KESEIMBANGAN IQ, EQ, DAN SQ, PERLUKAH?
Dua hari yang lalu, seorang sahabat memintaku untuk menganalisis sebuah kasus, yaitu seseorang yang tidak dapat pekerjaan, kemudian ia mulai marah-marah dan menyalahkan orang lain dan lingkungan sekitarnya akan kegagalannya tersebut. Sahabatku ini memintaku untuk mengkajinya dari sisi filsafat. Jujur, aku tak tau bagaimana mengkaji sesuatu itu dari sisi filsafat karena aku tidak pernah kuliah filsafat.
Seiring berjalannya waktu, kasus beliau itu mengingatkan ku akan sebuah kisah seorang pengusaha sukses dan motivator handal Indonesia “Andrie Wongso”. Secara akademis, beliau mungkin kita sebut “gagal”, karena dia tidak pernah mengecap dunia perguruan tinggi, bahkan SD saja tidak tamat.
Dari kisah tersebut dapat kita simpulkan bahwa kesuksesan atau keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh latar belakang pendidikan yang mereka miliki, tapi tanpa dengan adanya keseimbangan antara EQ (Emotional Quotient/aspek emosi), SQ (Spiritual Quotient/aspek religius) dan kelebihan IQ (intelectual quotient/aspek kecerdasan) tidak akan membawa hasil yang maksimal dalam kehidupan dan untuk mencapai sebuah keberhasilan serta kesuksesan.
Orang dengan IQ tinggi CERDAS menganalisa masalah teknis, EQ tinggi ditandai dengan kemampuan mengelola non-teknis, dan SQ tinggi ditandai dengan menyeimbangkan kebutuhan DUNIA-AKHIRAT. Jika salah satu diunggulkan, maka potensi yang lainnya akan dinomor duakan dan akibatnya, ketika ketiga faktor tersebut tidak memperoleh muatan perhatian yang sama. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam masalah serius, seperti jika lebih menonjolkan IQ dibandingkan yang lainnya, maka ia akan kehilangan kearifannya, contoh seperti Hitler. Jika lebih menonjolkan SQ dibandingkan yang lainnya, maka ia menjadi fanatik, ekstrim, seperti halnya banyak kejadian Jihad bom bunuh diri yang marak terjadi beberapa tahun belakangan ini. Dan jika lebih menonjolkan EQ dibandingkan yang lainnya, maka ia pandai merayu, menipu, dan lain sebagainya.
Pendapat di atas juga diperkuat oleh Ary Ginanjar dalam buku ESQ-nya, bahwa banyak orang yang menyangka makna kehidupan bisa diraih melalui materi, namun sebenarnya, makna yang paling penting dan bernilai, justru terletak pada aspek spiritualnya, dimana dalam pencapaiaannya, IQ,EQ,dan ESQ harus mempunyai keseimbangan. Intinya jika manusia mengenal dirinya sendiri secara spiritual maka ia akan juga mengenal Tuhannya. Pada saat itulah terjadi perubahan energi spiritual dan juga perubahan cara pandang dan cara berfikir kita sebagai manusia. Hal ini akan mempengaruhi keselarasan hidup manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam mencapai sebuah keberhasilan. Jadi seseorang yang mempunyai kelebihan dalan IQ dan EQ tidak selalu berhasil dalam hidupnya tanpa diimbangi oleh SQ tersebut dan tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang berpendidikan tinggi tidak selalu berhasil dalam kehidupan sosial dan dunia kerjanya.
Di Era global, kita dituntut untuk memiliki mindset global yaitu memiliki kerangka berpikir global yang mampu mengantisipasi tuntutan global. SDM yang mempunyai Minset global tersebut mampu mengintegrasikan fungsi lima kecerdasan (IQ, EQ,SQ, MQ dan AQ). Artinya, kita tidak hanya cerdas intelektual (IQ) saja, tetapi pula cerdas bertindak bijaksana(EQ), cerdas mematuhi nilai-nilai, norma dan peraturan yang berlaku(SQ), memiliki tanggung jawab moral (MQ) dan cerdas untuk selalu bangkit dan berjuang keras dalam mencapai tujuan (AQ). Kemampuan mengintegrasikan lima kecerdasan tersebut akan membentuk pribadi yang dewasa mental (maturity personality).
Analisa Tokoh: tidak dapat menerima kenyataan akan kegagalannya dan melampiaskannya dengan cara menyalahkan orang lain/lingkungan.
Sistem pendidikan, sudah lama merupakan faktor yang disebut-sebut sebagai penyebab utama dari timbulnya perkembangan karakter diri yang tidak utuh. Sudah betulkah pernyataan ini?Selanjutnya jika dilihat berdasar penelitian psikologi, dua faktor utama penyumbang terjadinya problematika bisa berasal dari nurture (lingkungan) dan nature (faktor bawaan). Sebagaimana kita tahu, dalam hidup di dunia kita tidak pernah sendirian. Kita selalu dimungkinkan bahkan diharuskan berhubungan dengan orang lain, dimana kemudian, segala peristiwa, baik yang menggembirakan maupun menyulitkan bisa saja terjadi. Berbagai macam kejadian, mempengaruhi diri kita, dari sejak kita tumbuh besar, maupun sampai saat ini.
Secara general, kegagalan dan pembawaan yang pemarah yang diperlihatkan oleh tokoh tersebut terjadi akibat terjadinya kesenjangan salah satu dari ketiga potensi di atas, terutama dalam aspek EQ. Disamping sistem pendidikan formal kita yang saat ini sangat menekankan akan keberhasilan peserta didik dari segi aspek IQ, faktor pendidikan keluarga juga sangat berpengaruh terhadap problem solving seorang insan dikemudian harinya. Berikut adalah sebuah kutipan dari karya Dorothy yang sangat saya suka dan mungkin perlu kita cermati;
Anak-anak belajar dari pengalaman
Jika seorang anak hidup dalam kritikan,
Maka ia belajar untuk mencari kesalahan orang lain.
Jika seorang anak hidup dalam pujian, maka ia belajar menghargai.
Jika seorang anak hidup dalam kekerasan, maka ia belajar untuk jadi jagoan berkelahi.
Jika seorang anak hidup dalam sikap toleransi, maka ia bersikap sabar.
Jika seorang anak hidup dalam ejekan, maka ia belajar menjadi pemalu.
Jika seorang anak hidup dengan sikap menerima, maka ia belajar menyukai diri sendiri.
Jika seorang anak hidup dalam keadilan, maka ia belajar obyektif.
Jika seorang anak hidup dengan perasaan diterima dan bersahabat,
Maka ia belajar untuk memberikan cintanya pada dunia
Seiring berjalannya waktu, kasus beliau itu mengingatkan ku akan sebuah kisah seorang pengusaha sukses dan motivator handal Indonesia “Andrie Wongso”. Secara akademis, beliau mungkin kita sebut “gagal”, karena dia tidak pernah mengecap dunia perguruan tinggi, bahkan SD saja tidak tamat.
Berbagai usaha telah dilakukannya mulai dari sebagai pedagang keliling, salesman, bahkan artis film laga di Taiwan. Hambatan demi hambatan yang dilaluinya tak membuat dia merasa gagal, karena dia selalu berkeyakinan bahwa walaupun dia belum memperoleh keberhasilan dalam kebebasan finansial, namun dirinya sukses secara mental dalam memperjuangkan impian menjadi kenyataan. Keyakinan akan sebuah kesuksesan, kemampuan personalnya yang mudah bergaul dan kreatifitaslah yang dikemudian hari membawa kesuksesan pada Andrie.
Kesuksesannya berawal dari kegemarannya menuangkan tulisannya dalam bentuk kata-kata mutiara di buku hariannya. Saat salah seorang teman kos mencontek kata-kata yang dibuatnya, dari situlah muncul ide membuat kartu ucapan kata-kata mutiara, dengan tujuan selain untuk memotivasi diri sendiri, juga untuk membantu memotivasi orang lain melalui kartu ucapan. Dibantu oleh kekasih yang saat ini telah menjadi istrinya, Andrie memulai bisnis membuat kartu dengan merk HARVEST, yang di kemudian hari, usaha ini mengukuhkan Andrie sebagai raja kartu ucapan.
Kesuksesannya berawal dari kegemarannya menuangkan tulisannya dalam bentuk kata-kata mutiara di buku hariannya. Saat salah seorang teman kos mencontek kata-kata yang dibuatnya, dari situlah muncul ide membuat kartu ucapan kata-kata mutiara, dengan tujuan selain untuk memotivasi diri sendiri, juga untuk membantu memotivasi orang lain melalui kartu ucapan. Dibantu oleh kekasih yang saat ini telah menjadi istrinya, Andrie memulai bisnis membuat kartu dengan merk HARVEST, yang di kemudian hari, usaha ini mengukuhkan Andrie sebagai raja kartu ucapan.
Dari kisah tersebut dapat kita simpulkan bahwa kesuksesan atau keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh latar belakang pendidikan yang mereka miliki, tapi tanpa dengan adanya keseimbangan antara EQ (Emotional Quotient/aspek emosi), SQ (Spiritual Quotient/aspek religius) dan kelebihan IQ (intelectual quotient/aspek kecerdasan) tidak akan membawa hasil yang maksimal dalam kehidupan dan untuk mencapai sebuah keberhasilan serta kesuksesan.
Orang dengan IQ tinggi CERDAS menganalisa masalah teknis, EQ tinggi ditandai dengan kemampuan mengelola non-teknis, dan SQ tinggi ditandai dengan menyeimbangkan kebutuhan DUNIA-AKHIRAT. Jika salah satu diunggulkan, maka potensi yang lainnya akan dinomor duakan dan akibatnya, ketika ketiga faktor tersebut tidak memperoleh muatan perhatian yang sama. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam masalah serius, seperti jika lebih menonjolkan IQ dibandingkan yang lainnya, maka ia akan kehilangan kearifannya, contoh seperti Hitler. Jika lebih menonjolkan SQ dibandingkan yang lainnya, maka ia menjadi fanatik, ekstrim, seperti halnya banyak kejadian Jihad bom bunuh diri yang marak terjadi beberapa tahun belakangan ini. Dan jika lebih menonjolkan EQ dibandingkan yang lainnya, maka ia pandai merayu, menipu, dan lain sebagainya.
Pendapat di atas juga diperkuat oleh Ary Ginanjar dalam buku ESQ-nya, bahwa banyak orang yang menyangka makna kehidupan bisa diraih melalui materi, namun sebenarnya, makna yang paling penting dan bernilai, justru terletak pada aspek spiritualnya, dimana dalam pencapaiaannya, IQ,EQ,dan ESQ harus mempunyai keseimbangan. Intinya jika manusia mengenal dirinya sendiri secara spiritual maka ia akan juga mengenal Tuhannya. Pada saat itulah terjadi perubahan energi spiritual dan juga perubahan cara pandang dan cara berfikir kita sebagai manusia. Hal ini akan mempengaruhi keselarasan hidup manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam mencapai sebuah keberhasilan. Jadi seseorang yang mempunyai kelebihan dalan IQ dan EQ tidak selalu berhasil dalam hidupnya tanpa diimbangi oleh SQ tersebut dan tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang berpendidikan tinggi tidak selalu berhasil dalam kehidupan sosial dan dunia kerjanya.
Di Era global, kita dituntut untuk memiliki mindset global yaitu memiliki kerangka berpikir global yang mampu mengantisipasi tuntutan global. SDM yang mempunyai Minset global tersebut mampu mengintegrasikan fungsi lima kecerdasan (IQ, EQ,SQ, MQ dan AQ). Artinya, kita tidak hanya cerdas intelektual (IQ) saja, tetapi pula cerdas bertindak bijaksana(EQ), cerdas mematuhi nilai-nilai, norma dan peraturan yang berlaku(SQ), memiliki tanggung jawab moral (MQ) dan cerdas untuk selalu bangkit dan berjuang keras dalam mencapai tujuan (AQ). Kemampuan mengintegrasikan lima kecerdasan tersebut akan membentuk pribadi yang dewasa mental (maturity personality).
Analisa Tokoh: tidak dapat menerima kenyataan akan kegagalannya dan melampiaskannya dengan cara menyalahkan orang lain/lingkungan.
Sistem pendidikan, sudah lama merupakan faktor yang disebut-sebut sebagai penyebab utama dari timbulnya perkembangan karakter diri yang tidak utuh. Sudah betulkah pernyataan ini?Selanjutnya jika dilihat berdasar penelitian psikologi, dua faktor utama penyumbang terjadinya problematika bisa berasal dari nurture (lingkungan) dan nature (faktor bawaan). Sebagaimana kita tahu, dalam hidup di dunia kita tidak pernah sendirian. Kita selalu dimungkinkan bahkan diharuskan berhubungan dengan orang lain, dimana kemudian, segala peristiwa, baik yang menggembirakan maupun menyulitkan bisa saja terjadi. Berbagai macam kejadian, mempengaruhi diri kita, dari sejak kita tumbuh besar, maupun sampai saat ini.
Secara general, kegagalan dan pembawaan yang pemarah yang diperlihatkan oleh tokoh tersebut terjadi akibat terjadinya kesenjangan salah satu dari ketiga potensi di atas, terutama dalam aspek EQ. Disamping sistem pendidikan formal kita yang saat ini sangat menekankan akan keberhasilan peserta didik dari segi aspek IQ, faktor pendidikan keluarga juga sangat berpengaruh terhadap problem solving seorang insan dikemudian harinya. Berikut adalah sebuah kutipan dari karya Dorothy yang sangat saya suka dan mungkin perlu kita cermati;
Anak-anak belajar dari pengalaman
Jika seorang anak hidup dalam kritikan,
Maka ia belajar untuk mencari kesalahan orang lain.
Jika seorang anak hidup dalam pujian, maka ia belajar menghargai.
Jika seorang anak hidup dalam kekerasan, maka ia belajar untuk jadi jagoan berkelahi.
Jika seorang anak hidup dalam sikap toleransi, maka ia bersikap sabar.
Jika seorang anak hidup dalam ejekan, maka ia belajar menjadi pemalu.
Jika seorang anak hidup dengan sikap menerima, maka ia belajar menyukai diri sendiri.
Jika seorang anak hidup dalam keadilan, maka ia belajar obyektif.
Jika seorang anak hidup dengan perasaan diterima dan bersahabat,
Maka ia belajar untuk memberikan cintanya pada dunia
Di dalam hidup ini, suatu yang sangat umum dan wajar terjadi, bila pada suatu saat, hati kita bisa terluka oleh perkataan atau perbuatan orang lain. Bukan suatu yang mustahil terjadi, pada suatu saat, lingkungan memberikan kepada kita seperangkat pandangan hidup yang berisikan hal-hal yang kurang positif. Semakin kuat konsep diri-prioritas-paradigma keliru tertanam, maka filter kita dalam memandang segala permasalahan, akan semakin jauh dari kebenaran. Akibatnya, bukan saja dalam hidup kita tak mampu melangkah ringan, tetapi yang lebih parah lagi, kita tidak pernah menyadari, bahwa diri kita mempunyai begitu banyak potensi yang terpendam!
0 Response to "KESEIMBANGAN IQ, EQ, DAN SQ, PERLUKAH?"
Posting Komentar