
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 . Latar Belakang Masalah
Durkheim adalah seorang ahli sosiologi yang meletakan dasar-dasar sosiologi modern. Ia menulis berbagai macam metode sosiologi, tentang pengetahuan tentang sosiologi agama, tentang pembagian kerja dan bunuh diri, tentang pendidikan dan moral, dan tentang sosialisme. Berbagai macam yang berhubungan dengan masalah sosial selalu muncul di dalam karyanya.
Satu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan cara melihat bagaimana fungsi komponen yang ada di dalam suatu masyarakat dimana hubungan tersebut saling berhubungan satu sama lain. Jika masyarakat itu stabil, bagian-bagianya beroprasi lancar,maka susunan-susunan sosial berfungsi, dimana masyarakat tersebut ditandai oleh kepaduan, kerjasama, dan kesepakatan. Tetapi apabila ternyata bagian-bagian dari masyarakat tersebut berada dalam suatu keadaan yang membahayakan ketertiban sosial, maka susunan masyarakat seperti itu disebut dysfunctional (tidak berfungsi).
Durkheim berfikiran bahwa suatu kejahatan yang ada didalam masyarakat tidak terletak pada diri si indiviu, tetapi terletak pada kelompok dan organisasi sosial yang kemudian dikenal dengan istlah anomie (hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat dari hilangnya patokan dan nilai-nilai).
Sebuah masyarakat sederhana yang berkembang menuju masyarakat yang modern dan kota kedekatan (intimacy) yang dibutuhkan untuk melanjutkan satu set norma-norma umum (a common set of rules) akan merosot. Dimana kelompok masyarakat berada didalam kondisi dalam ketiadaan satu set aturan-aturan umum, yang tindakan antara satu dengan tindakan yang lainya saling bertabrakan bahkan bertentangan dengan tindakan dan harapan orang lain. Dengan tidak dapat diprediksinya sistem tersebut akan runtuh secara bertahap, dan masyarakat akan berada di dalam suatu kondisi yang anomi.
1.2 Idenifikasi dan Rumusan Masalah
a. Bagaimana fakta sosial, karakteristik, dan metode pengamatan fakta sosial menurut Durkheim?
b. Bagaimana pengertian kesadaran kolektif menurut Durkheim?
c. Bagaimana teori bunuh diri dan jenis-jenis bunuh diri menurut teori Durkheim?
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui bagaimana fakta sosial, karakteristik, dan metode pengamatan fakta sosial menurut Durkheim, bagaimana pengertian kesadaran kolektif menurut Durkheim, bagaimana teori bunuh diri dan jenis-jenis bunuh diri menurut teori Durkheim dan bagaimana teori bunuh diri dan jenis-jenis bunuh diri menurut teori Durkheim.
1.4 Manfaat Kegunaan Penulisan
Agar kita dapat mengetahui bagaimana fakta sosial, karakteristik, dan metode pengamatan fakta sosial menurut Durkheim, bagaimana pengertian kesadaran kolektif menurut Durkheim, bagaimana teori bunuh diri dan jenis-jenis bunuh diri menurut teori Durkheim dan bagaimana teori bunuh diri dan jenis-jenis bunuh diri menurut teori Durkheim
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Fakta sosial, karakteristik, dan metode pengamatan fakta sosial menurut Durkheim
1. Pengertian Fakta Sosial
Fakta sosial didefinisikan oleh Durkheim sebagai cara-cara bertindak, berfikir, dan merasa yang ada diluar individu dan yang memiliki daya paksa atas dirinya. Dalam arti lain, yang dimaksudkan adalah pengalaman umum manusia. Pengertian fakta sosial meliputi suatu spectrum gejala-gejala sosial. Yang terdapat bukan saja cara-cara bertindak dan berfikir melainkan juga cara-cara berada, yaitu fakta-fakta sosial morfologis, seperti bentuk permukiman, pola jalan-jalan, pembagian tanah, dan sebagainya.
Fakta sosial menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
1. Dalam bentuk material. Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial yang berbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata. Contohnya arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non material. Yaitu sesuatu yang dianggap nyata. Fakta sosial jenis ini merupakan fenomena yang bersifat inter subjective yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia. Contohnya adalah egoisme, altruisme, dan opini.
2. Karakteristik Fakta Sosial
Bagaimana gejala sosial itu benar-benar dapat dibedakan dari gejala yang benar-benar individual (psikologis) Durkheim mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik fakta sosial, yaitu :
1. Gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu. Individu sejak awalnya mengkonfrontasikan fakta sosial itu sebagai suatu kenyataan eksternal. Hampir setiap orang sudah mengalami hidup dalam satu situasi sosial yang baru, mungkin sebagai anggota baru dari suatu organisasi, dan pernah merasakan adanya norma serta kebiasaan yang sedang diamati yang tidak ditangkap/ dimengertinya secara penuh. Dalam situasi serupa itu, kebiasaan dan norma ini jelas dilihat sebagai sesuatu yang eksternal.
2. Fakta itu memaksa individu. Individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh pelbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Seperti Durkheim katakan : Tipe perilaku atau berfikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri. Ini tidak berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negatif atau membatasi atau memaksa seseorang untuk berprilaku yang bertentangan dengan kemauannya kalau sosialisasi itu berhasil, sehingga perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan dengan kemauan individu.
3. Fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat, Dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama bukan sifat individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil dari penjumlahan beberapa fakta individu. Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini.
3. Metode Pengamatan Fakta Sosial
Durkheim dalam bukunya yang berjudul “The Rules Of Sosiological Method” memberikan dasar-dasar metodologi dalam sosiologi. Salah satu prinsip dasar yang ditekankan Durkheim adalah bahwa fakta sosial harus dijelaskan dalam hubungannya dengan fakta sosial lainnya. Ini adalah asas pokok yang mutlak. Kemungkinan lain yang besar untuk menjelaskan fakta sosial adalah menghubungkannya dengan gejala individu (seperti kemauan, kesadaran, kepentingan pribadi individu, dan seterusnya) seperti yang dikemukakan oleh ahli ekonomi klasik dan oleh Spencer.
Prinsip dasar yang kedua (dan salah satu yang fundamental dalam fungsionalisme modern) adalah bahwa asal-usul suatu gejala sosial dan fungsi-fungsinya merupakan dua masalah yang terpisah. Seperti ditulis Durkheim “Lalu apabila penjelasan mengenai suatu gejala sosial diberikan kita harus memisahkan sebab yang mengakibatkannya (efficient cause) yang menghasilkan gejala itu, dan fungsi yang dijalankannya. Sesudah menentukan bahwa penjelasan tentang fakta sosial harus dicari di dalam fakta sosial lainnya, Durkheim memberikan strategi tentang perbandingan terkendali sebagai metoda yang paling cocok untuk mengembangkan penjelasan kausal dalam sosiologi.
Metoda perbandingan Durkheim lebih ketat dan terbatas. Pada intinya, metoda perbandingan terkendali itu meliputi klasifikasi silang dari fakta sosial tertentu untuk menentukan sejauh mana mereka berhubungan. Kalau korelasi antara dua himpunan fakta sosial dapat ditunjukkan sebagai valid dalam pelbagai macam keadaan, hal ini memberi satu petunjuk penting bahwa tipe fakta itu mungkin berhubungan secara kausal. Artinya, variasi dalam nilai dari satu tipe variable mungkin merupakan sebab dari variasi dalam nilai variable yang kedua.
2.1 Kesadaran kolektif menurut Durkheim
Kesadaran kolektif dapat memberikan dasar moral yang tidak bersifat kontraktual yang mendasari hubungan kontraktual. Dalam benak Durkheim, kesadaran kolektif yang mendasar ini diabaikan oleh ahli teori seperti Spencer, yang melihat dasar fundamental dari keteraturan sosial ini dalam hubungan-hubungan yang bersifat kontraktual. Kesadaran kolektif juga ada dalam bentuk yang lebih terbatas dalam pelbagai kelompok khusus dalam masyarakat.
Durkheim juga menekankan pentingnya kesadaran kolektif bersama yang mungkin ada dalam pelbagai kelompok pekerjaan dan profesi. Keserupaan dalam kegiatan dan kepentingan pekerjaan memperlihatkan suatu homogenitas internal yang memungkinkan berkembangnya kebiasaan, kepercayaan, perasaan, dan prinsip moral dan kode etik bersama. Akibatnya, anggota kelompok ini dibimbing dan dipaksa untuk berprilaku sama seperti anggota satu suku bangsa primitif dengan pembagian kerja yang rendah yang dibimbing dan dipaksa oleh kesadaran kolektif yang kuat. Durkheim merasa bahwa solidaritas mekanik dalam pelbagai kelompok pekerjaan dan profesi harus menjadi semakin penting begitu pembagian pekerjaan meluas, sebagi satu alat perantara yang penting antara individu dan masyarakat secara keseluruhannya.
2.2 Teori bunuh diri dan jenis-jenis bunuh diri menurut teori Durkheim
Selain konsepsinya tentang solidaritas mekanis organis, Durkheim sangat terkenal dengan studinya tentang kecenderungan orang untuk melakukan bunuh diri. Dalam bukunya yang kedua, Suicide dikemukakan dengan jelas hubungan antara pengaruh integrasi social terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Durkheim dengan tegas menolak anggapan lama bahwa penyebab bunuh diri yang disebabkan oleh penyakit kejiwaan sebagaimana teori-teori psikologi mengatakannya. Dia juga menolak anggapan Gabriel Tarde bahwa bunuh diri akibat imitasi. Durkheim juga menolak teori yang menghubungkan bunuh diri dengan alkoholisme. Durkheim menolak teori bunuh diri karena kemiskinan, kenyataan orang-orang lapisan atas tingkat bunuh dirinya lebih tinggi dibandingkan orang-orang dari lapisan atas. Dari hasil penelitiannya Negara-negara miskin seperti Italia dan Spanyol justru memiliki angka bunuh diri yang lebih rendah dibandingkan dengan Negara-negara Eropa yang lebih makmur seperti Perancis dan Jerman.
Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sara penelitian dengan menghubungkannya dengan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat. Untuk membuktikan teorinya, Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam masyarakat, yaitu kesatuan agama, keluarga dan kesatuan politik.
Dalam kesatuan agama, Durkheim membuat kesimpulan bahwa penganut-penganut agama Protestan mempunyai kecenderungan lebih besar untuk melakukan bunuh diri dibandingkan dengan penganut agama Katholik.Hal ini dikarenakan perbedaan derajat integrasi sosial di antara penganut agama Katolik dengan Protestan. Penganut agama Protestan memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar untuk mencari sendiri hakekat ajaran-ajaran kitab suci. Pada agama Katolik tafsir agama lebih ditentukan oleh para pater. Oleh karena itu kepercayaan bersama dari penganut Protestan menjadi berkurang, hingga sekarang ini terdapat banyak gereja (sekte-sekte). Integrasi yang rendah dari penganut agama protestan itulah yang menyebabkan angka laju bunuh diri dari penganut ajaran ini lebih besar dibandingkan dengan penganut ajaran Katolik.
Dalam kesatuan keluarga, Durkheim menunjukkan bahwa angka laju bunuh diri lebih banyak terdapat pada orang-orang yang tidak kawin daripada mereka yang sudah kawin. Kesatuan keluarga yang lebih besar umumnya terintegrasi mengikat anggota-anggotanya untuk saling membantu.
Dalam kesatuan politik, Durkeim menyebutkan bahwa dalam keadaan damai, golongan militer ummunya lebih besar kecenderungan bunuh dirinya dibandingkan golongan masyarakat sipil. Sedangkan dalam suasana perang, golongan militer justru lebih sedikit melakukan bunuh diri bila dibandingkan golongan sipil karena mereka lebih terintegrasi dengan baik (disiplin keras). Dalam situasi perang justru kecenderungan bunuh diri lebih rendah dibandingkan situasi damai. Dalam masa revolusi/pergolakan politik, anggota-anggota masyarakat justru lebih terintgrasi dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Durkheim mendefinisikan bunuh diri sebagai setiap kematian yang merupakan akibat langsung atau tidak langsung dari suatu perbuatan positif atau negatif oleh korban itu sendiri, yang mengetahui bahwa perbuatan itu akan berakibat seperti itu. Definisi itu terlampau luas, sebab didalamnya juga termasuk kematian para prajurit yang mengajukan dirinya untuk melaksanakan tugas yang sukar, ataupun kematian seorang ayah yang ingin menyelamatkan anaknya dari arus kencang yang bergolak. Hal ini akan berakibat negatif dalam penalaran seperti yang akan ternyata kemudian.
Durkheim membagi bunuh diri dalam beberapa jenis yaitu :
- Bunuh diri egoistis (egoistic suicide) Yaitu yang merupakan akibat dari kurangnya integrasi dalam kelompok. Misalnya, lebih banyak orang Protestan yang bunuh diri dari pada orang Katolik. Sebab orang Katolik lebih terikat pada komunitas keagamaan sedangkan dalam Protestan terdapat anjuran yang kuat untuk bertanggung jawab secara individual. Kenyataan ini dinyatakan secara tepat sekali di dalam rumusan bahwa seorang Protestan dipaksa untuk bebas.
- Bunuh diri anomi (anomie suicide). Anomi adalah suatu situasi dimana terjadi suatu keadaan tanpa aturan, dimana kesadaran kolektif tidak berfungsi. Jenis bunuh diri ini terjadi dalam waktu krisis dan bukannya krisis ekonomi saja. Bunuh diri ini juga terjadi bilamana sekonyong-konyong terjadi kemajuan yang tidak terduga.
- Altruistic Suicide, adalah bunuh diri karena merasa dirinya menjadi beban masyarakat. Bunuh diri ini sifatnya tidak menuntut hak, sebaliknya memandang bunuh diri itu sebagai suatu kewajiban yang dibebankan oleh masyarakat. Contoh : Harakiri orang jepang.
- Bunuh diri Fatalistik. Merupakan lawan dari bunuh diri anomi, dan yang timbul dari pengaturan kelakuan secara berlebih-lebihan, misalnya dalam rezim yang sangat keras dan otoriter.
BAB III
KESIMPULAN
Durkheim adalah seorang ahli sosiologi yang meletakan dasar-dasar sosiologi modern. Ia menulis berbagai macam metode sosiologi, tentang pengetahuan tentang sosiologi agama, tentang pembagian kerja dan bunuh diri, tentang pendidikan dan moral, dan tentang sosialisme.
Durkheim berfikiran bahwa suatu kejahatan yang ada didalam masyarakat tidak terletak pada diri si indiviu, tetapi terletak pada kelompok dan organisasi sosial yang kemudian dikenal dengan istlah anomie (hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat dari hilangnya patokan dan nilai-nilai).
DAFTAR PUSTAKA
http://as-sosunila.blogspot.com/2012/05/sumbangan-pemikiran-sosiologi-dari.html
Atmasasmita, Romli. 1992. Teori dan Kapita Selekta. Bandung : PT Refika Aditama
Santoso, Topo, S.H. 2011. Kriminologi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
0 Response to "Makalah Teori Anomie jika dihubungkan dengan Kejahatan Bunuh Diri "
Posting Komentar