Sejarah Pemberlakuan Hukum Pidana
Sejarah Pemberlakuan
Hukum Pidana di Indonesia
Sebelum
kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596,
orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum
pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya
diberlakukan di wilayah adat tertentu. Hukum adat tidak mengenal adanya
pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat).2
Pemisahan yang tegas
antara hukum perdata
yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari
sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.3 Dalam ketentuannya,
persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh
aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu.
Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang
dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai
contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental
dengan nilai-nilai hukum Islamnya. Begitu juga hukum pidana adat Bali yang
sangat terpengaruh oleh ajaranajaran
Hindu. Di samping hukum
pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas
penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat
tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai
hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan
kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana
di wilayah yang bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara,
hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga
dapat dibaca oleh halayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara
Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana
adat Sumatera Selatan,5 dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.
Masa
pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke
wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan
pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adala
kongsi dagang Belanda yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh
pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General
yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang,
mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang.
Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah
jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan,
VOC memaksakan aturanaturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang
pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat,
tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan,
plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat
diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi.
Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali
peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai
Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.7 Pada tahun
1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru.
Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi
orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
peraturan-peraturan lain. Walaupun statute tersebut berisi kumpulan
peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena
belum tersusun secara sistematis.
Dalam perkembangannya,
salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan
kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan
adat.8 Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan
beberapa hal, antara lain: i) sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana
adat tidak memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati peraturan
peraturan; ii) sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu menyelesaikan
perkara pidana yang terjadi karena permasalahan alat bukti; dan iii) adanya
perbedaan pemahaman mengena kejahatan dan pelanggaran antara hukum pidana adat
dengan hukum pidana yang dibawa VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang
menurut hukum pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut pendapat
VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu dipidana yan setimpal.9
Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah terbentuknya Pepakem
Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon
itu berisi antara lain mengenai system pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar,
dirantai, dan lain sebagainya. Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan
mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam. Pada
tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh
pemerintah Belanda da pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris Gubernur
Jenderal Raflles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah
koloni Inggris di Nusantara tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum
yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat.
sebagai diketahui daari
tahun 1811 sampai tahun 1814 indonesia pernah jatuh dari tangan belanda ke
tangan inggris. Berdasarkan konprensi London 13 agustus 1814, maka bekas
colonial belanda di kembalikan kepada belanda. Pemerintah inggris di terima kepada komisaris jendral yang di kirim
dari belanda dengan regering regalement 1815 dengan tambahan ( super toire
instructive 23 september 1815) maka hukum dasar pemerintah colonial tercipta
agar tida terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19 agustus
1816 stbl. 1816 nomor 5 yang menyatakan bahwa untuk sementara waktu semua
peraturan peraturan bekas pepmerintahan ingris tetap di pertahankan,pada umunya
berlaku status betawi yang baru dan
hukum priibuumi hukum adat pidana masih di akui asal tidak bertentangan
denganasas-asas hukum yang diakui dan perintah-perintah begitu pula undang=undang
dari pemerintah
kepada bangsa Indonesia
berlaku pidana berupa kerja paksa di perkebunann yayng di dasarkan pada stbl.
1828 nomor 16 mereka di bagi atas dua golongan yaitu;
1. Yang
di pidan adengan rantai
2. Yang
di pidana kerja paksa
Yang terdiri atas yang
di beri upah dan yang tidak di beri upah dalam perakteknya, pidanan kerja paksa
dikenakan dengan tiga cara yaitu;
1. Kerja
paksa dengan di rantai dan dengan pembuangan
2. Kerja
paksa dengan di rantai tetapi tidak di buang
3. Kerja
paksa tanpa di rantai tetapi di buang
Dengan sendirinya
peraturan terdahulu itu berlaku lagi
KUHp yang berlaku bag
golongan eropa tersebut adalah salinan dari kode penal yang berlaku di negeri
belanda tetapi berbeda dari sumbernya tersebut,
yang berlaku di indoonesia hanya berlaku
buku sedangkan code penal terdiri atas 4 buku
KUHP yang berlaku bagi
golongan bumiputra juga saluran dari KUHP yang berlaku di golongan eropatetapi
di beri sangsi lebih berat sammpai pada KUHP 1918 pun, pidananya lebih berat
dari pada KUHP belanda 1886
Oleh karena itu, perlu
pula d tinjaw secara sekilas lintas perkembangann kodipikasi di negeri belanda
Pada masa pendudukan
Jepang selama 3,5 tahun, pad hakekatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah
Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara
Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Beland dahulu dengan
dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer
Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang
tersebut menyebutka bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan
undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu,
asalkan tidak bertentangan denga pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka
dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk
hukum pidananya, masih tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan
pada Pasal 131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum
pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan
dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada
dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang
telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun
Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei
Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei
Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.
Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia
Belanda. Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena
wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa
militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan
Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat
di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta.
Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat
perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.13
Masa
pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum
Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu
pertama masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah
Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia
Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950),
dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945.
a. Tahun 1945-1949
Dengan
diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17
Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain
itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial
menjadi sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya,
dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam
penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-cita bahwa
proklamasi adalah awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem
tata hukum nasional bukanlah
hal yang mudah dan
secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum
nasional perlu pembicaraan yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih
lama dari pada sekedarmemproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Oleh
karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukum
nasional belum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II
Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini. Ketentuan
ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan
negara adalah peraturan-peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa
Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru,
segala peraturan hukum yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan
diberlakukan sementara. Hal ini juga berarti funding fathers bangsa Indonesia
mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata hukum colonial
menjadi tata hukum nasional. Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali
mengeluarkan kembali Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tangal 10 Oktober
1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu: Pasal 1 : Segala badan-badan negara
dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang baru menurut Undang Undang
Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan dengan Undang
Undang Dasar tersebut. Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus
1945. Sekilas ini Penpres ini hampir sama dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945, namun dalam Penpres ini dengan tegas dinyatakan tanggal pembatasan yaitu
17 Agustus 1945. Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan colonial
sebagai hukum pidana positif di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebut secara tegas
menyatakan: Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Preside Republik Indonesia
tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum
pidana yang berlaku sekarang adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada
pada tanggal 8 Maret 1942. Dengan titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan
Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti semua peraturan hukum
pidana yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang dikeluarkan oleh
panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA) setelah Segala perubahan membawa konsekuensi bahwa isi
kehendak itu perlu diubah. Ketentuan-ketentuan hukum positif yang pernah
berlaku di Indonesia, seperti Indische Staatregeling, Algemen Bepalingen van
Wetgeving, Burgerlijk Wetboek, Wetboek van Koophandel, Wetboek van Strafrecht
dan segala peraturan yang dikeluarkan pada masa penjajahan, dengan adanya
proklamasi kemerdekaan dituntut penggantiannya secara tepat dan cepat.
Oleh karena itu maka
ditetapkan segera landasan tata hukum yang baru, yaitu Undang Undang Dasar
1945. Lihat selanjutnya dalam Moh. Koesnoe, "Pokok Permasalahan
Hukum Dewasa Ini",
dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, (Jakarta:
Rajawali, 1986), p. 100. 15 K. Wantjik Saleh, Pelengkap KUHP: Perubahan KUH
Pidana dan UU Pidana Sampai dengan Akhir 1980, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1981), p. 25. tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2
undangundang
tersebut juga
dinyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana
yang dikeluarkan
panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dicabut. Pasal 2 ini diperlukan
karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara Hindia
Belanda mengeluarkan Verordeningen van het militer gezag. Secara lengkap bunyi
Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah nsebagai berikut. Semua peraturan hukum
pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi
bala tentara Hindia
Belanda dulu (Verordeningen van het militer gezag) dicabut.16 Pemberlakuan
hukum pidana Indonesia dengan ditetapkannya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawab persoalan. Kenyataan ini disebabkan
karena perjuangan fisik bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai.
Secara de jure memang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang
merdeka, namun secara
de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja berkelanjutan. Melalui
aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun negara-negara boneka yang
berhasil dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi kolonialismenya
di Indonesia. Bahkan pada tanggal 22 September 1945, Belanda mengeluarkan
kembali aturan pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van
Strafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum Pidana)
dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlaku
tanggal 7 Oktober 1945.
Ketentuan ini antara lain mengatur tentang diperberatnya ancaman pidana untuk
tindak pidana yang menyangkut ketatanegaraan, keamanan dan ketertiban,
perluasan daerah berlakunya pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta dibekukannya
Pasal 1 KUHP agar peraturan ini dapat berlaku surut. Nampak jelas bahwa maksud
ketentuan ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan. Dengan adanya dua peraturan
hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia oleh dua “penguasa” yang bermusuhan
ini, maka munculah dua hukum pidana yang diberlakukan bersama-sama di
Indonesia. Oleh para ahli hukum pidana, adanya dua hukum pidana ini disebut
masa dualisme
KUHP.17
b. Tahun 1949-1950
Tahun 1949-1950 negara
Indonesia menjadi negara serikat, sebagai konsekuensi atas syarat pengakuan
kemerdekaan dari negara Belanda. Dengan perubahan bentuk negara ini, maka UUD
1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia
Serikat. Sebagai aturan peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan: Peraturan-peraturan
undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat
Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikat sendiri,
selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut,
ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuanketentuan tata usaha atas
kuasa Konstitusi ini. Dengan adanya
ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama
dengan dahulu, yaitu Wetboek van Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2)
UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Namun demikian permasalahan dualisme KUHP yang muncul setelah Belanda dating kembali
ke Indonesia setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung pada masa ini.
c. Tahun 1950-1959
Setelah negara
Indonesia menjadi negara yang berbentuk Negara serikat selama 7 bulan 16 hari,
sebagai trik politik agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, maka pada
tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara republik-kesatuan.
Dengan perubahan ini, maka konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti
dengan UUD Sementara. Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan
hukum pidana masa sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD
Sementara menyebutkan:
Peraturan-peraturan
undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17
Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan
dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekedar
peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah
oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang
Dasar ini.19
Dengan adanya ketentuan
Pasal 142 UUD Sementara ini maka
hukum pidana yang
berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek van
Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Namun demikian, permasalahan
dualime KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai akhir masa berlakunya UUD
Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya
UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah
Republik Indonesia dan Mengubah Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan
undang-undang tersebut dinyatakan:
“Adalah dirasakan
sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut UU
Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia (Staatblad 1915 Nomor
732 seperti beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak beralasan. Dengan
adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam Pasal 1
ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia.” Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan
di Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia.
d. Tahun 1959-sekarang
Setelah keluarnya
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah satunya berisi mengenai
berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Indonesia menjadi negara kesatuan
yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya. Oleh karena itu,
Pasal II Aturan Peralihan yang memberlakukan kembali aturan lama berlaku
kembali, termasuk di sini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia
dengan dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai sekarang. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesia telah mengalami empat
pergantian mengenai bentuk negara dan konstitusi, ternyata sumber utama hukum
pidana tidak mengalami perubahan, yaitu tetap pada Wetboek van Strafrecht
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana) walaupun pemberlakuannya tetap mendasarkan
diri pada ketentuan peralihan pada masing-masing konstitusi.
0 Response to "Sejarah Pemberlakuan Hukum Pidana "
Posting Komentar