Kriminologi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kejahatan sebagai salah satu bentuk problema sosial
merupakan sebuah kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap lapisan masyarakat.
Untuk menganalisa atau mengadakan diagnosa terhadap kejahatan-kejahatan yang
meningkat saat ini, belum dapat dilakukan, karena keadaan pengetahuan
kriminologi dewasa ini belum memungkinkan untuk tegas menentukan sebab, mengapa
orang melakukan kejahatan, sehingga hanya baru dapat dicari faktor-faktor yang
berkaitan dengan kondisi masyarakat tertentu pada masa tertentu pula, yang
berhubungan erat dengan timbulnya kejahatan. Menurut Walter Lunden,
faktor-faktor yang berperan dalam timbulnya kejahatan adalah sebagai berikut:
a. Gelombang urbanisasi
remaja dari desa ke kota-kota jumlahnya cukup besar dan sukar dicegah.
b. Terjadi konflik antar
norma adat pedesaan tradisional dengan normanorma baru yang tumbuh dalam
prosesdan pergeseran social yang cepat, terutama di kota-kota besar.
c. Memudarnya pola-pola
kepribadian individu yang terkait kuat pada pola kontrol sosial tradisionalnya,
sehingga anggota masyarakat terutama remajanya menghadapi “samarpola” untuk
melalukan prilakunya. Pelaku kejahatan tidak saja didominasi oleh orang-orang
dewasa, tetapi juga telah menjangkiti anak-anak yang sebenarnya menjadi harapan
bagi nusa dan bangsa sebagai penerus cita-cita dan perjuangan bangsa.
Pada awalnya, kenakalan remaja hanyalah merupakan
perilaku “nakal” dari kalangan remaja yang sering dikatakan sedang mencari
identitas diri. Kenakalan remaja yang demikian ini tidaklah menimbulkan
kekhawatiran dikalangan masyarakat luas (orang tua, guru, teman, dan masyarakat
umum), tetapi justru perilaku yang demikian itu dapat dipahami sebagai suatu
fase yang akan terjadi dan akan dialami oleh setiap orang, yang pada akhirnya
akan berlalu begitu saja oleh masyarakat luas. Saat ini, kenakalan remaja
tampaknya bukan lagi bersifat nakal, tidak lagi memperlihatkan ciri-ciri
kenakalannya tetapi sudah menjurus pada tindakan brutal seperti, perkelahian
antar kelompok, penggunaan narkotika/obat terlarang, perampasan, kebut-kebutan
di jalan raya tanpa aturan, penyimpangan-penyimpangan seksual, dan
tindakan-tindakan yang menjurus pada perbuatan kriminal. Penyebab utama
maraknya kenakalan remaja saat ini adalah karena kurangnya perhatian dan kasih
sayang orang tua. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh terlalu sibuknya kedua
orang tua mereka dengan pekerjaan, sehingga perhatian dan kasih sayang kepada
anaknya hanya diekspresikan dalam bentuk materi saja. Padahal materi tidak
dapat menggantikan dahaga mereka akan kasih sayang dan perhatian orang tua.
Pada dasarnya setiap orang menginginkan pengakuan, perhatian, pujian dan kasih
sayang dari lingkungannya, khususnya dari orang tua atau keluarga, karena
secara alamiah orang tua dan keluarga memiliki ikatan emosi yang sangat tiggi.
Dewasa ini kenakalan remaja yang sedang hangat
dibicarakan baik dari segi faktor penyebab dan cara penanggulangannya adalah
kenakalan remaja geng motor. Kelahiran geng motor, rata-rata diawali dari
kumpulan remaja yang hobi balapan liar dan aksi-aksi yang menantang bahaya pada
malam menjelang dini hari di jalan raya.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakah
yang menyebabkan terjadinya kejahatan ?
2.
Bagaimana
paradigma sebagai kejahatan kekerasan dalam perspektip teoritis ?
3.
Aspek-aspek
apa sajakah yang kejahatan kriminologi ?
C. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah :
1.
Memenuhi
tugas pada mata kuliah Kriminologi universitas Sekolah Tinggi Hukum Garut
2.
Sebagai
bahan literatur bagi pihak-pihak yang ingin kejahatan dari perspektip teoritis
3.
Sebagai
upaya memberikan sumbangan pemikiran dalam kaitannya dengan pengembangan
teori-teori kejahatan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengerian
Kriminologi
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari
kejahatan dari berbagai aspek. Kata kriminologis pertama kali dikemukakan oleh P. Topinard (1830-1911),
seorang ahli antropologi Perancis. Kriminologi terdiri dari dua suku kata yakni
kata“crime” yang
berarti kejahatan dan “logos” yang
berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan
Setiap
kejahatan yang pasti menimbulkan kerugian-kerugian baik bersifat ekonomis
materil maupun yang bersifat immateri yang menyangkut rasa aman dan tenteram
dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa kejahatan
merupakan tingkah laku yang anti sosial. Upaya untuk mengatasi kejahatan pun
dilakukan baik oleh para penegak hukum maupun oleh para ahli-ahli hukum dan
kriminologi.
Berbagai
Elemen yang ada hubungannya dengan suatu kejahatan dikaji dan dibahas secara
intensif seperti : para pelaku (daders), para korban, pembuat undang-undang dan
undang, penegak hukum, dan lain-lain. Dengan kata lain semua fenomena baik
maupun buruk yang dapat menimbulkan kriminilitas (faktor kriminogen)
diperhatikan dalam meninjau dan menganalisa terjadinya suatu kejahatan. Apabila
kita membicarakan mengenai kejahatan termasuk sebab-sebanya tentu tidak akan
terlepas dari ilmu kriminologi. Menurut Bonger mengatakan bahwa kriminologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan seluas-luasnya Dalam Teori
kriminologi sendiri kejahatan terbagi ke dalam tiga perspektif yaitu:
a. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif
Biologis dan Psikologis
b. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif
Sosiologis
c. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif lain
Namun dalam pembahasan kali ini kami hanya akan
menganalisis teradap teori kejahatan yang menjelaskan kejahatan dari perspektif
sosiologis, dihubungkan dengan perkembangan kejahatan yang terjadi dewasa ini.
B. Pengertian
Perspektif dan Paradigma
Perspektif adalah
susunan pengertian-pengertian atau makna secara sistematis tentang objek dan
kejadian, di mana perspektif ini mempengaruhi pengertian kita dalam melihat
dunia dan masalah-masalah di dalamnya. Perspektif merupakan suatu sudut pandang
kita dalam melihat realita yang ada sehingga perspektif memiliki cakupan ruang
yang begitu luas. Dan dalam melihat realita ini, akan timbul suatu pertanyaan
mengenai kebenaran dari realita tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
usaha untuk melakukan suatu penelusuran dan pencarian kebenaran (scientific
inquiry).
Penelusuran dan
pencarian kebenaran dari suatu realita yang memiliki sifat-sifat ilmiah ini
akan membentuk suatu perangkat pengertian-pengertian yang disebut sebagai
paradigma. Berbeda dengan perspektif, paradigma memiliki cakupan ruang yang
lebih sempit dan lebih khusus yang dianggap sebagai hasil dari studi suatu
kategori khusus gejala sosial (reaksi-reaksi sosial). Oleh karena itu,
paradigma lebih bersifat mendalam dan lebih bersifat teknis tentang suatu
gejala tertentu.
Meskipun memiliki
intisari yang berbeda, perspektif dan paradigma memiliki suatu persamaan dalam
hal memperhatikan dan memelihara prinsipnya, yakni dasar-dasar yang akan
mempengaruhi kesimpulan-kesimpulan yang akan ditarik dan penemuan baru yang
akan dibuat. Keduanya sama-sama memiliki fokus perhatian dalam menentukan
masalah dan pencarian solusi. Pemahaman kita dalam kehidupan sehari-hari
mengenai kejahatan dipengaruhi oleh perspektif-perspektif yang menerangkan
sifat-sifat umum dari suatu organisasi kemasyarakatan, terutama dalam hal
hubungan antara hukum dengan masyarakat.
Dalam penelusuran
dan pencarian kebenaran tentang kejahatan itu, seorang pakar kriminologi
dipengaruhi oleh paradigma-paradigma yang memperinci fokus dan metode yang
tepat bagi kriminologi, di mana penggunaan teori-teori kriminologi sebagai
landasan harus dibarengi dengan pemahaman tentang perspektif dan paradigma yang
mempengaruhinya sedangkan Pengertian Paradigma Secara etimologis paradigm
berarti model teori ilmu pengetahuan atau kerangka berpikir.
Sedangkan secara
terminologis paradigm berarti pandangan mendasar para ilmuan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu
pengetahuan. Jadi paradigm ilmu pengetahuan adalah model atau kerangka berpikir
beberapa komunitasilmuan tentang gejala-gejala dengan pendekatan fragmentarisme
yang cenderung terspesialisasi berdasarkan langkah-langkah ilmiah menurut
bidangnya masing-masing
C. Pengrtian
Kejahatan Menurut Para Ahli
Hampir setiap hari terjadi
tindakan kejahatan, baik di kota maupun desa seperti perampokan, pencurian,
pembunuhan, perampasan, dan lain sebagainya. Pada dasarnya kejahatan timbul
karena ada kesempatan dan niat dari pelakunya. Sehingga kita selalu dituntut
untuk waspada. Sebenarnya apa pengertian dari kejahatan itu?
Dalam hal ini akan dikemukakan pengertian kejahatan menurut pendapat
para ahli, antara lain :
1. Menurut Soesilo (Husein, 2003) ada dua
pengertian kejahatan, yaitu pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian
kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, kejahatan adalah suatu
perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari
segi sosiologis, kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain
merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya
keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
2. Menurut Bemmelem(Husein, 2003) kejahatan
merupakan suatu tindakan anti sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan
dalam masyarakat, sehingga dalam masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk
menentramkan masyarakat, Negara harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat.
3. Menurut Elliot (Husein, 2003) kejahatan
adalah suatu problem dalam masyarakat modem atau tingkah laku yang gagal dan
melanggar hukum dapat dijatuhi hukurnan penjara, hukuman mati dan hukuman denda
dan seterusnya.
4. Menurut Bonger (Husein, 2003) kejahatan
adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar
dari negara berupa pemberian penderitaan.
5. Menurut Moeliono (Husein, 2003) kejahatan
adalah perbuatan pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan atau patut
ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan yang merugikan, menjengkelkan sehingga
tidak boleh dibiarkan (negara bertindak).
6. Menurut Sahetapy dan Reksodiputro (Husein,
2003) kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan
penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian
dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh
sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti
sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum
yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.
D.
Teori Paradigma kriminologi sebagai kejahatan dalam
perspektif teoritis meliputi:
1. Teori Differential Association
Teori ini bertitik tolak atas tiga
teori : ecological and culter transmission theory, symbolic interactionism dan
culture conflict theory, Dari pengaruh teori teori tersebut, dapat disimpulkan
bahwa munculnya teori asosiasi differensial adalah didasarkan pada :
a)
Bahwa
setiap orang akan menerima dan mengakui pola pola perilaku yang dapat
dilaksanakan.
b)
Kegagalan
untuk mengikuti pola tingkah laku dapat menimbulkan inkonsistensi dan
ketidakharmonisan.
c)
Konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan
2. Teori Anomie : Emile Durkheim
Konsep
anomie sendiri adalah “Suatu keadaan, dimana dalam suatu masyarakat, tidak
adanya kesempatan, adanya perbedaan struktur kesempatan untuk mencapai sebuah
tujuan cita-cita. Kedua faktor inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi
frustasi, terjadinya konflik; adanya ketidakpuasan sesame individu, maka
semakin dekat dengan kondisi hancur berantakan yang tidak didasarkan kepada
norma yang berlaku, inilah A-nomie”
3.
Teori Kontrol Sosial
Perspektif control adalah perspektif yang terbatas untuk
penjelasan delinkuensi dan kejahatan. Teori ini meletakan penyebab kejahatan
pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat, atau
macetnya integrasi sosial. Kelompok yang lemah ikatan sosialnya cenderung
melanggar hukum karena merasa sedikit terikat dengan peraturan konvensional.
Manusia pada teori control sosial dipandang sebagai makhluk yang memiliki moral
murni, oleh karena itu, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu
Para
pakar Teori Struktur Sosial meyakini bahwa kekuatan-keuatan sosial-ekonomi yang
beroperasi di alam area-area kelas sosial-ekonomi rendah yang buruk mendorong
sebagian besar penduduknya ke dalam pola tingkah laku kriminal. Posisi kelas
ekonomi yang tidak beruntung adalah penyebab utama dari kejahatan. Teori ini
terbagi lagi menjadi tiga teori, yaitu Teori Disorganisasi Sosial, Teori
Ketegangan (strain theory), dan Teori Kejahatan Kultural.
Teori
Disorganisasi Sosial memiliki fokus pada kondisi di dalam lingkungan, di mana
terjadinya lingkungan yang buruk, kontrol sosial yang tidak memadai,
pelanggaran hukum oleh gang atau kelompok sosial tertentu, dan adanya
pertentangan nilai-nilai sosial. Strain Theory memiliki fokus terhadap suatu
konflik antara tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan
tersebut. Hal ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan distribusi kekayaan
dan kekuatan (kekuasaan). Kondisi seperti ini menyebabkan frustasi bagi
kalangan tertentu sehingga berusaha mencari cara alternatif untuk mencapai
tujuan yang dicita-citakan. Teori ini kemudian memiliki turunannya sendiri,
yang disebut sebagai Teori Anomi, yaitu teori yang memandang bahwa orang-orang
memiliki paham yang sama akan tujuan dari masyarakat, tetapi kekurangan cara
untuk mencapainya sehingga mencari jalan alternatif, seperti kejahatan. Teori ini kemudian dapat menjelaskan angka
kejahatan kelas bawah yang tinggi.
Teori
Kejahatan Kultural merupakan bentuk kombinasi dari dua teori sebelumnya
(disorganisasi sosial dan strain theory) yang secara bersama-seama menghasilkan
budaya kelas rendah yang unik dan bertentangan dengan norma-norma sosial
konvensional (sub cultural values in opposition to conventional values).
Subkultur ini kemudian membatasi diri dengan gaya hidup dan nilai-nilai
alternative dan dianggap sebagai pelaku kejahatan (deviant) oleh budaya
normatif.
Teori
Struktur Sosial ini erat kaitannya dengan Perspektif Konsensus, yaitu tentang
nilai-nilai dan kesepakatan umum yang ada di dalam lingkungan sosial
masyarakat. Masyarakat hidup dalam norma-norma dan cara-cara yang telah
disepakati bersama untuk tercapainya tujuan. Namun, ketika terjadi suatu
kondisi frustasi terhadap norma atau aturan-aturan konvensional, seseorang atau
kelompok tertentu mencari cara lain yang bertentangan dengan nroma dan aturan
yang ada, yang biasanya menjadi tingkah laku kejahatan. Pelanggaran hukum dalam
Perspektif Konsensus merupakan suatu hal yang unik. Dalam kaitannya dengan
teori ketegangan, terbentuknya sub kebudayaan kejahatan atau kelompok-kelompok
kelas rendah (subculture) adalah merupakan suatu representasi yang mewakili
hubungan sebab akibat yang unik tersebut.
Paradigma
yang digunakan adalah Paradigma Positivis, yang memiliki fokus pada pencarian
jawaban mengapa timbul suatu tingkah laku kejahatan. Karena hubungan sebab
akibat tersebut, yaitu tingkah laku adalah hasil dari hubungan sebab akibat
antara individu dengan aspek tertentu dari lingkungan mereka, kejahatan
dipandang sebagai obyek dan yang harus dicari adalah faktor-faktor yang dapat
mengungkapkan tingkah laku kriminal dengan memusatkan perhatian kepada pelaku
kejahatan sebagai suatu gejala yang mesti dipelajari. Untuk mencari hubungan
suatu sebab akibat itu diperlukan suatu penelitian dengan metode ilmiah.
Ilustrasi
yang paling mudah untuk memahami kesesuaian teori ini dengan perspektif dan
paradigma yang telah dijelaskan adalah tentang riset yang dilakukan oleh Durkheim
tentang bunuh diri “suicide” (1897), berdasarkan Teori Anomi yang digagasnya.
Durkheim melakukan suatu penelitian untuk mencari hubungan sebab akibat antara
individu dengan lingkungannya yang dapat menyebabkan individu tersebut
melakukan suatu penyimpangan (bunuh diri). Dari penelitiannya tersebut,
Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri berasal dari kondisi yang menekan
(stress) dan proses sosialisasi dari seorang individu kepada suatu nilai budaya
“altruistic”.
Durkheim
lebih lanjut menjelaskan bahwa penyimpangan tersebut terjadi disebabkan oleh
kondisi ekonomi di dalam masyarakat. Oleh Merton, konsep anomi ini
dikembangkan, dengan fokus perhatian masyarakat Amerika. Di Amerika sudah
melembaga suatu cita-cita dan tujuan untuk mengejar kesuksesan semaksimak
mungkin, yang diukur berdasarkan jumlah harta kekayaan. Namun pada
kenyataannya, tidak semua masyarakat di Amerika dapat mencapai cita-cita
tersebut melalui cara yang dibenarkan. Oleh karena itu, terdapat
individu-individu yang berusaha mencapai tujuannya dengan melakukan
pelanggaran. Umumnya, individu ini berasal dari golongan kelas bawah dan
golongan minoritas.
a.
Teori
Pengendalian Sosial
Teori
Pengendalian Sosial adalah istilah yang merujuk kepada teori-teori yang
menjelaskan tingkat kekuatan keterikatan individu dengan lingkungan
masyarakatnya sebagai faktor yang mempengaruhi tingkah laku kejahatan.
Kejahatan dianggap sebagai hasil dari kekurangan kontrol sosial yang secara
normal dipaksakan melalui institusi-institusi sosial: keluarga, agama, pendidikan,
nilai-nilai dan norma-norma dalam suatu komunitas. Teori Pengendalian Sosial
dapat dibagi menjadi dua, yaitu Containment Theory dan Social Bond Theory.
Containment
Theory yang digagas oleh Reckless (1961) berpendapat bahwa terdapat beberapa
cara pertahanan bagi individu agar bertingkah laku selaras dengan nilai dan
norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Pertahanan tersebut dapat berasal
dari dalam (intern), yaitu berupa kemampuan seseorang melawan atau menahan
godaan untuk melakukan kejahatan serta memelihara kepatuhan terhadap
nroma-nroma yang berlaku. Ada juga pertahanan yang berasal dari luar (extern),
yaitu suatu susunan hebat yang terdiri dari tuntutan-tuntutan legal dan
larangan-larangan yang menjaga anggota masyarakat agar tetap berada dalam ikatan
tingkah laku yang diharapkan oleh masyrakatnya tersebut. Dengan demikan, kedua
benteng pertahanan ini (intern dan extern) bekerja sebagai pertahanan terhadap
norma sosial dan norma hukum yang telah menjadi kesepakatan bagi masyarakat.
Social
Bond Theory oleh Travis Hirschi, melihat bahwa seseorang dapat terlibat
kejahatan karena terlepas dari ikatan-ikatan dan kepercayaan-kepecayaan moral
yang seharusnya mengikat mereka ke dalam
suatu pola hidup yang patuh kepada hukum (Conklin, 1969). Ikatan sosial yang
dimaksud oleh Hirschi ini terbagi ke dalam empat elemen utama. Keempat elemen
itu adalah attachment, yaitu ikatan sosial yang muncul karena adanya rasa
hormat terhadap orang lain; commitment, yaitu pencarian seorang individu akan
tujuan hidup yang ideal dan konvendional; involvement, yaitu keterlibatan
individu di dalam kegiatan konvensional dan patuh; dan belief, yaitu keyakinan
atas nilai dan norma sosial. Ikatan-ikatan sosial ini dibangun sejak masa kecil
melalui hubungan emosional alamiah dengan orang tua, guru, teman sebaya. (Bynum
& Thompson, 1989).
Berdasarkan
pengertian teori di atas, dapat dibaca bahwa Teori Pengendalian Sosial memiliki
kesesuaian dengan Perspektif Konsensus yang menekankan kepada kesepakatan
nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Individu
tidak melakukan kejahatan karena adanya kesadaran untuk tidak melanggar norma
hukum yang telah menjadi kesepakatan umum di lingkungan sosialnya. Paradigma
yang digunakan dalam pencarian dan penelusuran kebenaran ini adalah Paradigma
Positivis. Penelitian yang dilakukan oleh Hirschi menunjukkan bahwa anak-anak
delinkuen mempunyai keterikatan yang kurang dengan orang tuanya dibandingkan
anak-anak yang non-delinkuen. Hasil penelitian ini memberikan penegasan kepada
hubungan sebab-akibat yang menjadi fokus perhatian dari Perspektif Konsensus
dan Paradigma Positivis
4.
Teori Labelling
Teori
labeling merupakan teori untuk mengukur mengapa terjadinya kejahatan, metode
yang digunakan dalam teori ini adalah “self refort”, atau melakukan interview
terhadap pelaku kejahatan yang tidak diketahui oleh polisi. Pembahasan
labeling, terfokuskan pada dua tema, pertama : menjelaskan mengapa dan
bagaimana orang-orang tertentu diberi label, kedua : pengaruh atau efek dari
label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah
dilakukannya.
Menurut
Frank Tannenbaum (1938), kejahatan bukan sepenuhnya dikarenakan individu kurang
mampu menyesuaikan diri dengan kelompik, tetapi dalam kenyataannya, individu
tersebut telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kelmpoknya. Oleh karena
itu, kejahatan terjadi karena hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat
yang lebih luas, di mana terdapat dua definisi yang bertentangan tentan tingkah
laku mana yang layak.
Edwin
Lemert (1950) memberikan perbedaan
mengenai konsep teori labeling ini, yaitu primary deviance dan secondary
deviance. Primary deviance ditujukan kepada perbuatan penyimpangan tingkah laku
awal. Kelanjutan dari penyimpangan ini berkaitan dengan reorganisasi psikologis
dari pengalaman seseorang karena cap yang dia terima dari perbuatan yang telah
dilakukan. Ketika label negatif diterapkan begitu umum dan begitu kuat sehingga
menjadi bagian dari identitas yang individual, ini yang kemudian diistilahkan
Lemert penyimpangan sekunder. Individu yang telah mendapatkan cap tersebut
sulit melepaskan diri dari cap yang dimaksud dan cenderung untuk bertingkah
laku sesuai dengan label yang diberikan (mengidentifikasi dirinya sebagai
pelaku penyimpangan/penjahat).[7]
Teori
ini memiliki kesesuaian dengan Perspektif Pluralis. Dalam perspektif itu
dikatakan bahwa perbedaan antar kelompok terletak pada benar atau tidak benar.
Hal ini selaras dengan pengertian labeling sebagai bentuk penilaian orang lain
terhadap benar atau tidak benarnya tingkah laku seseorang di dalam masyarakat.
Penilaian ini muncuk karena adanya proses interaksi diantara masing-masing individu.
Paradigma yang sesuai adalah Paradigma Interaksionis, di mana paradigma ini
menekankan kepada perbedaan psikologi-sosial dari kehidupan manusia. Paradigma
ini memandang bahwa kejahatan merupakan suatu kualitas dari reaksi sosial
masyarakat terhadap suatu tingkah laku atau perbuatan, di mana dalam teori
labeling dijelaskan bahwa tingkah laku seseorang menjadi tidak benar karena ada
proses labeling atau cap terhadap tingkah laku tersebut sebagai tingkah laku
kejahatan.
Ilustrasi
singkat yang dapat lebih menjelaskan teori ini adalah seseorang yang baru saja
keluar dari penjara. Ketika dia menjalani hukuman penjara karena perbuatan yang
dia lakukan di masa lalu, sesungguhnya dia telah mengalami proses labeling,
yaitu keputusan dari penguasan yang menyatakan bahwa dia adalah penjahat dan
patut untuk dihukum penjara (sesuai ketentuan yang diutarakan oleh Schrag,
penangkapan adalah proses labeling). Setelah keluar dari penjara tersebut,
masyarakat akan tetap menilainya sebagai penjahat karena cap yang telah melekat
pada dirinya (sulit melepaskan label).
Terjadi
interaksi antara individu yang baru keluar dari
penjara tersebut dengan masyrakatnya, dan interaksi itu menghasilkan
kesimpulan bahwa dia dicap sebagai penjahat meskipun sudah dunyatakan bebas.
Hal ini kemudian akan berpengaruh kepada kehidupan, mental, dan sisi psikologis
seseorang tersebut, yang kemudian menghambat karir atau usahanya untuk
bertahan, seperti misalnya sulit mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan kembali
kepercayaan dari orang-orang. Dampak seperti ini kemudian menyebabkan seseorang
tersebut akhirnya mengulangi perbuatannya dan akhirnya mendidentifikasi dirinya
sebagai penjahat.
5.
Teori Interaksionisme
Simbolik
Teori ini memusatkan perhatiannya pada interaksi antara
individu dan kelompok. Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama
interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan, bahasa, dan pikiran. Premis
ini nantinya mengutarakan kepada konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya
kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, masyarakat.
Premis Pertama : Bahwa manusia bertindak atau
bersikap terhadap manusia lainnya yang pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan
yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut.
Premis Kedua : Bahwa pemaknaan muncul
dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan muncul
atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa
muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui
penggunaan bahasa dalam perspektif interaksionisme simbolik.
Premis Ketiga : Bahwa
interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan
dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif
6.
Teori Subculture
Pada
dasarnya teori ini membahas dan menjelaskan bentuk kenakalan remaja serta
perkembangan berbagai tipe gang. Sebagai social heritage, teori ini dimulai
tahun 1950-an dengan bangkitnya perilaku konsumtif kelas menengah di amerika.
7.
Teori Konflik
Pada dasarnya konsep ini menunjuk pada perasaan dan
keterasingan khususnya yang timbul dari tidak adanya control seseorang atas
kondisi kehidupannya sendiri. Adanya legitimasi corak yang ada dari distribusi
penghasilan. Konflik ini didasarkan pada menghilangkan dominasi yang
mengacaukan hubungan, kebiasaan mendominasi yang mengacaukan hubungan
masyarakat serta orang orang proletar dapat mengungkapkan kelihannya satu sama
lain. Dalam
pandangan terhadap konflik dibagi menjadi tiga kelompok:
1.
Penghindar
Konflik
2.
Menghadapi
Konflik
3.
Pembuat
Konflik :
E. Teori
tentang sebab-sebab Terjadinya kejahatan
Kejahatan atau tindak criminal merupakan
salah satu bentuk dari prilaku “prilaku menyimpang” yang selalu ada dalam
masyarakat. Terhadap permasalahan tersebut, telah banyak usaha-usaha
penanggulangan yangdil;akukan dalam berbagai cara, baik dengan cara menggunakan
hukum pidana dengan sangsi yang berupa pidana ataupun tanpa menggunakan jalur
hukum.Modernisasi yang kita alami sekarang ini hampir berlangsung dalamsegala bidang
yang banyak membawa pengaruh dalam pola kehidupanmanusia dalam masyarakat.
Modernsasi tersebut merombak struktur masyarakat dan norma yang mengatur pola
kehidupan. Karena adanya perubahan-perubahan tersebut maka timbulah prilaku
menyimpang.
Menurut Edwin Lemert, bahwa aspek-aspek
prosesual dari prilakumenyimpang (kejahatan), dengan menunjukan bahwa karir
prilakumenyimpang sering kali mengalami perubahan-perubahan penting
sesuaidengan perjalanan waktu. Dalam teori Lemert (Muliyanah W. Kusumah :1982 :
8), tindakan-tindakan prilaku menyimpang sering kali merupakanlangkah “Ambil
resiko” yang memperlihatkan sifat coba-coba untuk melakukan pola-pola prilaku
yang dilarang. Tindakan ini menjadi sasaranreaksi social, yang pada giliranya
dapat mempengaruhi pengalaman- pengalaman karir selanjutnya dari prilaku
penyimpangan.Tanpa mengurangi arti penting kelompok teori yang lain dan
sesuaidengan masal;ah yang akan di bahas, maka teori undercontrol di
utamakansebagai pokok bahasan.
Teori Undercontrol/Consensus adalah teori
dalam mengkaji prilakumenyimpang (pelanggaran) mendasarkan diri bahwa kita
semuamenyepakati isi serta berlakunya kaedah-kaedah mayarakat termasuk Norma-norma hukum, social dan moral dan
lain-lain. Oleh karena itumerupakan kewajaran bila semua warga masyarakat
mematuhi aturan-aturahukum tersebut. Konsekwensi dari kerangka dasar kajian
teori ini, yaitu "Kenapa ada seseorang yang bisa menolak aturan sosial
sementara hampir semuanya (masyarakat) menerima". Menurut John
Haganmengklasifikasikan teori-teori yang termasuk dalam kelompok
teoriundercontrol itu, sebagai berikut
1.
Teori
Netralisasi.
Pada dasarnya teori netralisasi ini
beranggapan bahwa aktifitasmanusia selalu dikendalikan oleh pikirannya. Dengan
demikian pertanyaandasar yang dilontarkan teori ini : " Pola pikir yang
bagaimanakah yangterdapat di dalam benak orang-orang, baik dalam hal tertentu
berubahmenjadi jahat ". Pertanyaan ini sekaligus mencerminkan suatu
anggapan bahwa kebanyakan orang dalam berbuat sesuatu dikendalikan oleh pikirannya
yang baik. Teori ini beranggapan bahwa di dalam masyarakatselalu dapat
persamaan pendapat tentang hal-hal yang baik di dalamkehidupan masyarakat dan
jalan yang layak untuk mencapai hal tersebut.Hal yang menarik dari teori ini
adalah terdapat Pada caranya menjawab pertanyaan tentang bagaimanakah prosesnya
sehingga seseorang yang pada umumnya berpikiran baik sampai melakukan
kejahatan/berperilakumenyimpang. Menurut teori ini, orang-orang tersebut
berperilakumenyimpang/jahat disebabkan karena adanya kecenderungan di
kalanganmereka yang merasionalkan norma-norma dan nilai-nilai
2.
Teori
Control
Teori control atau disebut juga teori kontrol
sosial, berangkat darianggapan, bahwa individu di masyarakat mempunyai
kecenderunganyang sama kemungkinannya menjadi baik atau jahat. Baik
jahatnyaseseorang sepenuhhya tergantung pada masyarakatnya, ia akan menjadi
baik kalau saja masyarakatnya membuatnya demikian, dan akan menjadi jahat
apabila masyarakatnya membuat demikian Seseorang dapat melemahkan atau terputus
ikatan sosial denganmasyarakat, manakala di masyarakat itu telah terjadi
pemerosotan fungsi lembaga kontrol sosial, baik formal maupun informal termasuk
lembaga kontrol social,baik formal maupun informal termasuk lembaga
controlsocial.
Informal disini adalah sarana-sarana tersebut
dapat diidentikkandengan lembaga adat, suatu sistem kontrol asosial yang tidak
tertulisnamun memperoleh pengakuan keabsahan keberlakuannya di masyarakat.
Dengan demikian, bahwa manakala dalam suatu
masyarakat,dimana kondisi lingkunganya tidak menunjang atau tidak
berfungsidengan baik lembaga kontrol asosial tersebut, sedikit banyak
akanmengakibatkan melemah atau terputusnya ikatan sosial anggota masyarakatnya
dan pada giliranya akan memberi kebebasan pada anggotanya untuk berperilaku menyimpang.
Adapun mengenai pelanggaran lalulintas
terdapat banyak teori,namun menurut pengalaman POLRI dalam menangani
kasus-kasus yangterjadi di masyarakat dapat di katakan bahwa banyak faktor yang
turutrnempengaruhi terjadinya suatu pelanggaran Untuk terjadinya suatu
pelanggaran maka 2 (unsur) unsur harus bertemu yaitu Niat untuk melakukan suatu
pelanggaran dan Kesempatan untuk melaksanakan niat tersebut.
Jika hanya ada salah satu dan kedua unsur
tersebut diatas makatidak akan terjadi apa apa, yaitu ada niat untuk melakukan
pelanggarantetapi tidak ada kesempatan untuk melaksanakan niat tersebut, maka
tidak mungkin terlaksana pelanggaran itu.Lebih lanjut dijelaskan, sebaliknya
walaupun ada kesempatan, tetapi tidak ada niat untuk melanggar maka juga tidak akan
terjadi suatu pelanggaran. Jadi jelas kedua unsur yaitu Niat dan Kesempatan
adalah sangat penting dalam hal terjadinya pelanggaran.Teori dari A. Lacassagne
(Soedjono : 1982 : 29) beranggapan bahwa terjadinya kejahatan atau sebab
timbulnya kejahatan meliputi: a). Lingkungan yang memberi kesempatan akan
timbulnya kejahatan
b). Lingkungan-lingkungan pergaulan yang
memberi contoh atau tauladan
c). Lingkungan ekonomi (kemiskinan,
kesengsaraan)
d). Lingkungan yang berbeda-beda(differtial
Association)
F. Pencegahan
Penanggulangan kejahatan
Upaya atau kebijakan untuk melakukan
Pencegahan dan Penangulangan Kejahatan termasuk bidang " kebijakan
kriminal" (criminal policy).
Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu
" kebijakan sosial" (social policy) yang terdiri
dari"kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial"
(social-welfare policy) dan "kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan
masyarakat" (social-defence policy)
Dengan demikaian, sekiranya kebijakan penanggulangaan
kejahatan(politik kriminai) dilakukan dengan menggunakan sarana
"penal" (hukum pidana), maka "kebijakan hukum pidana:
("penal policy") khususnya padatahap kebijakan yudikatif /aplikatif
(penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada
tercapainya tujuan dari kebijakansosial itu, berupa "socialwelfare"
dan "social-defence",Bertolak dari diatas, dapat diidentifikasikan
hal-hal pokok sebagai berikut :
1.
Pencegahan
dan Penanggulangan Kejahatan harus menunjang Aspek "social welfare"
(SW) dan "social defence" (SD} yang sangat pentingadalah aspek
kesejahteraan perlindungan masyarakat yang bersifatImmateriel, terutama nilai
kepercayaan, kebenaran, kejujuran dan keadilan.
2.
Pencegahan
dan penanggulangan kejahatan harus dilakukandengan "pendekatan
integral"; ada keseimbangan sarana penal" dan non penal".
Dilihat dan sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis meialuisarana”
non penal" karena kebijakan ”penal" mempunyai keterbatasan/kelemahan
yaitu bersifat frakmentasi/simplastik/tidak preventif, harusdidukung oleh infra
struktur dengan biaya tinggi.
3.
Pencegahan
dan penanggulangan kejahatan dengan sarana yang fungsionalisasi/ operasionalisasinya
melalui beberapa tahap:
1.
Fomulasi
(kebijakan legislative)
2.
Aplikasi
(kebijakan yudikatif?yudicial)
3.
Eksekusi
(kehijakan eksekutif/administratif)
Dengan
adanya tahap formulasi maka upaya pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan bukan
hanya tugas aparat penegak hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum
(aparat legislatif), bahkan kebijakanlegislatif merupakan tahap paling
strategis dari upaya Pencegahan darnPenanggulangan Kejahatan melalui
"penal policy", oleh karena itu, kesalahan atau kelemahan kebijakan
legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapatmenjadi Penghambat upaya
Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan padatahap aplikasi dan eksekusi
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berbicara tentang
teori kriminologi merupakan suatu usaha dalam memahami dan mengungkapkan
pelbagai permasalahan tentang kejahatan dan penyimpangan yang ada di dalam
masyarakat. Teori-teori kriminologi ini menjadi landasan yang akan menunjukkan
arah kepada pengamat atau peneliti dalam menentukan masalah apa yang akan
diteliti dan dicari solusinya.
Dalam menentukan
teori mana yang menjadi landasan, hasil yang maksimal akan dicapai apabila kita
dapat menentukan perspektif mana yang akan digunakan. Penentuan perspektif ini
kemudian memberikan patokan kepada kita dalam usaha penelusuran dan pencarian
kebenaran terhadap realita yang ada di dalam masyarakat (kejahatan dan
penyimpangan yang merupakan satu gejala sosial masyarakat). Karena itu
dibutuhkan suatu paradigma berpikir yang akan menuntun ke arah fokus perhatian
suatu masalah sehingga masalah tersebut dapat dikaji secara mendalam
Keterkaitan dan
kesesuaian antara teori-teori kriminologi dengan perspektif dan paradigma yang
ada merupakan satu kesatuan yang menyeluruh dan tidak dapat dipisahkan.
Sejatinya, teori-teori kriminologi merupakan elemen-elemen yang membentuk
paradigma tersebut sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas terhadap
perspektif yang dimiliki secara jelas dan ilmiah. Ketidakpahaman kita terhadap
kesesuaian teori dengan paradigma akan berdampak kepada hasil pengamatan
pengkajian yang keliru dan sulit untuk dipertanggung jawabkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Soekanto, soerjono, et all., kriminologi
suatu pengantaar, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1986 halaman 46
Santoso, topo, et all., kriminologi, Jakarta:
PT. Raja Grapindo persada, 2001, halaman 57-79
Sahetaphy,J.E., Teori Kriminologi Suatu
Pengantar, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992, halaman 56
0 Response to "Kriminologi"
Posting Komentar